Memelintir Angin Opini

Memelintir angin dan mengarahkannya sesuai keinginan bukanlah dominasi profesi insinyur. Kalau kita perluas kata ‘angin’ menjadi ‘angin opini’ maka akan tampil wajah pemilik dan redaktur media massa. Kompas termasuk salah satu insinyur pemelintir angin opini ini; menebarkan angin ‘kebenaran’ supaya pembaca mengikuti skema yang dikehendakinya.

Tanpa terasa, pembiasan angin opini ala Kompas itu merasuk di tengah kehidupan kita. Sayang, bukannya dirasakan ganjil tapi banyak di antara kita justru membela habis-habisan. Ketika representasi berita dan penggiringan opini yang dilakukan harian itu dikritik, para pengkritiknyalah yang dipandang salah dan tidak memahami jurnalisme.

Muasalnya adalah kredibilitas yang didudukkan amat mulia dalam harian itu. Seolah semua yang dilakukan pasti benar dan tak ada cacat. Perspektif yang diangkat Kompas semacam aksioma untuk diterima. Tentu saja ini tidak melalui pemaksaan tapi prosedur penawaran ideologi yang dilakukan secara terus-menerus, konsisten, dan menggunakan banyak pihak yang didudukkan kompeten.

Isu pluralisme misalnya, harian ini terbilang paling getol memperjuangkannya. Cara dan metode yang ditempuhnya pun tidak kasar dan blak-blakan model para sekularis Muslim atau Muslim moderat (baca: anti formalisasi syariat Islam). Dibandingkan pendukung opininya, Kompas berlaku santun. Inilah yang membuat setiap giringan angin opininya diterima.

Maka, tak perlu dengan cara eksplisit dan vulgar, pembaca setia yang mengamini angin opini Kompas sudah maklum apa yang dimaksud. Cukup dengan framing berita yang menempatkan satu pihak di posisi diperlakukan tak adil, maka akan banyak dukungan mengalir, betapapun kalimat pemberitaan Kompas tidak harus berbusa-busa. Inilah kelebihan koran bentukan Jakob Oetama dan P.K. Ojong. Konteks kalimat hingga berita sudah ditangkap oleh pembacanya, dan secara serta-merta dipandang sebagai ‘kebenaran’. Kelebihan ini pula yang akhirnya meninggalkan retakan wacana yakni berupa apriori terhadap suara lain di luar Kompas.

Kecerdikan Kompas dalam mengemas satu isu menjadi penting atau tidak penting, patut dibela atau tidak dibela, bisa kita dapati hari-hari ini saat militansi pengurus GKI Yasmin Bogor mendatangi beberapa pihak dalam menuntut kebebasan beribadah. Antusiasme Kompas patut diapresiasi karena dia mengonsisteni upaya penegakan hukum dan isu kebhinekaan serta kebebasan beribadah.

Sayangnya, Kompas sering terlampau bersemangat membela ideologi atau pihak tertentu hingga lupa hal-hal mendasar. Asumsi dan akar mendasar sebuah kasus terkadang diremehkan untuk diangkat. Tidak ada upaya untuk mengecek klaim Walikota Bogor soal penolakan warga dan manipulasi surat dukungan berdirinya tempat ibadah oleh pihak GKI. Seolah-olah putusan hukum formal sudah memadai. Padahal, isu pluralisme hingga kebebasan beragama menjadi tidak relevan bila mengabaikan dalih Walikota Bogor. Sayangnya, Kompas bergeming untuk tertarik dan seperti sudah merasa puas dengan fakta hukum dan klaim para pegiat LSM.

Padahal, bisa saja dalil Walikota Bogor itu salah dan bohong. Bila demikian, mengapa harian itu tak tertarik? Bukankah dalam banyak kasus pemberitaannya Kompas tak berhenti pada aspek forma hukum? Kadang ada berita-berita empati lewat berita feature mereka yang mengangkat rakyat miskin yang dipidanakan, nah hal semacam ini mestinya dilakukan pula di luar arus polemik legalitas IMB tempat ibadah yang dipersoalkan.

Harus diakui, kredibilitas yang tak lekang goyah menjadi faktor Kompas percaya diri sekaligus berlindung untuk melakukan pembelokan angin opini. Banyak yang sadar soal ini, meski lebih banyak lagi yang menuding salah pengkritik pembelokan angin opini tersebut.

Persoalan asumsi dasar dan akar persoalan terlupakan sepertinya penyakit bawaan yang diderita mereka yang kadung dianggap jadi nomor wahid di bidangnya. Dilupakan karena pemuja dan pemujinya tidak peduli. Kalau tidak melakukan hal semestinya masih ada argumen untuk membenarkan. Menarik bagaimana pengakuan jujur seorang mantan presiden kita yang merasa aneh ada kegaduhan di Ambon saat 1999-2003. Baginya masalah Ambon dibesar-besarkan, lantaran dia tidak mendapati pemberitaan kerusuhan di sana lewat Kompas. Tokoh kita ini, entah mengapa, begitu percaya pada Kompas dan bukan satu-satunya yang mengultuskan kebenaran dengan tulisan di Kompas.

Ketika kredibilitas dicukupkan dan dijauhkan dari kejujuran membela kebenaran hakiki (dan bukan versi pakar atau aparat), cacat dan keretakan berita Kompas mesti akan selalu ada. Dan ini merupakan persoalan tersendiri bagi bangsa ini. Apa pasal? Karena daya pengaruh Kompas amat besar sehingga bisa membuat yang salah jadi benar dan begitu pula sebaliknya. Banyak persoalan bersama jadi terbantu untuk dibicarakan dengan andil Kompas. Namun, tak jarang ada berita penting untuk didiskusikan tapi lantaran menguntungkan kalangan mayoritas, maka peristiwanya luput diabadikan.

Banyak persoalan yang dirasa penting oleh para pegiat pluralisme sebenarnya biasa-biasa saja. Dalam kaitan terkadang Kompas larut dan terbujuk untuk melanggengkan kepentingan asasinya: iman. Isu dominasi mayoritas misalnya, ini merupakan omong kosong yang ditiupkan kelompok LSM pemburu dolar yang sayangnya dibiarkan bersemai oleh Kompas.

Saat yang sama kebutuhan untuk menalarkan setiap keganjilan berita terorisme sepertinya enggan dipenuhi. Jangankan mengungkap secara blak-blakan dan jujur, memberitakan peristiwa yang seharusnya diberitakan dengan adil saja masih berat. Kerusuhan di Ambon beberapa bulan lalu atau penggusuran semena-mena masjid di sebuah institusi militer di Medan oleh sang petinggi institusi luput dilakukan.

Akhirnya, semahir apa pun seorang insinyur, pada suatu waktu dia tak akan kuasa menahan bila angin yang datang berupa puting beliung atau bohorok. Terpaan kebenaran kadang tidak datang dari arus elit, yakni kaum intelektual dan petinggi pemerintah, tapi dari gejala tiba-tiba dan ada peranan faktor X (baca: Tuhan nan Esa). Bila ini berlaku dalam aras angin opini, bersiap saja puting beliung itu melibas habis pemelintiran hingga pembusukan wacana yang pernah dilakukan media-media arus utama semisal Kompas.

 

Yusuf Maulana – Yogyakarta

Blog dan Facebook