Judul Buku : Ibunda Hajar
Penulis : Dedi Ahimsa
Penerbit : Zaman, Jakarta
Cetakan : I, 2009
Tebal : 177 halaman
Hajar merupakan perempuan yang akan selalu dikenang sepanjang zaman. Membaca Hajar, kita akan membaca kokohnya keimanan yang dimiliki seorang perempuan. Hajar adalah cermin bagi kita mengaca akan arti sejatinya sebuah ketabahan, ketegaran, keteguhan, perjuangan, pengorbanan, dan pengabdian kepada Allah SWT. Buku ini mencoba mengabadikan kisah Hajar yang mungkin tak kuat terekam dalam benak kita.
Secara keseluruhan, apa yang dipaparkan buku ini belum lengkap mengisahkan sosok Hajar sejak lahir sampai meninggal dunia. Hal ini masih dimaklumi karena keterbatasan referensi yang kerap sulit diatasi. Ikhtiar Dedi Ahimsa sebagai penulis buku dengan mengambil sosok Hajar untuk dikisahkan layaklah diapresiasi. Lewat buku ini, Dedi Ahimsa mengisahkan perjalanan hidup Hajar dengan keindahan bahasa sastra. Mungkin bagi kita tak terlalu asing dengan kisah yang dipaparkan, namun bukan berarti kita telah menguasai sepenuhnya jejak historis dan biografis dari seorang Hajar.
Siapa pun kita terus teringat kisah Hajar yang berlari-lari di antara dua bukit: Shafa dan Marwa. Apa yang dilakukan Hajar itu menjadi salah satu ritual dalam pelaksanaan ibadah haji sampai akhir zaman nanti. Mari kita simak penggalan episode ini yang disajikan Dedi Ahimsa: “..Alangkah lagi menuju Ismail, Hajar tersungkur ke tanah. Ia tak kuat lagi melangkahkan kakinya. Seluruh persendiannya terasa lepas. Sekuat tenaga ia coba berdiri, tetapi kembali terjatuh. Akhirnya ia merangkak bertumpu pada kekuatan tangan dan lututnya.. Namun tiba-tiba matanya bercahaya. Beberapa depa di hadapannya ia melihat cahaya berkilauan, tepat di bawah kaki Ismail.. Ia melihat genangan air yang memantulkan cahaya matahari senja. Warnanya sungguh indah. Kuning kemerahan ditingkahi kerlap-kerlip laksana bintang. Hajar mempercepat geraknya dan tiba di dekat Ismail. Hajar berteriak girang. Genangan air yang dilihatnya bukanlah fatamorgana. Sebuah mata air memancar dari tanah di bawah kaki Ismail. Bahkan putranya itu, yang tadi tidak bergerak sama sekali, kini terlihat kegirangan. Kedua kakinya bergerak-gerak lucu mempermainkan air.. “Zami, Zami,..!” (halaman 119).
Buku ini disajikan dalam delapan bagian sebagai alur pengisahan sosok Hajar: (1). Benih untuk Tanah yang Mati, (2). Terdampar di Mata Air Cinta, (3). Abu Rahim, Mata Air Cinta, (4). Cinta Tanpa Jeda, (5). Suamimu Bukanlah Matahari, (6). Isma’il, Tuhan Mendengar Pintaku, (7). Makkah, Lembah yang Diberkahi, dan (8). Ujian Terakhir. Menelusuri setiap bagiannya, kita memang tak selalu merasakan denyut Hajar dalam tarikan nafas ketika membaca. Pada bagian-bagian tertentu, kita justru menikmati kisah Ibrahim dan juga kisah mengenai Sarah. Ibrahim dan Sarah memang tak bisa dilepaskan dari perjalanan hidup Hajar, sehingga Dedi Ahimsa merasa perlu memaparkan riwayat Ibrahim dan Sarah.
Dengan membaca buku ini, kita mungkin saja bisa menemukan sisi lain yang belum sempat terlintas dalam hati dan pikiran kita. Sosok Hajar akan terus dituliskan dan tak terlupakan. Ada banyak buku yang (akan) mengisahkannya. Kita pun kerapkali menemukan hikmah dan kebijaksanaan dari kisah Hajar yang disajikan. Buku Ibunda Hajar karya Dedi Ahimsa ini moga menarik untuk kita baca.
“Pada dasarnya, Hajar tak melulu harus kita kenal sebagai ibunda dari Ismail. Hajar adalah sosok perempuan besar yang telah membangun lembah Bakkah (Mekkah). Ilmu pengetahuannya yang luas menjadikan dirinya sebagai arsitek peradaban di lembah itu. Ia telah membangun tatanan masyarakat dari titik nol. Ia pun menjadi juru dakwah di tengah masyarakat yang dibangunnya sebelum kedatangan Ibrahim ketika Ismail telah beranjak besar. Betapa luar biasanya Hajar yang layak dicatat dalam tinta emas sejarah sebagai perempuan pembangun peradaban.”(Hendra Sugiantoro).
Oleh: Hendra Sugiantoro
Pegiat Pena Profetik, tinggal di bumi Indonesia