Tadi sore (2/6) kedatangan sahabat lama ketika kuliah di Program Pascasarjana Universitas Brawijaya Malang, beliau anak seorang Kyai besar NU dari Pasuruan. Dia tahu saya aktivis Muhammadiyah. Walaupun berbeda organisasi, sama sekali tidak menghalangi silaturahmi kami. Begitu juga ketika ada kegiatan di Pasuruan, saya sering bersilaturahmi ke rumahnya, bahkan kalau tiba waktu sholat saya sering disuruh menjadi imam, tapi saya selalu menolak dengan halus untuk menghormati beliau sebagai shohibul bait.
Tiba-tiba muncul pertanyaan yang menarik dari beliau. “Pak Sangadji, mengapa amal Usaha yang dikelola Muhammadiyah kok sangat maju? Seperti perguruan tinggi, sekolah dasar, sekolah menengah rumah sakit dan lain-lain.”
Saya bilang, “Yang tidak maju juga banyak, antum saja tidak tahu.”
Dia menjawab “Nggaklah, pak Sangadji jangan merendah.”
Saya lalu bertanya kepadanya, “Menurut antum faktor apa yang menyebabkan amal usaha Muhammadiyah begitu maju?”
Sambil ketawa dia menjawab, “Saya yang bertanya kok balik menanyakan lagi?”
Singkat cerita, saya menjelaskan kepadanya bahwa Muhammadiyah itu pengelolaan Organisasinya seperti mengelola manajemen sebuah Negara. Di sana ada Daprtemen pendidikan tinggi, departemen pendidikan dasar dan menengah yang sekarang ditiru pemerintah RI. Ada departemen kesehatan, departemen tabligh, departemen tarjih, departemen Ekonomi dan pemberdayaan Umat dll, Mulai dari Pimpinan Pusat sampai ranting. Memang saya sengaja tidak menggunakan istilah Majelis agar dia lebih paham. Semua amal usaha itu dibina oleh departemen-departemen ini. Ada amal usaha yang ditangani langsung oleh pimpinan pusat Muhammadiyah seperti pendidikan tinggi, tapi ada yang dibina pimpinan wilayah seperti rumah sakit. ada yang dibina Pimpinan daerah seperti Panti asuhan dan sekolah menengah. Kemudian ada yang dibina pimpinan cabang seperti sekolah dasar (SD). Jadi pola rekrutmen, pola pembinaan manajemen, audit keuangan dll sudah tertata dengan baik. dan jangan lupa semua waqaf yang masuk Muhammadiyah itu diatasnamakan persyarikatan bukan atas nama pribadi.
Ada sisi lain dari Jamaah Muhammadiyah yang benar-benar paham ideologi Muhammadiyah yaitu “memberi lebih baik dari pada menerima” atau “tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah.” Sehingga jangan heran para pelopor dan Penggerak Muhammadiyah mewaqafkan harta bendanya untuk dakwah melalui Persyarikatan Muhammadiyah itu adalah menjadi sesuatu hal yang biasa. Tak lupa, saya tunjukkan kalau di belakang rumah sedang dibangun Pusat dakwah dengan nilai tanah dan bangunan mencapai Rp 2 Milyar lebih, itu juga berasal dari infaq Jamaah lalu dipercayakan kepada persyarikatan Muhammadiyah.
Sahabat saya mengangguk-nganggukkan kepalanya, lalu berkomentar, “Sangat berbeda dengan di tempat saya, kalau ada waqof untuk pondok pesantren maka itu menjadi milik yayasan yang notabene milik keluarga Kyai. NU sepertinya tidak mempunyai otoritas untuk membina amal-amal usaha tersebut. Ada rumah sakit, sekolah, pondok pesantren, kampus itu semua milik yayasan secara mandiri yang notabene dikuasai oleh keluarga.”
Saya bilang kepadanya, “Barangkali sejarah pendirian amal usaha kita mempunyai tradisi yang berbeda, sehingga bentuk pengelolaannya juga berbeda.”
Dia lalu menyatakan karena pola pengelolaan bersifat kekeluargaan itu membuat kami tidak bisa cepat maju. Kami tidak pernah diaudit atau dikontrol oleh NU. Saya bilang padanya, “Sudah saatnya antum masuk di struktur NU lalu membenahi semua itu. Kalau ingin maju maka harus memulainya.”
Dia pun menjawab “insya Allah.”
Demikianlah seklumit dialog dengan Sahabat lama saya.