Izinkanlah saya mengajak para pembaca untuk membayangkan diri kita sebagai anak yang masih berusia sekitar 4-5 tahun, berada di dalam kelas (TK Kecil) bersama 40 murid lainnya yang berusia sama. Ibu guru menawarkan sesuatu sebagai berikut: “Anak-anak,…Ibu Guru akan memberimu 1 bungkus roti yang enak sekali. Satu orang satu bungkus.”
Ibu Guru pun melanjutkan keterangannya. ”Namun, apabila ada anak-anak yang mau menunggu sampai ibu selesai mengerjakan pekerjaan ini, sekitar 20 menit lagi, maka ibu akan beri padanya 2 bungkus roti tersebut,” demikian Ibu menyampaikan berita gembira pada murid-muridnya.
Bagi anak seusia 4-5 tahun, ini merupakan tantangan yang sangat menggiurkan. Dalam dirinya muncul “perjuangan” antara dorongan hati dan pengekangan diri, antara hasratnya yang ingin segera mendapatkan roti yang enak sekali dan kendali diri untuk mendapatkan 2 roti sekaligus, antara pemuasan segera dan penundaan yang membahagiakannya. Memang, kemampuan menahan dan menunda dorongan hati merupakan ketrampilan psikologi yang tidak kalah pentingnya dengan ketrampilan-ketrampilan lainnya. Mengapa? Karena ini merupakan fondasi dari segala kendali emosi. Kita ketahui bahwa semua emosi memiliki sifat membawa dorongan emosi untuk bertindak, bisa bertindak dengan kendali diri atau tanpa kendali diri (liar).
Ada sebuah studi yang dilaksanakan oleh pakar psikologi, Walter Mischel, pada tahun 1960-an di taman kanak-kanak kampus Stanford University California. Sebuah studi yang sangat menakjubkan dunia mengenai “Tantangan Marshmallow” (sejenis makanan) yang disodorkan pada anak-anak yang berusia empat tahun memperlihatkan dengan jelas betapa pentingnya kemampuan menahan emosi atau kemampuan menahan dan menunda dorongan emosi. Hebatnya lagi, studi ini melacak perkembangan anak-anak yang berusia 4 tahun hingga mereka lulus dari sekolah menengah atas.
Hasilnya, beberapa anak umur empat tahun, ada yang mampu menunggu hingga 20 menit untuk mendapatkan dua bungkus marshmallow. Agar berhasil melewati “godaan-godaan” itu anak-anak tersebut ada yang menutup mata, ada yang bernyanyi, mengoyang-goyangkan kaki dan tangannya, bermain dengan permainan yang tersedia dan bahkan ada yang mencoba untuk tidur. Anak-anak yang berhasil ini semuanya memiliki imajinasi betapa enaknya marshmallow itu apalagi mendaptkan dua bungkus…”Hmm..enaknya”.
Sementara, anak-anak yang lainnya lebih menuruti dorongan emosinya, dengan secepatnya menyambar marshmallow yang hanya mendapatkan satu bungkus, beberapa detik setelah peneliti mengizinkan untuk mengambil marshmallow tersebut.
Ketika empat belas tahun kemudian, anak-anak TK yang memasuki remaja itu dilacak kembali kualitas dorongan emosinya. Kemudian dilakukan pengelompokan dari segi “emosi dan sosial” antara anak-anak TK yang tidak mampu menahan godaan marshmallow dan anak-anak yang mampu menahan godaan marshmallow. Anak yang mampu menahan godaan pada umur empat tahun menjadi remaja yang secara emosi dan sosial lebih cakap, secara pribadi lebih efektif, lebih tegas, dan mampu menghadapi kekecewaan hidupnya. Mereka tidak mudah hancur, tidak mudah menyerah atau putus asa dibawah beban stress atau bingung serta kalang kabut bila mengalami tekanan. Mereka siap menghadapi tantangan hidup, mereka percaya diri dan yakin akan kemampuannya, dapat dipercaya dan dihandalkan dan sering mengambil inisiatif serta mampu menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan besar. Dan setelah sepuluh tahun kemudiaan, mereka tetap mampu menunda kepuasan demi mengejar tujuan besarnya. Mereka tidak mengurangi sedikitpun “energi” dorongan emosi itu, melainkan mengumpulkan dan mengarahkan “energi” dorongan emosi itu kearah hal-hal positif dan mereka mampu mengendalikannya. Mereka menjadi orang dewasa yang sukses.
Sebaliknya, anak-anak yang tergoda marshmallow cenderung memiliki gambaran psikologi yang merepotkan. Sewaktu remaja mereka cenderung menjauhi hubungan sosial, keras kepala dan peragu, mudah kecewa, kurang menghargai dirinya sendiri, pesimis, terkalahkan oleh stress, mudah iri hati, mudah cemburu, menanggapi setiap respon dengan kasar dan berlebihan serta mudah terjadi percekcokan. Dan setelah sepuluh tahun kemudian, merekapun tidak mampu menunda kepuasannya, merekapun tidak kesulitan dalam meraih tujuan-tujuan besarnya.
Sahabat Golden Family yang berbahagia,
Melatih “menahan dan menunda” setiap keinginan anak merupakan cara yang tepat untuk mengasah kemampuan dorongan emosi yang terus bekembang pada diri anak. Dorongan emosi ini sangat penting sekali untuk kehidupan anak, terutama disaat anak akan meningkatkan kualitas hidupnya. Bagaimana anak memutuskan setiap pilihan-pilihan dan sikap hidupnya, akan ditentukan dari pola dorongan emosinya.
Orangtua harus menjadi “pelatih” dalam proses pengasahan dorongan emosi ini. Contoh-contoh yang diberikan orangtua dalam mengelola setiap dorongan emosinya akan mempermudah proses pelatihan ini. Seperti, melakukan puasa dalam bulan Ramadhan satu bulan penuh adalah sarana yang paling tepat untuk melatih dorongan emosi ini.
Dalam berpuasa Ramadhan bukannya kita tidak boleh makan dan minum, namun makan dan minumnya ditunda pelaksanaannya, yang biasanya makan dan minum di siang hari, maka ditunda menjadi makan dan minum di malam hari. Rasa lapar dan haus di siang hari harus mampu ditahan. Bila ada perasaan jengkel, sakit hati harus bisa ditahan dan digantikan dengan perasaan sayang dan cinta kasih. Bila anak kita belum mampu berpuasa (menahan dan menunda) satu hari penuh (di Indonesia kurang lebih 14 jam), maka latihlah berpuasa hanya setengah hari saja (jam 12 berbuka lalu berpuasa lagi). Bila juga belum mampu, minimal latihlah menunda (meskipun hanya 1 jam) ketika anak meminta sesuatu yang menjadi keinginannya. Berikan batasan-batasan agar anak bisa mengidentifikasikan dorongan-dorongan emosinya dengan baik.
Selain dengan cara memberi contoh, orangtua harus memberi “pemaknaan positif” dari setiap dorongan emosi yang muncul. Pemaknaan positif terhadap penundaan keinginan anak akan memberi arti “yang baik” bagi anak. Seperti contoh studi penelitian diatas, barang siapa yang mampu menunda mengambil marshmallow selama 20 menit akan mendapatkan 2 marshmallow dan yang tidak mampu hanya mendapatkan 1 marshmallow.
Demikian juga melatih “menahan dan menunda” keinginan anak kita dengan cara berpuasa di bulan Ramadhan. Tanamkanlah memori yang baik akan manfaat puasa di bulan Ramdhan, jangan terburu-buru menghubungkan puasa dengan dosa seperti yang tidak berpuasa akan mendapatkan dosa. Sebaiknya, kaitkan puasa dengan hal-hal yang menyenangkan hati anak seperti memberi “hadiah” setelah anak mampu melakukan puasa. Memberi pengakuan yang baik pada anak merupakan hadiah yang tidak ternilai bagi anak-anak kita. Kemampuan anak dalam menahan dan menunda setiap keinginannya akan meningkatkan kualitas pengendalian dirinya dalam setiap langkah kehidupannya. Demikian diantaranya, cara orangtua menjadi pelatih emosi bagi anak-anak kita.
Selamat menjadi pelatih dan mencobanya.
Ingin ngobrol dengan saya: dr.Amir Zuhdi, silahkan follow saya di twitter:@amirzuhdi