Dalam pengajian Permata kemarin, seorang ibu bertanya kepada Ustadz Khairul Umam, Lc, “Ustadz, bagaimana menanamkan agar anak cinta buku? Anak saya dua orang, umur 9 dan 7 tahun, sangat suka mainan dan tidak suka baca buku. Yang kecil bahkan minta mainan mobil remot sampai menangis-nangis, tidak kami turuti, kami berusaha membelokkan….”
“Cinta buku harus ditanamkan sejak kecil, Bu. Dibiasakan dengan orang tua memberi contoh dan menfasilitasi. Anak kami yang nomor dua, sangat suka menulis cerita dan membaca buku, maka kami fasilitasi untuk dapat memenuhi hobinya dan bahkan kami tidak membelikan HP hingga anak duduk di bangku SMA. Anak-anak diberi pengertian dan mereka dapat mengerti….”
Ustadz Umam menjawab panjang lebar tentang pengalaman beliau mendidik anak-anak.
Saya tertarik dengan urusan mobil remot itu. Karena Ustadz Umam tidak membahasnya, saya bertanya, “Memang kenapa bu kalau anak suka mainan? Bukannya dunia anak itu dunia bermain? Ingin punya mobil remot bukannya hal yang wajar saja?”
“Masalahnya bu, ia mintanya mobil remot yang besar, harganya lebih dari 300 ribu seperti punya pamannya. Dibelikan yang kecil tidak mau. Saya khawatir kalau dituruti, maka akan merembet kepada mainan lain dan seterusnya. Mempengaruhi orientasi dia…”
“Menurut saya anak-anak jangan hanya berpikir mainan terus, tapi juga agar suka membaca buku…”
Hingga hari ini, saya masih memikirkan percakapan kami kemarin sore itu.Tentang anak dan mainan dan tentang anak dan buku.
Bukankah wajar anak mengingini mainan, karena itulah masa dan dunia mereka. Si orang tua ini harus sampai beberapa kali mengajak anak untuk jalan-jalan agar bisa lupa dengan keinginannya untuk memiliki mobil remot. Katanya berhasil lupa. Eh, sewaktu suatu ketika ke rumah neneknya dan melihat mobil itu lagi, cerita berulang. Dan mereka mulai bertengkar lagi.
Hmm, saya bisa membayangkan situasinya. Sehingga saya membayangkan sebuah dialog imajiner:
“Aku ingin mobil remot yang besar seperti punya paman…” kata si anak.
“O mobil itu ya…? Bagus ya mobilnya… Emang bisa apa saja, Nak?”
“Itu bisa membalik sendiri jika terguling atau menabrak tembok. Bisa melalui jalan yang sulit dan rintangan yang sulit…”
“Ooo keren ya… Pantesan kamu juga ingin, Ummi juga ingin kok… Cuma masalahnya harganya kan tidak murah ya, Nak. Gimana kalau kita menabung dulu… Nanti kalau sudah cukup uangnya, boleh kita belikan mainan yang kamu sukai. Boleh mobil remot yang seperti punya paman, atau yang lainnya…”
“Tapi aku maunya sekarang…!”
“Kamu tahu tidak, Paman itu dulu waktu masih kecil juga pengin mainan mobil-mobilan. Eh, paman menabung tuh dan bekerja… Setelah sebesar dan setua sekarang… Paman baru bisa beli mobil-mobilan itu…berapa lama ya jadinya paman menabungnya…?”
Kebetulan sang paman adalah orang dewasa yang sudah bekerja. Mungkin si anak itu masih akan cemberut. Namun, orang tua dapat membuat penawaran yang lebih realistis.
“Ada mobil remot itu yang harganya Rp. 15 ribu. Kalau kita menabung seminggu dua minggu. Mungkin bisa terbeli. Ada yang Rp. 60 ribu…mungkin kita menabung sekarantg, bulan depan bisa membelinya… Nah, kalau yang besar seperti punya Paman…ya agak lama baru terbeli…..”
Menurut saya, orang tua tidak selayaknya menafikan keinginan anak, walaupun tidak realistis. Berempati akan membuat anak merasa difahami. Alih-alih berempati, kadang orang tua memilih untuk menyampaikan hal yang negatif.
“Mobil mobilan itu tidak ada gunanya. Kamu hanya terbawa pengaruh teman-temanmu yang anak orang kaya… Sebentar saja kamu akan bosan. Kalau kamu tidak bisa merawat, sebentar juga sudah rusak… Lebih baik kamu beli buku. Membaca buku akan membuat kamu pandai…. Buku itu jendela ilmu…”
Betapa sedihnya si anak karena keinginannya tidak dihargai dan mimpinya terpatahkan. Justru dinilai dan diduga akan berlaku buruk, dan dihakimi orang tuanya sendiri. Padahal membangun mimpi adalah dasar untuk anak memiliki obsesi yang tinggi dalam hidupnya.
Coba jika orang tua mau memperpanjang dialog.
- Memulai dengan persetujuan bahwa mobil remot itu memang bagus dan hebat.
- Mengahargai bahwa anak boleh ingin memiliki sesuatu sekalipun itu barang mahal.
- Mengajak anak realistis dengan kondisi sekarang dan mengajarkan kesabaran untuk berproses.
- Mengajari anak untuk rajin bekerja keras dan menabung untuk mewujudkan keinginan.
- Mengkaitkan dengan pintu rejeki seperti berbuat baik, shadaqoh, rajin shalat, dan sebagainyauntuk memperluas pintu rejekinya.
- Mengajari berdoa dan tawakal bersama dengan kerja kerasnya.
Ah, mungkin Anda bisa menambahkan proses kebaikan lain selama membangun mimpi itu.
Pada saatnya, akan mudah bagi Anda untuk membelokkan pada membeli barang yang lebih bermanfaat bagi anak. Tentu atas persetujuan si anak.
Yang penting adalah menjadikan anak dekat dan merasa dipahami. Dengan demikian apa yang kita sarankan akan diterima. Pada saat anak ditolak dan marah, ia bahkan tidak bisa mendengarkan nasehat apapun. apalagi memaksa ia untuk berbelok 180 derajat kepada hal lain.
Hmm, saya tidak sedang menghakimi atau menggurui. tapi coba bayangkan kesudahan dua cerita yang berbeda 30 tahun lagi. Anak yang ditolak mungkin akan berkata kepada anaknya :
“Dulu ayah ingin mobil-mobilan yang sangat bagus. Tapi nenekmu tidak mengijinkan. Ayah malah dimarahi dan dipaksa untuk menyukai buku. Jadi kamu sekarang boleh membeli mainan apa saja, agar tidak merasa sakit hati seperti ayah dulu….”
Ia balaskan dendam kepada orang tuanya dalam bentuk sebaliknya. Atau justru ia berkata begini:
“Dulu ayah ingin mobil remot yang sangat bagus. Tapi nenekmu tidak mengijinkan. Jadi kamu juga harus tahu bahwa tidak setiap keinginan harus dituruti. Kamu jangan hanya minta mainan terus, tapi kamu harus menyukai buku…”
Bandingkan dengan anak yang difahami ortunya:
“Ayah dulu pernah sangat ingin mobil remot. Mobilnya bagus sekali. nenekmu juga setuju bahwa mobil remot itu memang bagus dan hebat. Tapi nenek mengajari untuk ayah belajar menabung dan bekerja keras untuk mewujudkan suatu cita-cita. Tak lupa juga berdoa. jadi sejak saat itu, ayah betul-betul hemat dan rajin menolong agar mendapat uang tambahan. selain itu ayah juga berdoa. Alhamdulillah, uangnya terkumpul cukup untuk membeli mobil itu. Namun, saat mau membelanjakannya, ayah memilih untuk membeli seragam futsal dan sepatu karena ayah sudah tidak lagi mengingini mobil tersebut…”
Apa pelajaran dari dialog imajiner diatas…..? Silahkan disimpulkan sendiri.Yang jelas mendidik anak adalah ramuan unik yang harus Anda temukan. karena setiap anak adalah unik dan istemewa, Anda yang harus merawat jiwanya agar tumbuh sehat dan sempurna.
Ida Nur Laila