Allah SWT telah menetapkan syari’at bagi umat Islam. Syari’at yang telah Allah tetapkan pasti dan mutlak untuk kebaikan manusia itu sendiri jika mereka menyadarinya. Adanya propaganda dan perang pemikiran yang dihembuskan oleh musuh-musuh Islam membuat umat Islam sendiri menjauh dan takut dengan syari’at yang telah Allah tetapkan. Salah satunya adalah syari’at yang mengatur tentang hukuman dan larangan. Undang-undang anti pornografi dan pornoaksi yang beberapa tahun yang lalu masih berupa rancangan, mendapat aksi penolakan yang tidak sedikit, dan parahnya yang menolak undang-undang tersebut ada yang berasal dari orang-orang yang mengaku dirinya muslim.
Dalam sejarah berdirinya bangsa Indonesia, para tokoh ulama yang turut memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini pernah mengajukan salah satu sila dari kelima sila atau pancasila, yaitu pada sila pertama yang disebutkan bahwa “kewajiban melaksanakan syariat Islam bagi para pemeluknya”. Jelas hal tersebut menimbulkan pro dan kontra serta berbagai penolakanyang muncul kala itu. Dengan melakukan musyawarah dari para ulama dan tokoh-tokoh bangsa saat itu, sila yang pertama tadi diganti dengan bahasa yang lebih sederhana “Ketuhanan Yang Maha Esa” yang kita kenal hingga saat ini.
Mungkin banyak yang meyesalkan perubahan isi dan kandungan sila yang pertama tadi, namun jika kita mau mencermati lebih dalam, kata-kata ‘Ketuhanan Yang Maha Esa’ menunjukkan bahwa Indonesia hanya mengakui adanya Tuhan yang Esa, Tunggal, Satu, Ahad, yaitu Allah SWT, walaupun saat ini di negeri kita, Indonesia, mengakui 6 Agama. Sejarah selalu berulang dengan waktu, tempat dan pelaku yang berbeda. Bangsa ini mengulang sejarah yang telah terjadi beberapa puluh tahun silam. Saat beberapa orang menggaungkan gagasan untuk membuat undang-undang tentang syari’at Islam bagi orang-orang muslim, yang muncul adalah penolakan-penolakan yang didasarkan karena kurangnya ilmu dan kefahaman.
Yang pertama kali terbayang dibenak orang-orang yang menolak tegaknya syari’at Islam adalah hal-hal yang menakutkan. Potong tangan, rajam, hukum mati, qisas dan hal-hal menakutkan lainnya. Padahal ketika kita mau belajar sedikit lebih lama atau bertanya dengan lebih bijak, adanya hukuman-hukuman yang ‘menyeramkan’ itu adalah harus diikuti dengan bukti-bukti yang kuat dan syarat-syarat yang tidak mudah.
Sebagai contoh adalah hukuman rajam bagi pezina dan potong taangan bagi pencuri. Orang yang melaporkan seseorang berbuat zina harus mengajukan empat orang saksi, yang memiliki kriteria-kriteria tertentu, yang melihat perbuatan zina itu secara langsung dan mereka melihat kejadian itu layaknya sebuah benang yang masuk kedalam lubang jarum. Jika sang pelapor tidak bisa menunjukkan bukti maka yang pelaporlah yang akan mendapat hukuman berupa hukum cambuk.
Begitu pula dengan hukuman potong tangan bagi seorang pencuri. Tidak semua orang yang mencuri bisa dijatuhi hukuman potong tangan. Ada syarat dan batasan yang telah Allah tetapkan, misalnya harga dari barang curiannya, keadaan negara dimana ia tinggal dan lain sebagainya. Tak heran Khalifah Umar bin Khattab r.a. pernah menghukum seorag pencuri dengan hukuman cambuk karena saat itu sedang terjadi masa-masa sulit atau paceklik. Itulah syari’at. Ia telah Allah tetapkan agar manusia terjaga jiwa dan hartanya. Carilah sumber hukum dari Al Qur’an, Sunah Rasulullah SAW, ijma’ ulama, qiyas dan berbagai sumber hukum Islam yang telah Rasullullah tinggalkan.
Sebagai penutup izinkanlah saya berbagi pengalaman yang terjadi di sebuah kampung yang masyarakatnya telah merasakan nikmatnya mengikuti apa-apa yang telah Allah perintahkan. Suatu ketika salah satu penduduk kampung tersebut melakukan kekhilafan yang belum pernah terjadi di kampung tersebut. Terdapat dua kubu yang menginginkaan hukuman untuk orang yang bersalah tadi. Satu kubu ingin memasukkan kedalam penjara dan satu kubu ingin ditegakkan syari’at Islam, potong tangan.
Maha Besar Allah yang telah menunjukkan jalan bagi hamba-hamba-Nya, pemimpin kampung itu adalah orang yang Allah karunia ilmu. Beliau mengatakan kepada kedua kubu bahwa hukuman syari’at hanya bisa diterapkan jika pemerintahannya telah memberlakukan hukum-hukum syariat bagi rakyatnya sehingga opsi potong tangan tidak mungkin di ambil, toh barang yang di ambil belum memenuhi batas minimal terkena hukuman potong tangan. Pun sang pemimpin kampung tidak sepakat memasukkan pelaku kejahatan tadi kedalam bui. Ia pun memutuskan kepada pelaku agar mengembalikan barang-barang yang bukan menjadi haknya dan sebagai pembelajarannya baginya, ia harus mau bertaubat kepada Allah, salah satunya dengan wajib menghadiri sholat jamaah di Masjid selama satu tahun penuh, seandainya ada satu hari saja ia tidak sholat jamaah di masjid maka ia akan mulai dari nol, begitu seterusnya.
Mungkin banyak yang tidak sepakat dengan apa yang dilakukan oleh pemimpin kampung tadi, namun ada hal positif yang dapat kita ambil. Sebuah kebijakan yang dapat membuat masyarakatnya melakukan kebajikan akan membuat masyarakat tersebut menjadi masyaarakat yang lebih baik.
Wallahu ‘alaam bishshowab.