Sepertinya saat ini sedang ngetrend labelisasi dalam setiap perbedaan pendapat. Seakan-akan semua perbedaan baru bisa diakhiri jika sudah melabeli mereka yang berbeda pendapat dengan label Takfiri, Murji’ah, Khawarij, Kafir Murtad, dan label-label lainnya. Tanpa terlebih dahulu melakukan proses tabayyun dan silaturahim.
Lihatlah bagaimana kerendahan hati dan tawadhu’nya Imam Asy Syafi’i saat berbeda pendapat dengan ulama lainnya, “Pendapatku benar tetapi bisa jadi mengandung kesalahan, sedangkan pendapat anda salah tetapi bisa jadi memiliki kebenaran.”
Sikap seperti yang dicontohkan oleh Imam Syafi’i ini hanya akan terjadi bila semua perbedaan pendapat didasari oleh rasa saling menghormati, menghargai, husnuzhon, ukhuwwah Islamiyyah dan kecintaan terhadap sesama muslim sebagaimana disebutkan Allah dalam Firman Nya, “Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui”. (QS Al Maidah 54)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Jangan kalian saling hasad (dengki), jangan saling melakukan najasy, jangan kalian saling membenci, jangan kalian saling membelakangi, jangan sebagian kalian membeli barang yang telah dibeli orang lain, dan jadilah kalian sebagai hamba-hamba Allah yang bersaudara. seorang muslim adalah saudara muslim bagi lainnya, karenanya jangan dia menzhaliminya, jangan menghinanya, jangan berdusta kepadanya, dan jangan merendahkannya. Ketakwaan itu di sini -beliau menunjuk ke dadanya dan beliau mengucapkannya 3 kali-. cukuplah seorang muslim dikatakan jelek akhlaknya jika dia merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim diharamkan mengganggu darah, harta, dan kehormatan muslim lainnya.” (HR. Muslim no. 2564)
Namun jika landasannya adalah perasaan iri, dengki, merasa paling benar, paling berada di atas hujjah dan menutup pintu perbedaan ijtihad, maka yang terjadi selanjutnya seperti ucapan Al Mutanabbi berikut:
“Dan tidak ada satupun dari berbagai pemahaman itu yang dianggap benar, jika di siang hari pun masih membutuhkan penunjuk jalan.”
Sifap ta’ashshub, merasa paling benar tak akan bisa melihat dengan jelas walaupun di siang hari yang terang benderang.
Yang lebih menyedihkan lagi adalah, saat seseorang telah dilabeli dengan predikat tertentu, mendadak sontak semua amal dan ilmunya dipandang tak bermanfaat dan tidak mau lagi mengambil apapun kebaikan darinya. Jika sudah seperti ini, maka musibah baru akan muncul menyusul musibah ta’ashub, yaitu musibah kebodohan karena telah menutup rapat-rapat pintu-pintu ilmu.
Apakah para ulama menolak untuk mengambil penjelasan tentang hadist-hadits Shahih Bukhari dari Kitab Fathul Bari karena Imam Ibnu Hajar Al Asqalany beraqidah Asy’ariyyah?
Apakah para ulama menolak untuk mengambil penjelasan tentang hadist-hadits Shahih Muslim dari Kitab Syarah Shahih Muslim hanya karena mengetahui bahwa Imam Nawawi beraqidah Asy’ariyyah?
Apakah para ulama menolak untuk menukil dari kitab Fathul Qadir karena Imam Asy Syaukani adalah Mufti Syi’ah Zaidiyyah?
Apakah para ulama menolak untuk menukil dari kitab Tafsir Al Kasyaf karena Imam Zamakhsyari adalah penganut paham Mu’tazilah?
Apakah kitab Ihya’ Ulumiddin karya Imam Ghazali tidak lagi menjadi rujukan hanya karena beliau penganut tasawwuf?
Apakah para ulama menolak untuk menukil hadit-hadits dan penjelasannya dari kitab Nailul Authar karena Imam Asy Syaukani adalah Mufti Syi’ah Zaidiyyah?
Apakah para ulama menolak untuk mengambil pendapat Imam Syafi’i karena beliau tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan shalat karena lalai tetapi masih meyakini kewajibannya ?
Syaikhul Islam Ibn Taymiyah menyatakan: “Tidak seorang pun di muka bumi ini yang lebih jujur dan lebih adil daripada kaum Khawarij.” (Minhaj as-Sunnah, juz 1 hal 15)
Imam Abu Dawud menegaskan : “Di muka bumi ini, tidak ada yang lebih shahih dibanding hadits kaum Khawarij.” (As-Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’ al-Islami, hal 83)
Syaikh Dr. Musthafa As Siba’i: “Saya telah berusaha mencari data otentik untuk menguatkan asumsi bahwa kaum Khawarij mengarang hadits palsu. Tetapi, saya belum menemukan bukti itu. Saya malah menemukan data-data ilmiah yang menyatakan kebalikan asumsi tersebut.” (As-Sunnah wa Makanatuha fi at Tasyri’ Al Islami, hal 83)
Dan masih banyak lagi yang tidak mungkin saya sebutkan di sini satu persatu.
Perbedaan pendapat selama masih dalam ranah ijtihady seharusnya justru makin menambah luas wawasan keilmuan kita bukan malah membuat kita menutup pintu-pintu ilmu Allah.
Ikhwah fiddin rahimakumulloh, ada baiknya jika kita menelaah buku Adab Al Ikhtilaf Fil Islam karya DR Thaha Jabir Al Ulwani.
Ustadz Fuad Al Hazimi