Membincang “Mati”

“Inget tuh Syeh, rambut antum udah putih, udah tanda-tanda tuh,” ujar salah seorang kawan kepada rekan yang lebih berumur. Celetukan iseng ini akan bermuara kepada dua kemungkinan, kemungkinan pertama adalah tawa sekedarnya berlanjut dengan candaan lainnya. Kemungkinan kedua adalah, sebuah penyadaran sederhana yang membuat si pecanda dan yang dicandai menjadi merenung tentang akhir hidup yang semakin dekat, kendatipun terkadang renungan itu berlangsung dalam suasana yang santai.

Di sebuah kesempatan, seorang kawan nongkrong saya yang usianya belum genap lima puluh tiba-tiba saja tampil begitu rapinya. “Aku ikut tadi nyolatin si Fulan, lihat muka jenazahnya awut-awutan! Rambutnya gondrong gak keurus, masak mau ketemu malaikat kayak gitu?” Aha, ada yang sedang ingat mati rupanya, berbenah penampilan demi tidak mengecewakan Izrail yang mungkin saja menjemput tiba-tiba.

Di waktu yang lain, kawan saya yang seorang takmir sedang menyelesaikan sholat sunnah rawatib ba’diyah usai maghrib, ketika tercium bau pekat sitrus yang wangi. Usai saya mencari sumber wangi, akhirnya saya menemukan genangan cairan kuning di bawah kotak amal besar. Cairan pembersih lantai yang disimpan oleh sang takmir di dalam kotak amal rupanya tumpah. Mengetahui hal tersebut, saya panggillah kawan saya yang takmir itu, memberitahukan kepadanya perihal cairan pel yang tumpah. “Ane kira tadi ane nyium bau surga akhi,” jawabnya serius. Dan saya pun tersenyum lantas sedikit membatin, “Kok saya ndak mikir tentang bau surga ya?”

Beruntunglah saya, hidup di antara orang-orang yang tak takut membicarakan hal yang paling menakutkan menurut kebanyakan manusia. Sekedar celetukan tentang uban kawan nongkrong di masjid, bisa menjadi bahasan panjang tentang mati. Bau harum yang mencurigakan pun bisa dinisbatkan kepada bau surga. Melihat jenazah dengan tampilan acakadut pun bisa membawa kepada visi tentang kematian yang lebih “cakep”.

Banyak orang yang begitu takut membicarakan mati. “Aduh”,” ah”, “eh”, “hei“, kata-kata singkat itu yang biasanya keluar saat diingatkan tentang mati. Atau mungkin lengkapnya, “aduh jangan ngomong gitu ah!” Membicarakan mati memang tidak menyenangkan, seringnya setelah menghindar dari pembicaraan tentang mati, manusia akan membicarakan tentang hal-hal lain yang jauh-jauh dari mati. Ujung-ujungnya, sudah terlambat untuk membicarakan mati, sebab maut tiba-tiba saja sudah datang tanpa sempat dibicarakan.

Ah, membincang mati memang menakutkan, menciutkan hati. Pada dasarnya, setiap orang akan bereaksi sama ketika mendengar kata mati dalam sebuah perebincangan. Penyadaran, itulah reaksi yang biasanya terjadi. Namun rupanya penyadaran itu mengganggu, ia memutus semua angan tentang rencana hidup yang begitu indah terbangun. Ia mengusik rasa tanggungjawab terhadap keluarga yang harus diurus penghidupannya. Ia memutus rencana kesenangan yang mungkin akan membuat diri seakin jauh dari surga.

Maka, alih-alih terus berada dalam penyadaran, ketidaksadaran justru dirasa lebih nikmat. Ketidaksadaran akan membawa pada kenyamanan hidup bahagia, keamanan untuk berbuat semaunya, nantilah bicara mati yang membuat hidup serba tak nyaman itu. Padahal, tidak membicarakannya tak lantas membuat maut itu pergi selamanya, ia hanya tersembunyi dari ingatan manusia, lalu tiba-tiba datang menjemput saat kondisi ruhiyah berantakan.

Sebenarnya ada tempat yang biasa dipakai untuk membicarakan mati. Di pengajian atau ta’lim biasanya bab mengingat mati akan muncul sebagai salah satu bahasannya. Atau yang lebih sering lagi pada acara Yasinan. Dan tentu saja pada saat pengurusan jenazah, dari persemayamannya, pemandian, hingga pemakamannya.

Namun tetap saja, di luar  acara-acara tersebut orang enggan membincang tentang mati. Sederhana alasannya, pada acara-acara tersebut orang-orang sedang mengingat mati, namun kematian sang jenazahlah yang diingat, kematian bagi orang lain. Kematian diri sendiri, entah! Syukur-syukur jika terpikir beberapa saat tentang nasib diri ketika maut menjemput saat acara-acara itu berlangsung.

Kullu nafsin dzaa’iqotul maut, begitu firman Allah di awal surah Ali Imran ayat 185, setiap jiwa pasti akan merasakan mati. Mau dibicarakan atau tidak, mati pasti akan datang. Mau siap atau tidak siap, maut pasti menjemput. Maka membicarakannya untuk mengingatnya agar diri ini siap tentu lebih baik.

Maka bincangkan mati, berkhayallah tentangnya. Ajak orang-orang terdekat kita berkhayal tentangnya. Bincangkan dengan isteri tercinta, orangtua terkasih, sahabat terdekat, ajak semua untuk mengingat, ajak semua untuk berandai tentang akhir hidupnya. Jika mereka menolak untuk membicarakannya, bicarakan lagi esoknya, atau lusa, atau lusa lagi, sampai mereka mau membincangkannya, atau sampai mereka bertanya mengapa kita begitu ingin membicarakan mati.

Agar kita tak lupa, bahwa hidup ini tak selamanya. Sekedar membicarakan “masa depan” tentu tak masalah, agar tak lupa membuat rencana.