Belum mahasiswa kalau belum pernah merasakan rasanya jadi aktifis. ‘Jabatan’ aktifis seolah menjadi label yang punya magnet kuat untuk menarik para mahasiswa berlama-lama di kampus. Apalagi aktifis dakwah, sebuah ‘jabatan’ yang tidak semua orang mau dan mampu menjalaninya. Ini bukan sekedar keinginan untuk masuk dan berjuang layaknya para pengurus BEM yang sedang aksi di jalan. Namun ada campur tangan Allah untuk memilih langsung siapa yang diberi-Nya kesempatan untuk berbuat lebih.
Namun bukan sebab Allah yang memilih lantas membuat para aktifis dakwah ini boleh berbuat semaunya. Tetap ada batas-batas yang jelas. Seimbang dan tidak berlebihan. Salah satu fenomena yang hingga saat ini masih menjamur di kalangan aktifis adalah mudah mendua.
Ada sebuah kisah yang bisa kita ambil hikmahnya. Saat itu tahun 2006. Seorang anak desa membawa sebongkah amanah dan harapan orang tuanya berangkat menuju kota pendidikan. Niatnya hanya satu, belajar dan pulang membawa ilmu, ijazah dan foto bertoga. Waktu berlalu, di kampus ada begitu banyak tawaran menggiurkan untuk mengikuti berbagai kegiatan. Mulai dari dauroh kepemimpinan, pecinta alam, aneka penelitian, beragam diskusi dan lain sebagainya. Dia pun tergiur. Menyaksikan kakak angkatan yang hampir setiap bulan pasti membawa poster besar-besar sambil orasi, membuat jiwa idealismenya muncul. “Itu baru mahasiswa,” begitu pikirnya.
Mulailah dia ikut beragam acara di kampus. Dia mulai lupa bahwa ada misi awal, sebuah amanah yang harus dituntaskan. Sebuah harapan yang harus dipenuhi. Waktu berjalan cepat. Tidak menjeda barang sedetik pun. Waktu 7 tahun sudah terlewati dengan suka duka menjadi aktifis. Pulang malam bahkan mabit untuk syuro’, pagi-pagi sudah harus di kampus untuk rapat BEM, akhir pekan tidak pernah absen dari dauroh. Akibatnya kantuk menyerang saat kuliah, beberapa kali lupa mengumpulkan tugas karena tidak sempat mengerjakan, bahkan lupa tidak ikut ujian karena ada jadwal kegiatan yang lain. Ada yang kurang pas disini. Satu sisi yang terlupakan. Amanah dan harapan orang tua. Hingga akhirnya Drop Out (DO).
Tentu tidak semua aktifis begitu, namun ini bisa menjadi bahan evaluasi bagi kita. Sudah berapa sering kita mendua, tidak fokus dengan apa yang sedang kita kerjakan. Saat kuliah sibuk mengirimkan sms aktifasi aksi, saat rapat di BEM sibuk sambil mengerjakan tugas kuliah. Sejatinya keduanya sama-sama amanah, dan keduanya akan minta pertanggungjawaban. Maka sudah seharusnya kita memberikan yang terbaik antara keduanya. Bukan hanya salah satunya. Tidak setengah-setengah, namun selalu penuh dalam setiap keadaan dan kondisi.
Maka, bila semuanya akan dipertanggungjawabkan, masihkah ada alasan untuk tetap mendua?