Menangis Karena Tangis

Saat-saat perpisahan, air mata tumpah tanpa sengaja, atau sengaja. Saat muhasabah, air mata pun mengaliri pipi wajah. Begitu juga dengan banyaknya cobaan yang menimpa, air mata kian tak terbendung. Tangis itu ada yang benar-benar karena haru, menyesal karena banyaknya kesalahan, ada juga memang terbawa oleh tangis itu sendiri.

Tangis karena menyesal atas banyaknya kesalahan itulah yang kita sebut dengan tangis orang yang bertaubat. Ia bertekad tidak mengulangi lagi kesalahan yang pernah ia lakukan untuk yang kedua kalinya. Sedang tangis karena terbawa tangis adalah tangisan karena memang suasananya atau lingkungan saat itu sangat mengharukan. Ia tertangis-tangis juga. Ini biasanya disaat menyaksikan acara perpisahan, atau kesedihan sebuah keluarga karena ada yang meninggal dunia.

Saya sering menyaksikan orang model kedua. Menangis karena tangis. Ini biasanya terjadi saat acara muhasabah, momen perpisahan, dan momen kematian. Adakah yang salah dengan model kedua ini? Sebenarnya tidak juga, walau ada. Tangisan seperti ini biasanya kesannya tidak terlalu lama, paling satu sampai dua hari saja. Setelah itu tinggal kenangan bahwa momen tersebut sangat mengharukan.

Ini berbeda dengan model pertama. Tangisan ini murni dari diri sendiri. Mungkin karena kesedihan yang sedang dialaminya. Karena penyesalan yang mendalam terhadap kesalahan-kesalahan yang dilakukannya. Model ini biasanya akan berkesan lama, sampai semua yang menjadi sebab tangisan itu tergantikan dengan kegembiraan.

Untuk mengetahui di posisi manakah kita berada, sepertinya kita harus menyendiri di dua pertiga malam, membaca Al-Qur’an dengan mentadabburinya. Bertafakur, mengenang dan mengambil pelajaran dari kisah para Nabi dan Rasul. Apakah di saat ini ita menangis atau tidak? Jika memang kita bisa setulus hati menangis karena banyaknya dosa kita, dan saat itu juga berjanji untuk memperbaiki diri kita dengan amal nyata merubah diri, maka itulah mungkin yang disebut dengan tangisan karena Allah. Namun jika yang terjadi adalah sebaliknya, tanpa efek, tetap tak bisa menangis walau dipaksa-paksa, maka itulah mungkin yang disebut dengan “orang yang berhati batu”, keras.

Jika di saat bermuhasabah pada moment keramaian, di saat perpisahan, di saat kematian, kita meraung-meraung berlimpah air mata, inilah mungkin yang disebut dengan menangis karena tangis. Ia menangis karena di sekelilingnya semua orang menangis, ia menangis karena diceritakan tentang kesedihan yang mengharu biru. Ia menangis karena lingkungannya memaksa ia harus menangis.

Yang lebih kita takutkan adalah model ketiga, orang yang keras hatinya. Yaitu orang yang tidak bisa menangis disaat-saat haru. Padahal semua orang di sekelilingnya menangis, dipaksakan pun ia tidak bisa juga menangis. Tentu saja kalau di suasana seperti itu saja  ia tidak bisa menangis apalagi di saat sendiri menghadap Rabbnya atau sedang membaca Al-Qur’an, karena ia mungkin saja juga sama sekali tidak akan pernah menghadap Rabbnya atau membaca kitabNya.

 

Oleh: Jumardi, Pekanbaru

Mahasiswa Fakultas Ushuluddin UIN Suska Riau

FacebookBlog