وَ قالُوا اتَّخَذَ الرَّحْمٰنُ وَلَداً َ
“Dan mereka berkata: “Tuhan Pengasih itu mengambil anak.” (Maryam ayat 88).
Demikianlah suatu kepercayaan yang dibikin-bikin oleh manusia, yang pada sangka manusia itu adalah memuliakan Allah, padahal mengurangi kekuasaan Nya. Orang Kristen telah mengatakan bahwa Isa Almasih anak Allah, segolongan orang Yahudi mengatakan `Uzair (`Izra)lah yang anak Allah. Orang Quraisy musyrikin sendiri mendakwakan pula bahwa malaikat-malaikat itu adalah anak Allah belaka.
لَقَدْ جِئْتُمْ شَيْئاً إِدًّا َ
“Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu yang amat seram.” (Maryam ayat 89).
Dengan mengeluarkan perkataan demikian, mengatakan Allah Yang Maha Pengasih akan sekalian makhluknya, bahwa Dia beranak sesungguhnya kamu telah mengeluarkan perkataan yang amat hebat, amat besar dan seram. Perkataanmu itu bukanlah perkara kecil. Karena dengan demikian kamu telah mempersekutukan Allah Yang Maha Pengasih dengan yang lain.
Buat apa Dia beranak? Yang ingin beranak ialah manusia yang takut kalau mati tidak meninggalkan keturunan. Bertambah seseorang tua umurnya, bertambah cemaslah dia kalau dia tidak mempunyai keturunan, yang akan mewarisi hartabendanya. Buat apa Allah Maha Pengasih beranak? Padahal Dia adaiah Hidup dan sumber dari seluruh kehidupan? Awalnya tidak berpermulaan dan akhirnya tidak berkesudahan dan tidak akan mati-mati? Bahkan hidup selama-lamanya?
Buat apa Dia beranak? Apakah anak itu akan turut berkuasa bersama Dia? Lemahkah Allah Maha Pengasih, sehingga Dia perlu dibantu dengan adanya anak? Sebagai Presiden sebuah Negara memerlukan seorang Wakil Presiden? Melimpahkan wewenangkah Tuhan Maha Pengasih kepada anaknya itu, sehingga sebahagian kekuasaan diturunkan kepada anak itu, dan dalam hal kekuasaan yang telah diserahkan itu Tuhan Pengasih tidak berkuasa lagi? Atau adakah “anak” itu hanya sebagai simbol yang dibuat di belakang saja, atau pangkat kehormatan yang tidak bersisi kekuasaan?
Sesungguhnya kalau difikirkan dengan fikiran yang cerdas dan logika yang sihat, nyatalah bahwa Allah beranak itu tidakiah masuk di akal. Karena gunanya tidak ada. Apatah lagi jika diingat bahwa seorang anak adalah gabungan kehendak di antara “jantan” dengan “betina”. Padahal sebelum “dibikinkan” anak dengan fikiran yang kacau itu sudah nyata bahwa Tuhan Pengasih itu hanya Satu, esa, Tunggal; tidak berjantan berbetina.
تَكادُ السَّماواتُ يَتَفَطَّرْنَ مِنْهُ وَ تَنْشَقُّ الْأَرْضُ وَ تَخِرُّ الْجِبالُ هَدًّا َ
“Nyarislah langit menjadi pecah daripadanya dan bumi menjadi belah dan gunung-gunung menjadi runtuh.” (Maryam ayat 90).
أَنْ دَعَوْا لِلرَّحْمٰنِ وَلَداً َ
“:Karena bahwa mereka dakwakan Tuhan Yang Maha Pengasih itu mempunyai anak.” (Maryam ayat 91).
Demikianlah hebat dahsyatnya dan amat beratnya dosa mengatakan bahwa Allah itu beranak. Langit laksana akan pecah, bumi laksana akan belah dan gunung-gunung laksana akan runtuh cair merata dengan bumi saking hebatnya perkataan itu didengar, keluar dari mulut manusia yang kurang berfikir. Padahal tidaklah akan terjadi makhluk di alam yang raya ini, sejak dari langit yang tujuh tingkat, sampai kepada bumi yang terhampar tempat manusia berdiam, sampai kepada gunung-gunung yang disebut sebagai pasak dari bumi, kalau sekiranya Tuhan itu berbilang. Semuanya itu terjadi atas dasar Satu Kekuasaan, dan manusia pun harus berfikir yang cerdas, mengakui Tauhid, artinya Kesatuan Tuhan itu. Maka tidaklah Allah itu bersekutu dengan yang.lain dan tidak pula ada Tuhan tandingan , tidak Dia beranak, tidak Dia diperanakkan dan tidak Dia memerlukan isteri; Dia adalah Esa dan hanya Dia sendiri tempat kita berlindung:
“Tiap-tiap sesuatu ini adalah jadi tanda, menunjukkan bahwa Dia itu adalah SATU.”
Untuk memahamkan kesan ayat ini lebih dalam bukalah kembali ayat 48 dan 116 dari Surat 4 an-Nisa’: Dijelaskan oleh Allah pada kedua ayat itu bahwa Allah tidak akan memberi ampun bagi barangsiapa yang mempersekutukan yang lain dengan Dia, sedang dosa yang lain dapatlah Allah ampuni bagi barangsiapa yang Dia kehendaki. (Lihat Tafsir A!-Azhar Juzu’ 5).
Disebutkan oleh Ibnu Jarir dalam tafsirnya, yang diterimanya dari Ali dan Ali menerima dari Abdullah dan Abdullah menerima dari Mu’awiyah, dan Mu’awiyah menerima pula dari Ali dan Ibnu Abbas tentang tafsir ayat tentang langit bisa belah, bumi pecah dan gunung-gunung rasanya maulah runtuh karena mendengar Tuhan Pengasih dikatakan mempunyai anak, yang berarti bahwa Tuhan itu bersekutu dengan anaknya dalam kekuasaanNya. Artinya ialah bahwasanya mempersekutukan Tuhan itu membuat langit ketujuh lapisnya, disertai bumi dan gunung-gunung seakan-akan geger, demikian pun sekalian makhluk yang lain, kecuali manusia dan jin jua yang tidak merasakannya, seakan-akan hendak runtuh raraklah semuanya itu demi Kebesaran Allah. Sebagaimana perbuatan yang baik jika dikerjakan oleh orang yang mempersekutukan Allah tidaklah ada manfaatnya, demikian jugalah diharapkan bahwa orang yang tetap pada pendirian bahwa Allah itu Esa adanya, akan diampuni Allah dosanya. ltulah pula sebabnya maka Rasulullah s.a.w. pernah bersabda:
“Ajarkanlah kepada orang yang akan mati syahadat La Ilaha Illallah. Maka barangsiapa yang mengucapkannya tatkala akan rnati, wajiblah dia masuk syurga. Maka mereka pun bertanya: “Bagaimana pula orang yang mengucap kannya di waktu sihatnya? Rasulullah s.a.w. menjawab: “Lebih wajib lagi, lebih wajib lagi.” (Artinya lebih wajib lagi dia masuk syurga). Lalu sabda beliau selanjutnya: “Demi Tuhan yang diriku sendiri adalah dalam tanganNya, sekiranya dibawalah semua langit itu dan semua bumi dan apa yang ada di dalamnya dan apa yang ada di antara keduanya dan apa yang di bawahnya, lalu diletakkan di satu daun timbangan, dan diletakkan pula syahadat La Ilaha illallah” di daun timbangan yang lain, akan tetap kalimat itu juga yang lebih berat.”
Demikianlah diriwayatkan oleh Ibnu Jarir.
وَما يَنْبَغي لِلرَّحْمٰنِ أَنْ يَتَّخِذَ وَلَداً َ
“Padahal tidaklah layak bagi Tuhan Pengasih itu mempunyai anak.” (Maryam ayat 92).
Artinya menurut keterangan Ibnu Katsir tidaklah pantas dibangsakan kepada Allah bahwa Dia beranak, tidak layak dan tidak sesuai dengan kebesaran dan keagunganNya yang mutlak itu. Karena semuanya ini adalah Dia sendiri saja yang menjadikan dan menciptakan. Maka tidaklah ada di antara makhlukNya itu yang setaraf sekedudukan dengan Dia.
إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّماواتِ وَ الْأَرْضِ إِلاَّ آتِي الرَّحْمٰنِ عَبْداً
“Tidak ada tiap-tiap seorang pun di sekalian tangit dan bumi, melainkan akan datang kepada Tuhan Pengasih itu untuk memperhambakan diri.” (Maryam ayat 93).
Dengan ayat ini nampak dengan jelas bahwa seluruh makhluk itu sama di sisi Allah, tidak ada yang berlebih dan tidak ada yang berkurang. Semuanya hambaNya, semuanya budakNya. Terjadi atas kehendakNya, sejak dari yang paling kecil sampai kepada yang paling besar. Sejak dari zarrah (atom) sampai kepada Matahari.
Apabila Tuhan menyebutkan seseorang sebagai hambaNya, bukanlah berarti bahwa hamba itu menjadi rendah di hadapan sesamanya hamba Allah. Dan Mu’min sejati tidaklah merasa keberatan jika dirinya itu dianggap hamba oleh Allah. Sebagaimana dahulu telah pernah kita katakan, Nabi-nabi yang mulia disebut Tuhan sebagai hambaNya yang utama. Sebagai gelar kehormatan dan kemuliaan `Abdihi yang diherikan kepada Nabi Muhammad seketika dia diberi peluang Isra’ dan Mi’raj (al-lsra’ ayat 1), atau kemuliaan panggilan `Abduhu yang diberikan kepada Zakariya (Maryam ayat 2).
Dan itu pulalah pengakuan yang mula keluar dari mulut Isa Almasih seketika beliau bercakap-cakap sedang dalam buaian ibunya: “Inni Abdullahi” (Maryam ayat 30).
Semua makhluk Allah itu kelak akan datang menghadap Tuhan Yang Pengasih sebagai hamba belaka:
Benarlah apa yang pernah diucapkan oleh penyair:
“Dan suatu hal yang sangat menambah kemuliaan dan kebanggaanku,
Hingga nyaris rasanya dengan tumitku aku injak bintang seroja;
Masuknya aku dalam kata Engkau: “Hai HambaKu!”
Dan Engkau jadikan Ahmad menjadi Nabi untukku.”
لَقَدْ أَحْصاهُمْ وَ عَدَّهُمْ عَدًّا َ
“Sesungguhnya Dia (Tuhan) telah mengetahui bilangan mereka itu dan telah menghitungnya sebenar-benarperhitungan.” (Maryam ayat 94).
Artinya berapa banyaknya bilangan hambaNya itu, baik di ketujuh tingkat langit ataupun di permukaan bumi ini, sudah diketahui semua oieh Allah berapa bilangan mereka, sejak manusia mulai mendiami dunia ini sampai pun hari kiamat nanti. Diketahui berapa laki-takinya, berapa perempuannya, berapa yang kecil dan berapa yang besar. Semuanya dihitung sebenar-benar perhitungan. Tidak ada yang Input daripada perhitungan Allah, karena kekuasaan Allah atas alam ini adalah meliputi. Dengan pengetahuan Allah yang begitu mendalam dan meluas, setiap orang pun sudah tertentu pembahagian rezekinya, walaupun sebelum dia dilahirkan ke muka bumi ini.
وَ كُلُّهُمْ آتيهِ يَوْمَ الْقِيامَةِ فَرْداً َ
“Dan tiap-tiap mereka itu akan datang kepadaNya di hari kiamat sendiri-sendiri.” (Maryam ayat 95).
Pertama sekali, setelah kita ketahui bahwa semuanya tidak ada yang luput dari perhitungan Tuhan, mengertilah kita bahwa tidak ada orang yang akan hilang!
Kesan kedua, dari karena sangat telitinya perhitungan itu, sehingga tidak ada yang hilang, dapatlah kita fikirkan bahwa masing-masing akan datang sendiri menghadap Allah. Panggilan menghadap akan sampai kepada tiap-tiap orang! Betapa tidak, bukankah nama-nama sudah tercatat di sisi Tuhan? Bukankah Rasulullah s.a.w. sendiri memberi ingat agar seorang ayah yang beroleh putera, memberi nama yang bagus bagi puteranya itu, sehingga tidak janggal didengar seketika panggilan datang kelak ?
Datang sendiri-sendiri. Tidak ada yang akan dapat mengawani, menemani atau menolong . Sendiri-sendiri kita akan datang menghadap Tuhan ketika perkara akan ditimbang. Malahan tersebut lagi bahwa jika pun orang bertemu dengan keluarga pada waktu itu, orang akan lari dari keluarganya: Dari saudaranya dari ibunya dan ayahnya, dari teman hidupnya dan anak-anaknya, “Karena tiap-tiap seorang dari mereka ada satu urusan yang dihadapinya sendiri.” (Surat 80, `Abasa ayat 34 sampai 37).
Sesudah selesai perhitunganlah baru akan dapat bertemu kalau kebetulan sama-sama ada beramal yang shalih, sehingga berkumpul kembali di dalam syurga. (Surat 13, ar-Ra’ad, ayat 23).
Hadji Abdul Malik Karim Amrullah (HAMKA) dalam Tafsir Al Azhar