“Cintailah kekasihmu sewajarnya, karena bisa jadi suatu saat dia akan menjadi seorang yang engkau benci. Dan bencilah orang yang engkau benci sewajarnya saja karena bisa jadi suatu saat dia akan menjadi kekasihmu.” (H.R. Tirmidzi dan dishahihkan oleh syaikh Al Albani).
Hadits diatas tentu saja bukan hadist yang jarang diketahui oleh kita sebagai umat muslim. Bahkan mungkin sudah terlalu sering dibacakan dalam kajian-kajian. Namun, sudah sedalam apa kita mampu menanamkan makna luhur dari hadits ini.
Manusia memang punya kecendungan yang ekstrim. Cenderung ke kiri atau ke kanan. Dalam bahasa kita kita mengenal lebay (belebih-lebihan) dan abai (tidak mengindahkan). Keduanya sama-sama tidak baik. Baik itu berlebihan atau mengabaikan.
Hal ini kadang karena kondisi yang kita alami saat itu. Misalnya, saat kita makan pedas, kita akan cenderung memilih meminum air dingin sebanyak-banyaknya. Padahal kita tahu, justru dengan minum air hangat rasa pedas yang merupakan rasa sakit ini justru akan cepat hilang. Kita abai pada manfaat yang ada. Namun berlebihan melakukan yang lainnya.
Begitulah hakikat mencintai dan membenci. Saat kita mencintai apakah itu orang ataupun benda yang ada dalam benak kita adalah kelebihannya. Semua baik, tidak ada yang buruk. Sebaliknya, saat kita membenci, apapun tentang dia selalu buruk. Tidak peduli sebaik apa yang dia lakukan, semua terlihat cacat dimata kita.
Masalahnya adalah cinta dan benci dalam hal dunia bukan satu hal yang mampu menetap kuat dalam hati kita. Sepasang suami istri ada kalanya sampai pada rasa tidak saling mencintai, namun komitmen mengikat kuat mereka. Hingga cinta itu mampu tumbuh bertunas kembali.
Kita yang terbiasa melihat segala hal kebaikan atas apa yang kita cintai akhirnya pun merasa bosan dengan hal itu. Habis sudah semua kebaikan karena setiap hari kita lucuti satu persatu. Tinggal keburukan yang ada hingga akhirnya melahirkan kecewa.
Sedangkan apa yang kita benci pun sama, akhirnya apa yang kita menci bisa jadi sebaliknya (kita cintai) karena sudah habis keburukannya kita kupas setiap hari. Tinggal kebaikannya saja. Akhirnya rasa benci itu menjadi kebalikannya.
Kalau sudah begini bagaimana? Malu kan?
Mau mengakui kalau itu baik, namun selama ini kita yang begitu ‘getol’ mengatakan bahwa itu buruk. Mau mengatakan bahwa itu buruk, namun selama ini kita yang selalu mengagung-agungkan dia. Itulah kenapa Rosul berpesan ‘SEWAJARNYA’. Mencintai sewajarnya, membenci pun sewajarnya. Berikan ruang untuk kecewa. Bahwa setiap apa yang kita cintai dan kita benci punya sisi lain yang tidak terduga.
Masih ingat fenomena pemilihan presiden tahun 2014? Hingga sekarang pun masih terasa. Bagi mereka yang memilih dan membela Parobowo, ada sebagian yang mati-matian begitu mencintai Prabowo. Hingga apapun yang dilakukan Jokowi selalu salah. Sebaik apapun.
Begitu pula sebaliknya, bagi yang memilih dan mengusung Jokowi, sebagian ada yang menganggap bahwa Probowo selalu salah. Hingga muncul istilah menabikan Jokowi. Buruknya adalah, hingga saat ini ketika ada sedikit yang memberikan masukkan terhadap pemerintahan, dianggap tidak bisa ‘move on’.
Padahal kalau kita mau sedikit saja berbaik sangka, setiap kita punya kelebihan dan kekurangan. Tidak ada yang sempurna benar. Termasuk kedua bapak bangsa diatas. Tugas kita pula untuk saling mengingatkan dengan cara yang santun dan baik.