Mengapa Harus Antum, Akhi?

Sebut saja Andreana, akhwat Facebookers. Andrena memiliki banyak foto dalam album akun Facebooknya. Bahkan ketika masa kelam, ketika dia belum begitu mengenal dunia Islam dengan baik, dia sempat berfoto dengan temannya yang bukan mahram berdua. Ya, walaupun tidak ada unsur mesra, hanya pendokumentasian semata, tetapi tetap saja berdua.

Alhamdulillah, Allah menggiringnya ke dalam kehidupan yang lebih baik. Dipertemukanlah dia dengan saudaranya semuslim yang selalu mengingatkan dalam kebaikan. Sehingga, terbentuk ikatan sakral penuh makna dalam barisan dakwah, ikatan ukhuwah. Ikatan ukhuwah itu begitu mesra terjaga bahkan dalam media sosial Facebook. Fastabiqul khairat (berlomba dalam kebaikan) menjadi moto gerak barisannya pada saat itu.

Lalu, korelasinya dengan paragraf pertama? Baik, kita kupas kasusnya.

Cerita pertama, tiba-tiba ada seorang ikhwan yang menyapanya melalui Facebook chat, kemudian ditunjukkanlah foto ketika Andreana berfoto berdua dengan teman non-mahramnya. Spontan, Andrea shock, terkejut. Mengapa harus ikhwan yang mengingatkan hal sesensitif ini.

Tak lama setelah itu, kemudian Andreana mengunci semua album di Facebook-nya, tanpa kecuali. Tak ada satupun foto yang bisa dilihat oleh umum.

Cerita kedua, adalah ketika Andreana sedang mengikuti kajian diskusi keislaman yang dilaksanakan lewat jam setengah delapan malam. Hal ini mengakibatkan dia harus pulang diatas jam 9. Ketika jarum jam menggantungkan arahnya tepat pada jam 9.15 malam, HPnya berdering. Si ikhwan itu mengingatkannya untuk segera pulang.

“Tak baik akhwat berkeliaran di luar, apalagi lewat pukul sembilan malam,” katanya.

Dia menekankan pada perasaan Sang Ibu Akhwat jika mengetahui kelakuan anaknya ketika berada di perantauan. Bagaimana perasaan Ibu yang pasti menghawatirkan anak perempuannya berada di luar semalam itu?

“Ingatlah Ridha Allah ada pada ridha orangtuamu, terlebih Ibumu. Surga Allah berada di telapak kaki Ibumu. Ingatlah.”

Lagi, Andreana terkejut dengan pesan saudaranya itu. Bergegaslah dia pulang bersama akhwat lain. Dia bersama saudarinya berjanji untuk bisa lebih saling mengingatkan. Jangan sampai kesalahan-kesalahan itu kembali dikritisi oleh saudaranya yang bukan mahram. Tekad bulat untuk mempererat ukhuwah, mengingatkan ketika lalai menjadi program utama bersama dengan saudaranya.

Cerita ketiga, kembalilah ikhwan itu mendatangi Andreana dengan komentar yang tak kalah mengejutkan dengan yang sebelumnya. Ujarnya, “Coba kamu lihat lagi, foto yang kamu punya. Yang di upload oleh temanmu, ditandai temanmu.”

Kekecewaan berkecamuk kembali dalam pemikiran dan batinnya, seketika dia mendapati foto yang baru saja ditandai (tagged) oleh temannya ketika dia berada di alam bebas tanpa mengenakan kaos kaki yang bisa menutupi aurat kakinya.

Astaghfirullah. Kenapa harus seorang ikhwan yang mengingatkan? Kenapa harus antum, akhi? Tidakkah saudariku yang lain menyadari hal ini sebelumnya? Serapuh ini kah ukhuwah sesama muslim akhwat dalam barisan dakwah ini?” pikirnya.

Melaui tiga cerita di atas, saya merefleksikan betapa pentingnya kekuatan untuk saling memperhatikan sahabat segender, dalam lelah, lemah, gelisah dan masalah. Sejauh mana kita bisa mengingatkan dalam kebenaran. Jangan sampai ada pihak lain, terutama teman perjuangan yang bukan mahram mengambil alih perhatian saudarimu. Dekatilah lebih dalam lagi. Saudarimu, sedang membutuhkan hangatnya sapaan dan pesan perbaikan dari dirimu, ukhtifillah. Cemburulah ketika dia hendak didekati oleh kumbang yang tak sejatinya hinggap di kehidupan pribadinya. Semangat berbenah diri untuk saudara/i-mu. Wallahu a’lam.

Oleh: Shopia Mulyani, Jakarta Selatan
FacebookTwitterBlog