Akan selalu bertemu kecewa, saat kita berharap dalam sekejap, dapat merubah karakter suami sebagai pasangan hidup, sesuai keinginan kita.
Memangnya, siapa kita?
Kita bukan ayah ibunya yang telah mengasuhnya seperempat abad lebih. Ayah ibunya tak pernah menuntutnya untuk menjadi sesiapa, cukup menjadi seorang anak lelaki yang baik saja. Sedang kita, baru menikah dengannya seumur jagung, tapi tuntutan padanya kadang berderet panjang seperti struk belanja bulanan.
Kita juga bukan saudara kandungnya yang punya hubungan darah kekal selamanya. Saudara sekandung yang bisa beradu argumen atau berantem sedemikian rupa, tapi tak lama akan akur kembali dan tetap menjadi saudara hingga maut memisahkan.
Kita ini ‘hanya’ diikat tali mitsaq al ghalidza, halal karena pernikahan. Dan itu sifatnya temporer, tergantung pada kemauan kita, akan mempertahankan tali kasih itu, atau tidak. Bukankah perceraian banyak terjadi bukan hanya karena soal-soal yang prinsip, tapi juga soal yang (kita anggap) sangat sepele? Sungguh, tali kasih itu sangat mudah untuk diputuskan, jika kita tidak berusaha mempertahankan.
Memangnya, siapa kita?
Berharap suami menjadi pasangan sempurna sedemikian rupa, sementara kita sendiri jauh dari sempurna? Berharap suami menjadi pasangan yang sholih, selalu mengayomi, banyak mengajarkan ilmu, dan setia. Tapi ternyata mendapatkan suami yang tegas, sangat sibuk di luar rumah, jarang punya kesempatan membantu aktivitas rumah tangga.
Harapan yang begitu tinggi menjulang, lalu terbentur kecewa dengan kenyataan.
Tapi sungguh kita lupa untuk melihat ke dalam, ‘look from within’. Ah, kita ini sibuk melihat kekurangan pasangan, sementara kekurangan sendiri tak berbilang.
Memangnya siapa kita? Begitu aqad nikah diiqrarkan, langsung merasa dialah suami pasangan jiwa milik kita? Hingga kita menangis sedih saat suami harus pergi berdakwah beberapa lama. Hingga kita merasa tak dipedulikan saat suami pulang larut malam padahal untuk mencari nafkah bagi kita dan keluarga?
Hey, kita ini hanya dititipi, dan kapan saja dapat diminta-Nya kembali. Kita tak pernah benar-benar memiliki: pasangan hidup, anak-anak, bahkan diri kita sendiri. Kita ini cuma peminjam, yang sering masih merengek-rengek minta dipinjami yang lebih baik lagi. Ah, peminjam yang tak tahu diri.
Memangnya siapa kita? Merasa tersia-sia dan menangis berdarah-darah saat perhatiannya terbagi. Hingga kita merasa iri saat suami membangunkan ibu kandungnya sebuah rumah. Hingga kita merasa dia tak peduli karena akhir pekan dia kerap sibuk dengan kegiatan dakwah bersama teman-temannya?
Hey, kita cuma teman di sisa hidupnya, bukan atasannya yang berhak marah-marah dan memecat siapa pun yang tak dia suka. Kita cuma teman hidupnya, yang justru bisa ditalaq kapan saja andai dia tak berkenan dengan perilaku kita lalu dia murka.
Memangnya, siapa kita?