Sebagian ulama menyatakan bahwa membaca kalimat shadaqallahul azhim (dan benarlah Allah Yang Maha Agung) setelah tilawah, membaca, atau dibacakan ayat Al Quran adalah bid’ah yang tidak ada dasarnya dari Al Quran dan As Sunnah. Hal ini diikuti oleh para pemuda yang semangat dengan agama Islam, namun belum memahami ilmu secara luas hingga mudah mengecap seseorang yang mengamalkan bacaan tersebut sebagai ahli bid’ah.
Ustadz Ahmad Sarwat Lc, MA., menyatakan bahwa kita ini hidup di tengah masyarakat muslim yang sangat heterogen. Baik dari sisi aqidah maupun dari sudut pandang syariat. Ada begitu banyak paham yang berkembang, mulai dari yang paling tasamuh (memudahkan) hingga yang paling mutasyaddid (ketat). Dan ada juga yang punya kecenderungan wasathiyah (pertengahan).
Semua itu memang tidak bisa kita hindari, apalagi diperangi. Karena masing-masing kecenderungan itu lahir dari berbagai latar belakang yang berbeda. Bahkan filosofi metode istinbath hukum juga ikut berpengaruh, selain juga mazhab, dan pola ushul fiqih.
Sementara itu, Ustadz Farid Nu’man Hasan mengatakan, “Sebagusnya lisan kita sebagai penuntut ilmu jangan mudah mengeluarkan kata-kata bid’ah atau haram, terhadap permasalahan yang kakikatnya kita belum tahu. Tahan dahulu. Urusan bid’ah atau haram, adalah perkara besar dalam Islam. Sebab bagi pelakunya diancam neraka oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Masih bagus jika mereka mengatakan, “Masalah ini para ulama berbeda pendapat, ada yang membolehkan ada pula yang melarang, tetapi saya pilih yang melarang.” Dengan demikian berarti kita telah jujur dalam ilmu dan permasalahan, dan amanah dalam penyampaian.
Termasuk dalam hal membaca shadaqallahul ‘azhim setelah membaca ayat. Saya tahu ada pihak yang membid’ahkan, alasannya sederhana, karena tidak ada dalilnya hal itu dilakukan oleh Rasulullah dan sahabat. Nah, benarkah masalah ini hanya satu pendapat yakni bid’ah? Ternyata tidak, justru banyak Imam yang mempraktekkannya diberbagai zaman dan madzhab. Maka, hendaknya mereka menjaga lisan dan adab mereka, kalau pun tidak tahu, diamlah. Itu lebih baik dari pada membongkar ketidaktahuan diri sendiri tentang khilafiyah perkara khilafiyah.”
Perbedaan Hukum Membaca Lafadz Shadaqallahul ‘Adzhim
Sebagian kalangan ada yang memandang bahwa bila setelah membaca Al Quran Al Kariem kita mengucapkan lafadz shadaqallahul ‘azhim, hukumnya bid’ah. Sebab dalam pandangan mereka, hal seperti itu belum pernah dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Bagi mereka, karena tidak ada contoh dari beliau, maka hukumnya menjadi terlarang alias bid’ah. Dan begitu seterusnya kaidah yang mereka pakai dalam semua bentuk dan praktek ibadah.
Termasuk menambahkan jumlah rakaat pada shalat malam, juga bid’ah. Karena dalam pandangan mereka, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah menambahkan jumlah rakaat shalat malam lebih dari 11 rakaat. Maka bila ada orang yang menambahkan, dia dianggap telah melanggar sunnah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan jadilah dia ahli bid’ah.
Karena shalat malam yang 11 rakaat itu dianggapnya seperti ketentuan shalat wajib yang 5 waktu, di mana jumlah rakaatnya sudah ditetapkan. Tidak boleh lebih tidak boleh kurang. Harus tepat seperti itu, atau kalau tidak, maka bid’ah hukumnya.
Gaya pendekatan fiqih semacam ini harus kita akui, memang ada dan beredar di tengah masyarakat. Tentu saja sebagai sebuah pola pendekatan fiqih, kita perlu menghormatinya, tanpa harus panik dan kebakaran jenggot dengan kesimpulan-kesimpulannya yang terkesan agak kurang seperti yang biasanya kita temui di negeri kita.
Pendekatan Fiqih Yang Lain
Di sisi lain, ada kalangan lain yang tidak memandang bahwa hal itu bid’ah. Karena dalam pandangan mereka, meski tidak ada riwayat yang secara khusus menunjukkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam mengucapkan lafadz itu selepas baca Quran, namun tetap ada dalil yang bersifat umum tentang anjuran mengucapkan lafadz itu.
Misalnya, ayat Quran berikut ini:
“Katakanlah, ‘Shadaqallah’ dan ikutilah millah Ibrahim yang lurus.” (QS. Ali Imrah: 95)
“Dan tatkala orang-orang mu’min melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata, “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita.” Dan benarlah Allah dan Rasul-Nya. Dan yang demikian itu tidaklah menambah kepada mereka kecuali iman dan ketundukan.” (QS. Al Ahzab: 22)
Ayat ayat ini tegas memerintahkan kita untuk mengucapkan lafadz itu, sehingga menurut pendapat yang kedua, tidak pada tempatnya untuk melarang para pembaca Al Quran untuk mengucapkannya.
Di antara para ulama yang mendukung pengucapan lafadz shadaqallahul ‘adzhiem selepas membaca ayat Al Quran adalah Al Imam Al Qurthubi. Beliau menuliskan dalam kitab tafsir fenomenalnya, Al Jami’ li Ahkamil Quran bahwa Al Imam At Tirmidzi mengatakan tentang adab membaca Al Quran. Salah satunya adalah pada saat selesai membaca Al Quran, dianjurkan untuk mengucapakan lafadz shadaqallahul ‘azhim atau lafadz lainnya yang semakna.
Pada jilid 1 halaman 27 disebutkan bahwa di antara bentuk penghormatan kita kepada Al Quran adalah membenarkan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala dan mempersaksikan kebenaranya dari Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Misalnya ucapan berikut ini: shaqadallahul ‘azhim wa ballagha rasululluhul karim, artinya: Maha benar Allah yang Maha Agung dan Rasul-Nya yang mulia telah menyampaikannya.
Contoh lafadz lainnya adalah:
Maha benar Engkau wahai Tuhan kami dan rasul-Mu telah menyampaikannya, dan kami semua telah menjadi saksi atas hal itu. Ya Allah, jadikanlah kami sebagai saksi yang hak yang menegakkan keadilan.
Selanjutnya, Ustadz Ahmad Sarwat menyebutkan pendapat fiqih diantara ulama mazhab mengenai membaca lafadz shadaqallahul ‘azhim di dalam shalat.
Hukum Membaca Shadaqallahul Adzhim di dalam Shalat
Kalau ada pendapat yang tidak membid’ahkan bacaan shadaqallahul ‘azhim di luar shalat, maka bagaimana hukumnya bila lafadz itu diucapkan di dalam shalat?
Dalam kitab Al Fiqhu ‘ala Madzahibil Arba’ah, terbitan Kementrian Mesir, telah disebutkan pendapat para ulama mazhab.
1. Al Hanafiyah
Mazhab ini mengatakan apabila seorang shalat dan mengucapkan tasbih seperti shadaqallahul ‘adzhim setelah selesai dari membaca Quran, maka shalatnya tidak batal.
Namun mereka mensyaratkan bahwa hal itu dilakukan dengan niat bahwa tujuannya sekedar memuji, dzikir atau tilawah.
2. Mazhab Asy Syafi’iyah
Mazhab ini sama dengan mazhab Al Hanafiyah, bahwa siapa pun orang yang shalat lalu mengucapkan lafadz shadaqallahul ‘adzhim, tidak batal shalatnya. Bahkan tanpa mensyaratkan apa pun.
Ulama Sunnah yang Membaca Lafadz Shadaqallahul ‘Azhim
Berikut ini sebagian para ulama, sebagaimana disebutkan oleh Ustadz Farid Nu’man, yang membolehkan bahkan menerapkan membaca Shaddaqallahul ‘Azhim setelah membaca Al Quran.
1. Imam Hasan Al Bashri Radhiallahu ‘Anhu
Dia adalah tokoh tabi’in senior. Dia termasuk tujuh ahli fiqih Madinah pada zamannya. Dalam Tafsir Ibnu Katsir, ketika membahas surat Saba’ ayat 18, beliau mengutip ucapan Imam Hasan Al Bashri, sebagai berikut:
وقال الحسن البصري: صدق الله العظيم. لا يعاقب بمثل فعله إلا الكفور.
Berkata Al Hasan Al Bashri: “Shadaqallahul ‘Azhim. Tidaklah mendapatkan siksa semisal ini bagi pelakunya, melainkan orang kafir.”
2. Imam Al Qurthubi Rahimahullah
Dalam tafsirnya dia menulis:
” وفى السماء رزقكم وما توعدون ” فإنا نقول: صدق الله العظيم، وصدق رسوله الكريم، وأن الرزق هنا المطر بإجماع أهل التأويل
“Dan di langit Dia memberikan rizki kepada kalian, dan apa-apa yang dijanjikan kepada kalian,” Maka, kami berkata: Shadaqallahul ‘Azhim wa shadaqa rasul al karim, sesungguhnya maksud rezeki di sini adalah hujan berdasarkan ijma’ ahli takwil … dan seterusnya…”
3. Imam Ibnul ‘Iraqi Rahimahullah
Beliau ditanya begini;
وَسُئِلَ ابْنُ الْعِرَاقِيِّ عَنْ مُصَلٍّ قَالَ بَعْدَ قِرَاءَةِ إمَامِهِ صَدَقَ اللَّهُ الْعَظِيمُ هَلْ يَجُوزُ لَهُ ذَلِكَ وَلَا تَبْطُلُ صَلَاتُهُ فَأَجَابَ بِأَنَّ ذَلِكَ جَائِزٌ وَلَا تَبْطُلُ بِهِ الصَّلَاةُ
Ibnul Iraqi ditanya tentang orang yang shalat, setelah imam selesai membaca, orang itu membaca ‘Shadaqallahul ‘Azhim’, apakah boleh baginya dan tidak membatalkan shalatnya? Dia menjawab: ‘Hal itu boleh, dan tidaklah membatalkan shalat.”
4. Imam Syihabuddin Ar Ramli Rahimahullah
Dalam Nihayatul Muhtaj dia mengatakan:
لَوْ قَالَ صَدَقَ اللَّهُ الْعَظِيمُ عِنْدَ قِرَاءَةِ شَيْءٍ مِنْ الْقُرْآنِ قَالَ م ر يَنْبَغِي أَنْ لَا يَضُرَّ
“Seandainya dia berkata Shadaqallahul ‘Azhim saat membaca bagian dari Al Quran,(berkata Ar Rafi’i) maka itu tidak memudharatkan (tidak mengapa).”
5. Imam Abu Hafs Umar Al Wardi Rahimahullah
Dalam Syarhul Bahjah Al Wardiyah beliau berkata:
كُلُّ مَا لَفْظُهُ الْخَبَرُ نَحْوُ صَدَقَ اللَّهُ الْعَظِيمُ أَوْ آمَنْتُ بِاَللَّهِ عِنْدَ سَمَاعِ الْقِرَاءَةِ بَلْ قَالَ شَيْخُنَا ز ي : لَا يَضُرُّ الْإِطْلَاقُ فِي هَذَا
“Semua yang dilafazhkannya, seperti Shadaqallahul ‘Azhim atau amantu billah, ketika mendengar bacaan Al Quran, bahkan syaikh kami berkata: Tidak memudharatkan secara muthlak dalam hal ini (alias boleh).”
6. Imam An Nawawi Rahimahullah
Dalam Al Majmu’ beliau mengatakan:
ثم صدق الله العظيم ” يسئلونك عن الاهلة قل هي مواقيت للناس والحج
“Kemudian Shadaqallahul ‘Azhim “Yas aluunaka ‘anil ahilah qul hiya mawaqitu linnas.”
7. Syaikh Dhiya’ Al Mishri
Dalam Fathul Manan, beliau mengatakan:
ويستحب للقارىء إذا انتهت قراءته أن يصدق ربه ويشهد بالبلاغ لرسوله صلى الله عليه وسلم ويشهد على ذلك أنه حق فيقول: صدق الله العظيم، وبلغ رسوله الكريم، ونحن على ذلك من الشاهدين.
“Dianjurkan bagi pembaca Al Quran, jika telah selesai hendaknya dia membenarkan Tuhannya, dan bersaksi atas tabligh yang dilakukan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, dan bersaksi bahwa itu adalah kebenaran, maka hendaknya membaca: Shadaqallahul ‘Azhim, Wa balagha rasuluhul karim, wa nahnu ‘ala dzalika minasy syahidin.”
8. Syaikh Athiyah Saqr, Mufti Mesir
Ketika ditanya apa hukum membaca shadaqallahhul ‘azhim. Dia mengkirtik dan memberi peringatan kepada orang-orang yang gampang membid’ahkan termasuk masalah ini, beliau berkata:
وقول “صدق الله العظيم ” من القارى أو من السامع بعد الانتهاء من القراءة ، أو عند سماع آية من القراَن ليس بدعة مذمومة، أولا لأنه لم يرد نهى عنها بخصوصها، وثانيا لأنها ذكر لله والذكر مأمور به كثيرا ، وثالثا أن العلماء تحدثوا عن ذلك داعين إليه كأدب من آداب قراءة القرآن ، وقرروا أن قول ذلك فى الصلاة لا يبطلها، ورابعا أن هذه الصيغة أو قريبا منها ورد الأمر بها فى القرآن ، وقرر أنها من قول المؤمنين عند القتال .
قال تعالى : {قل صدق الله فاتبعوا ملة إبراهيم حنيفا} آل عمران :95 ، وقال {ولما رأى المؤمنون الأحزاب قالوا هذا ما وعدنا الله ورسوله وصدق الله ورسوله } الأحزاب : 22 ، وذكر القرطبى في مقدمة تفسيره أن الحكيم الترمذى تحدث عن آداب تلاوة القراَن الكريم وجعل منها أن يقول عند الانتهاء من القراءة : صدق الله العظيم أو أية عبارة تؤدى هذا المعنى .
“Kalimat Shadaqallahu Al ‘Azhim yang diucapkan oleh pembaca Alquran atau oleh pendengar setelah selesai membaca atau mendengar ayat-ayat Alquran, bukanlah bid’ah tercela, bahkan memiliki landasan yang cukup kuat, yaitu:
- Tidak ada satupun dalil yang melarangnya
- Kalimat itu merupakan zikir.
- Para ulama menjadikannya sebagai salah satu adab ketika hendak membaca Al Quran. Bahkan menurut mereka jika ia diucapkan dalam salat tidak membatalkan salat. Demikianlah pendapat kalangan Hanafi dan Syafi’i.
- Lafal atau ucapan tersebut demikian dekat dengan apa yang diperintahkan dalam Alquran serta merupakan ucapan orang mukmin di saat akan perang.
قل صدق الله فاتبعوا ملة إبراهيم حنيفا
Katakanlah: “Benarlah (apa yang difirmankan) Allah”. Maka ikutilah agama Ibrahim yang lurus, dan bukanlah Dia Termasuk orang-orang yang musyrik (Ali Imran: 95)
ولما رأى المؤمنون الأحزاب قالوا هذا ما وعدنا الله ورسوله وصدق الله ورسوله
“Dan tatkala orang-orang mukmin melihat golongan-golongan yang bersekutu itu, mereka berkata : “Inilah yang dijanjikan Allah dan Rasul-Nya kepada kita. Benarlah Allah dan Rasul-Nya.””
Al Qurthubi dalam muqaddimah tafsirnya mengatakan bahwa menurut Imam al-Hakîm dan Imam At-Tirmidzî mengucapkan kalimat shadaqallahu al-azhim setelah selesai membaca Alquran merupakan salah satu bentuk adab membaca Alquran.”
Lalu Syaikh ‘Athiyah Shaqr melanjutkan:
وجاء فى فقه المذاهب الأربعة ، نشر أوقاف مصر، أن الحنفية قالوا : لو تكلَّم المصلى بتسبيح مثل . صدق اللّه العظيم عند فراغ القارئ من القراءة لا تبطل صلاته إذا قصد مجرد الثناء والذكر أو التلاوة ، وأن الشافعية قالوا : لا تبطل مطلقا بهذا القول ، فكيف يجرؤ أحد فى هذه الأيام على أن يقول : إن قول :
صدق الله العظيم ، بعد الانتهاء من قراءة القرآن بدعة؟ أكرر التحذير من التعجل فى إصدار أحكام فقهية قبل التأكد من صحتها ، والله سبحانه وتعالى يقول :{ولا تقولوا لما تصف ألسنتكم الكذب هذا حلال وهذا حرام لتفتروا على الله الكذب إن الذين يفترون على الله الكذب لا يفلحون } النخل :116
“Terdapat dalam fiqih empat madzhab, yang telah tersebar di Mesir, bahwa kalangan Hanafiyah mengatakan, seandainya orang yang shalat memuji Allah Ta’ala dengan mengucapkan Shadaqallah Al ‘Azhim, setelah pembaca selesai membaca Al Quran, maka itu tidak membatalkan shalatnya, jika dia memang murni bermaksud memuji, dzikir, atau tilawah. Sedangkan Syafi’iyah mengatakan, ucapan ini secara mutlak tidak membatalkan shalat. Lalu bagaimana bisa seseorang zaman ini mengatakan: membaca Shadaqallahul ‘Azhim setelah selesai membaca Al Quran adalah bid’ah? Apakah mesti diulang-ulang peringatan tentang sikap tergesa-gesa menelurkan ketetapan hukum fiqih sebelum menguatkan kebenarannya. Terakhir Allah Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung.” (QS. An Nahl: 116).
Bacaan Sesudah Tilawah Al Quran yang Diajarkan Rasulullah
Dalam sebuah hadits shahih yang diriwayatkan oleh Imam An Nasa’i dalam Sunan Kubra 9/123/1006, Thabrani dalam Ad Dua no 1912, Sam’ani dalam Adab Al Imla’ wa Al Istimla’ hal 75 dan Ibnu Nashiruddin dalam Khatimah Taudhih Al Musytabih 9/282., disebutkan bahwa Rasulullah setelah duduk di suatu tempat, membaca Al Qur’an, ataupun mengerjakan shalat, beliau membaca sebuah doa.
عَنْ عَائِشَةَ، قَالَتْ : مَا جَلَسَ رَسُولُ اللهِ مَجْلِسًا قَطُّ، وَلاَ تَلاَ قُرْآناً، وَلاَ صَلَّى صَلاَةً إِلاَّ خَتَمَ ذَلِكَ بِكَلِمَاتٍ، قَالَتْ: فَقُلْتُ: يَا رَسُولَ اللهِ، أَرَاكَ مَا تَجْلِسُ مَجْلِساً، وَلاَ تَتْلُو قُرْآنًا، وَلاَ تُصَلِّي صَلاَةً إِلاَّ خَتَمْتَ بِهَؤُلاَءِ الْكَلِمَاتِ ؟ قَالَ: (( نَعَمْ، مَنْ قَالَ خَيْراً خُتِمَ لَهُ طَابَعٌ عَلَى ذَلِكَ الْخَيْرِ، وَمَنْ قَالَ شَرّاً كُنَّ لَهُ كَفَّارَةً: سُبْحَانَكَ [اللَّهُمَّ] وَبِحَمْدِكَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوبُ إِلَيْكَ
Dari Aisyah beliau berkata, “Tidaklah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- duduk di suatu tempat atau membaca Al Qur’an ataupun melaksanakan shalat kecuali beliau akhiri dengan membaca beberapa kalimat.”
Akupun bertanya kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, “Ya Rasulullah, tidaklah Anda duduk di suatu tempat, membaca Al Qur’an ataupun mengerjakan shalat melainkan Anda akhiri dengan beberapa kalimat?”
Jawaban beliau, “Betul, barang siapa yang mengucapkan kebaikan maka dengan kalimat tersebut, amal tadi akan dipatri dengan kebaikan. Barang siapa yang mengucapkan kejelekan maka kalimat tersebut berfungsi untuk menghapus dosa. Itulah ucapan “Subhanakallahumma wa bihamdika la ilaha illa anta astaghfiruka wa atubu ilaika.”
Doa ini dikenal pula sebagai doa kifaratul majlis.
Toleransi dalam Masalah Khilafiyah
Ustadz Ahmad Sarwat, setelah memaparkan perselisihan pendapat mengenaan bacaan shadaqallahhul ‘azhim setelah tilawah Al Quran, memberikan nasihat bagi kita agar senantiasa toleran dalam menyikapi persoalan-persoalan khilafiyah semacam ini.
“Kalau kita melihat dari pendapat-pendapat yang ada di atas, jelas sekali bahwa ada kalangan yang membid’ahkan dan ada juga yang tidak membid’ahkan. Bahkan termasuk para ulama mazhab sekalipun, mereka tidak mengatakan bahwa shalat seseorang menjadi batal lantaran di dalam shalat membaca lafadz semacam itu.
Maka setidaknya kita jadi tahu, bahwa memang masalah ini masalah khilafiyah umat. Tidak ada nash yang secara tegas melarangnya, tapi juga tidak ada nash yang secara khusus memerintahkannya. Maka tidak tepat rasanya bila kita menjadi saling bermusuhan untuk urusan yang tidak ada nash yang tegas dan khusus.
Barangkali akan jauh lebih bermanfaat bila kita saling bertoleransi dengan sesama muslim, ketimbang kita harus menyakiti dan saling menjelekkan dengan saudara kita sendiri.”