Beberapa saat lalu, saya membaca sebuah buku karya Muhammad Quthb. Temanya cukup menarik. Kembali menanyakan sejarah umat Islam yang tertulis dalam kertas-kertas sejarah.
Tema sejarah sendiri menjadi salah satu kajian penting bagi peradaban manusia. Era sejarah,dalam pengertian barat, waktu dimana manusia telah mengenal huruf dan tulisan. Peradaban yang bersejarah pun ditandai dengan era tulis menulis. Agama-agama besar juga ditandai dengan kitab-kitab samawi. Pantas jika Al Qur’an tergolong mukjizat. Karena masa depan adalah era ilmu. Ilmu diikat dengan tulisan dalam kitab-kitab.
Jika saja kita perhatikan, sebagian isi dalam Al Qur’an pun adalah ‘sejarah’. Meski Al Qur’an bukanlah kitab sejarah. Cara Al Qur’an bertutur tentang sejarah pun tergolong berbeda. Al Qu’an meninggalkan pola umum penulisan sejarah yang mencantumkan waktu dan tokoh-tokoh yang telibat dalam peristiwa tersebut. Cara Al Qur’an mengungkap sejarah terasa berbeda karena ia mengungkap hal penting saja dalam sebuah rangkuman peristiwa masa lalu. Bagi Al Qur’an, bukan sekedar peristiwa tersebut yang penting, tapi lebih penting adalah pengungkapan kaidah sunnah (sunnatullah), yang dalam pemahaman barat berarti hukum alam.
Kemampuan manusia menangkap sunnatullah itulah yang menjadikan masa depan manusia mampu mengantisipasi kondisi alam yang selanjutnya menggunakan sunnah tersebut bagi kebaikan manusia. Sebagai contoh, kemampuan manusia memahami gempa mampu memunculkan gagasan rumah ‘tahan’ gempa.
Kembali kepada karya Muhammad Quthb. Ia menawarkan agar ada penulisan ulang terhadap sejarah kaum muslimin. Hal ini dikarenakan kitab-kitab yang berkenaan dengan sejarah kaum muslimin lebih banyak menitikberatkan tentang sejarah penguasa dan politik.
Coba perhatikan! Sejarah umat Islam ditulis sebagai sejarah Dinasti Umayah, Dinasti Abbasiyah, Dinasti Mamalik, Dinasti Utsmaniyah. Padahal, dinasti-dinasti tersebut bukanlah satu-satunya representasi dari sejarah umat Islam. Sejarah umat Islam haruslah ditimbang dari seberapa komitmen umat ini terhadap ajaran (syari’at) Islam. Kapan umat islam berada dalam kondisi dekat dengan Islam dan kapan umat ini menjauh dari ajarannya.
Jikalau ini yang menjadi cara penulisan sejarah umat Islam, maka akan kita dapati bahwa sejarah umat ini memiliki rentang waktu yang panjang dan mempesona. Ukuran ini pantas untuk dijadikan sebagai metodologi penulisan sejarah umat Islam, mengingat umat ini tumbuh dengan karakter dan kepribadian yang khas. Umat Islam adalah masyarakat dengan basis pembentukan yang tak terpengaruh oleh sekat ras, suku, bangsa, latar belakang sosial atau bahasa yang sama. Umat ini tumbuh dan berkembang lantaran memiliki ikata aqidah yang sama.
Inilah satu-satunya peradaban yang menegakkan tauhid sebagai asas kehidupan.
Sebagai gambaran sederhana, saat sebuah peradaban membentangkan kekuasaannya ke wilayah-wilayah yang luas, maka akan kita dapati bahwa bangsa penakluk akan senantiasa memperbudak wilayah yang ditaklukkan. Sumberdaya bangsa terjajah habis terserap oleh negara induk. Tak jarang pelanggaran-pelanggaran kemanusiaan muncul disana sini. Entah penaklukan dimasa Romawi atau Persia atau era kolonialisme hingga abad modern saat ini. Motif ekonomi dan ‘penjajahan’ terselubung menjadi hal yang terlihat kasatmata.
Sedangkan Islam, hanya punya satu alasan mengapa ia mesti memasuki setiap ruang dibumi ini. Sebab agama Islam adalah agama bagi manusia keseluruhan. Ia tidaklah menjadi agama khusus bagi bangsa Arab, Asia, atau Afrika. Luas wilayah Islam yang membentang dari Asia Timur hingga Afrika Barat bukanlah bentuk kolonialisme atau imperialisme.
Setiap kali pasukan Islam memasuki wilayah baru, maka yang dilakukan pertama kali adalah meminta kepada penduduk untuk memeluk Islam dengan sukarela (juga bagi para penguasanya), jika tidak mau maka cukuplah jizyah (semacam upeti) sebagai bentuk kerelaan dari penguasa wilayah tersebut agar Islam bisa tersebar dengan bebas di wilayah tersebut.
Bila dua tawaran itu pun di tolak, maka perang baru akan dikobarkan. Saat setelah wilayan tersebut jatuh ketangan pasukan Islam, maka penduduknya tak lantas menjadi budak. Mereka tetap hidup bebas dengan keyakinan masing-masing. Hidup merdeka tanpa ada satu pun manusia yang bisa berbuat dzalim kepadanya.
Itu lah perbedaan antara ‘penaklukan’ Islam, atau lebih tepatnya pembebasan, dengan penaklukan yang lainnya. Kiranya ada banyak contoh lain yang menggambarkan betapa berbedanya umat ini tumbuh dengan umat yang lain.
Demikianlah seharusnya sejarah Islam ditampilkan. Sejarah haruslah mengungkap dengan jujur baik buruknya sebuah peradaban. Umat Islam pun memiliki sisi gelap saat umat ini jauh dari Islam. Kita, tidaklah pantas untuk menyembunyikan bagian ini. Sebab, setiap penggal masa lalu pasti punya tempat bagi kita untuk mengambil pelajaran dan kaidah.
Bayangkan saja, umat ini telah tegak dengan kokoh selama 14 abad! Tak semua kurun waktunya berupa kejayaan dan kemuliaan. Pasti ada celah dan jalan menikung yang membelokkan arah umat Islam dari tujuan semestinya.
Kemampuan kita untuk menampilkan masa lalu dengan benar, memudahkan umat ini membangun kembali reputasinya dimata dunia. Dunia merugi saat umat ini jauh terpuruk dibawah, sebab merekalah satu-satunya umat yang membawa risalah Allah bagi kemaslahatan alam raya.
Jika peradaban Barat ‘maju’ lantaran meninggalkan agamanya maka umat Islam justru tenggelam kala meletakkan agama di punggung mereka sendiri dan mengambil peradaban yang asing lagi keropos sebagai gantinya.
Pertemuan kita selanjutnya, penulis akan mencoba untuk menampilkan khasanah umat Islam dengan timbangan sebagaimana Muhammad Quthb menyuguhkan metodologi yang relevan bagi penulisan sejarah Islam dan hasil-hasil peradabannya. Semoga Allah memberi bimbingan dan arahan agar memudahkan kami untuk menyampaikannya. Allahumma amin..