Membangun ‘Jodoh’ Sang Da’i

Siapa bilang jodoh itu dicari? Menurut saya jodoh itu tidak hanya dicari, tapi ia juga dibangun. Paradigma jodoh adalah tentang mencari, mencari dan mencari, saya yakin, sampai nanti ketika ia benar-benar bertemu dengan pasangan sejatinya, hidupnya hanya akan disibukkan dengan proses kejar-kejaran untuk jodohnya. Tapi lain dengan jodoh yang juga dibangun, kalimat sederhana yang bisa menggambarkannya ialah ia terjaga, tertata, lalu nantinya akan jadi bercahaya. Indah bukan.

Tapi maaf, tulisan ini tidak sedang mencoba membahas jodoh. Tidak membahas perangkat-perangkatnya ataupun klausul prosesnya, tidak untuk itu semua. Biarkan bait awal ini adalah sebagai pengetahuan baru untuk melengkapi hari ini. Sebagaimana pengetahuan-pengetahuan lainnya yang senantiasa bisa kita cari dan dapatkan disekitar kita, dimana kelak pasti akan selalu jadi modal suatu saat nanti. Jangan pernah remehkan pengetahuan.

Berbicara tentang pengetahuan, teringat tentang sebuah cerita dari seorang pakar ekonomi yang pernah berkunjung ke negeri Tirai Bambu, Cina. Ia menuturkan bahwa ada sebuah monumen di dalam gedung museum Beijing yang disana tercatat dengan begitu tegas betapa Cina pernah mengagumi nusantara kita.

Dalam prasasti sejarah itu mereka mengatakan “Orang Indonesia adalah Orang yang pandai”, mengapa demikian, karena mereka melihat betapa ketika zaman itu Indonesia penuh dihiasi oleh kerajaan-kerajaan yang besar dan kuat, yang artinya orang Indonesia itu pandai karena mereka dapat mengatur manajemen kerajaan yang sejatinya begitu rumit. Selanjutnya dikatakan “Orang Indonesia adalah Orang yang rajin”. Boleh jadi kita sedikit tertegun dengan kalimat yang satu ini, tapi demikianlah kenyataannya. Cina memandang kala itu orang Indonesia begitu rajin dikarenakan begitu banyaknya kerajinan yang bisa mereka ciptakan bahkan beranekaragam bentuknya, satu daerah dengan daerah yang lainnya bisa jadi tidak sama dan kreatifitas mereka sungguh bisa dikagumi. Terakhir, mereka mengatakan “Orang Indonesia adalah Orang yang jujur”, disebut jujur karena budayanya yang ada di bangsa ini kala itu tumbuh dengan begitu mempesona, kepolosan masyarakat kita meski tampak sederhana tapi ternyata memiliki nilai luar biasa dimata bangsa seberang. Bolehlah kita jadi bangga saat ini, karena telah tertulis cerita dimana Cina pernah kagum pada Indonesia.

Melanjutkan dari cerita diatas, bisa kita ambil sebuah kesimpulan sederhana. Indonesia kala itu adalah marketer yang memiliki sifat mutlak. Ia memiliki kapasitas, differensiasi, dan juga tak kalah penting dari itu semua ada nilai yang dipersembahkan oleh bangsa kita yang tak bisa dihitung dengan harga. Akhirnya ketika teori perekonomian mulai berbicara, kejadian ini bukanlah kejadian yang bisa dibahasakan dengan formal sebagai Market Driven, ini lebih daripada itu, kita sedang Driving Market.

Dalam Bahasa yang Jelas

Mari kita mengenal apa itu Driving Market. Dalam konsep penjualan pada umumnya, logika yang dibangun adalah produk yang ditawarkan baik itu berupa barang maupun jasa akan dimunculkan dihadapan masyarakat sesuai dengan permintaan pasar yang ada, sesuai dengan kebutuhan konsumen atas sesuatu barang maupun jasa kala itu. Sehingga produk mana yang dapat memenuhi kenginan-keinginan tersebut, akan jadi produk yang otomatis diterima dengan baik dan laku dipasaran, secara umum tentunya, sekali lagi itu umumnya.

Namun tidak dengan metode yang satu ini. Mengendalikan pasar adalah suatu teori yang dimunculkan untuk menunjukkan bahwa ada produk yang bisa dihadirkan pada masyarakat tanpa harus mematuhi apa keinginan mereka, tanpa harus memenuhi sesuai dengan hasrat yang ada pada mereka. Mengendalikan pasar adalah ketika ada pihak yang menyampaikan produk, dimana produk tersebut mungkin belum sama sekali ada dalam benak masyarakat, belum sama sekali terfikirkan bisa terjadi, atau bahkan belum sama sekali ada kemungkinan-kemungkinan gambaran yang timbul dari masyarakat untuk menanti suatu saat akan ada produk tersebut. Singkatnya, sang pemasar ini sedang berproses menawakan produk benar-benar baru yang nyatanya tidak melulu harus sesuai dengan keinginan pasar. Inilah uniknya, maka bisa dikatakan tidak harus menuruti orang lain untuk memperkenalkan sesuatu. Masih ada ruang-ruang untuk arus baru yang bisa dan selalu bisa untuk dihimpun. Sebab yang menjadi utama untuk itu semua bergantung pada sebebapa besar dari kepemilikan atas kualitas.

Tidak masalah bila yang disampaikan adalah sesuatu yang rasanya begitu asing, asalkan ia berkualiltas. Dan kualitas inilah yang saya sebut sebagai bahasa yang sejelas-jelasnya. Sejelas-jelasnya dalam menyampaikan produk kita. Sekali lagi baik produk itu berupa barang maupun jasa, atau bahkan pemikiran. Asalkan perangkat-perangkat pendukungnya terpenuhi, baik dari segi isi, cara dan agen. Kemudian nantinya pada proses mengendalikan pasar, yang nanti hanya merupakan masalah waktu adalah bisa jadi barang tersebut, jasa tersebut, serta pemikiran tersebut dalam masa depan yang terukur ia tidak sekedar menguasai lahan Marketer, ia akan menjelma kemudian menjadi Leader. Konsistensilah yang nanti menjadi katalisatornya. Maka jika anda memiliki pemikiran baik ide atau gagasan, tidak sulit untuk mengajak orang lain mengikuti anda sebetulnya. Tunjukkan siapa anda, kabarkan kualitasnya.

Dalam Warna yang Tegas

Mari saya ajak sekalian untuk mencelupkan makna dari rentetan abjad ini dalam logika sebuah gerakan. Prinsipnya, apapun model gerakannya, ia sedang melakukan proses pembentukan rekam jejak intelektual. Sebuah proses tarbiyah atau bisa juga disebut sebagai proses pendidikan didalamya, selalu bertujuan untuk melahirkan manusia baru. Minimal lebih baru daripada hari kemarin. Mereka adalah manusia-manusia yang telah mengalami suatu proses besar perbaikan dari pembelajaran, yang di masa akan datang ketika suatu saat mereka mengembangkan kapasitasnya maka pola pemikiran, pola pendapat dan pola keputusannya adalah pola-pola yang sudah mengalami rekonstruksi. Pola yang telah terdidik.

Kemudian yang jadi soal, adalah acapkali sindrom negatif pemasaran lebih dulu mengabarkan untuk terjebak didalam arus, agar pemikiran yang dibawa dalam membangun sebuah gerakan harus ikut masuk beramai-ramai dalam satu sungai. Boleh saja ada toleransi, tapi agaknya menjaga identitas tidak bisa jadi hal yang dikesampingkan.

Sindrom negatif pemasaran yang dimaksud disini adalah ketakutan-ketakuan yang hadir karena melihat hiruk-pikuk pasar begitu dinamis, khawatir tenggelam dalam persaingan hingga akhirnya memaksa ikut turun gelanggang dengan tampilan yang menuruti keinginan pasaran.  Tidak salah memang, sekali lagi tidak salah ketika tujuannya hanyalah cukup jadi Marketer. Tapi betapa sayang nilai ide dalam sebuah gerakan jika hanya dibatasi sampai sana saja. Ada cara lain yang bisa digunakan untuk dapat naik jenjang sebagai Leader. Yaitu, menjadi Driving Market dengan memiliki kualitas.

Maka dari itu, tidak hanya produknya, tapi juga penawar produknya serta cara menawarkannya harus memiliki kualitas yang satu tali tiga uang. Tidak terpisahkan. Gagasan yang disampaikan harus diyakini keoptimalan fungsinya, kejelasan gambarannya, rincian modelnya oleh mereka orang-orang yang berada dan bergerak pada kesatuan tersebut terlebih dahulu. Sehingga maksud dari memiliki warna yang tegas adalah artikulasi dari sebuah pendapat yang mengatakan bahwa konsumen sesungguhnya dari gagasan kita bukanlah mereka yang ada diluar barisan, tapi konsumen yang sesungguhnya dari gagasan kita adalah mereka yang ada didalam barisan. Ibarat kata, sang pedagang bisa memiliki kebanggaan terhadap barang dagangannya dahulu, sang pedagang bisa memiliki pengetahuan terhadap barang dagangannya dahulu. Sehingga mereka bergerak dalam warna yang tegas, dalam warna yang mereka mengetahui warnanya.

Benar-benar akan Mencarimu

Mengutip dalam salah satu buku karya Syaikh Munir Muhammad al-Ghadban. Salah satu karakteristik dakwah dari Rasulullah SAW adalah berdakwah melalui intelektualitas da’i dan status sosialnya.

Tersebutlah disini Abu Bakar, yang merupakan salah satu da’i yang sangat berpengaruh pada waktu itu. Secara garis besar, Islam adalah sesuatu yang baru dalam pandangan mayoritas umat kala itu. Tapi lihatlah Abu Bakar, akhlaknya sebagai lelaki yang akrab dengan kaumnya, dicintai, dan disayangi, pengetahuannya yang dikatakan sebagai seorang Quraisy yang paling mengerti dan tahu tentang nasab suku bangsa Quraisy serta masalah kebaikan dan keburukan didalamnya, dan juga pekerjaannya yang menyebutkan dirinya adalah seorang pedagang yang memiliki akhlak mulia dan sering didatangi tokoh-tokoh kaumnya untuk dimintai pendapat mengenai banya hal. Status sosial seorang da’i akan menjadikan dia didengar ditengah masyarakatnya sehingga akan meninggikan derajatnya. Meskipun perlu diketahui bahwa secara keturunan, Abu Bakar termasuk suku Quraisy yang turunannya paling lemah. Tetapi hal itu tidak menghalanginya untuk memperoleh kedudukan yang tinggi di tengah kaumnya, bahkan untuk menjadi seorang Khalifah. Kapasitas isi dan kapasitas pembawa yang menunjang itu semua.

Akan lebih panjang jika harus dijabarkan secara teknis metode-metodenya, biarlah sedikit ini bisa menjadi gambaran yang mencerminkan secara sederhana maksud dari tulisan ini ada. Yaitu agar apa saja yang kita tawarkan, sejatinya memiliki kesempatan untuk dapat dijual dan laku dipasaran. Asalkan mau membentuk dan membangun kualitas. Ia akan dicari, bahkan oleh siapapun. Kendati suatu ketika akan ada usaha untuk menjatuhkan tampilannya, mengurangi daya jual dan simpati publiknya oleh pelaku-pelaku ide lain. Tidak jadi soal, ia akan tetap dicari, benar-benar akan dicari. Karena separuh dari bangunan kepercayaan adalah dalam bahasa yang jelas, separuh lainnya adalah dalam warna yang tegas.

Oleh: Muda Arif, Malang
Kadept Humas KAMMDA Malang
Facebook – twitter