Konsistensi dalam mengasuh anak kita tahu sangatlah WAJIB karena saking pentingnya. Konsistensi antara orangtua dengan anak, konsistensi antara suami dan istri saat menghadapi permasalahan dengan anak. Ketika seorang istri mengatakan TIDAK, maka suami pun harus TIDAK. Bukan menjadi ‘pahlawan’ saat anak menangis dengan mengatakan “Mama, gitu aja dimasalahin… kasih aja ngapa sih!”
Ketika kita tidak konsisten, maka berbahaya akibatnya untuk anak. Anak jadi tidak mempercayai mulut kita. Anak jadi semakin mudah untuk membangkang kepada kita. Akibatnya anak tidak bisa kita ‘kuasai’. Orangtua akhirnya tak memiliki otoritas untuk mengendalikan anak. Jika anak tak bisa dikendalikan, orangtua akan sangat sulit mengarahkan perilaku positif anak.
Contoh sederhana dari ketidakonsistenan adalah saat orangtua hendak berbelanja ke supermarket. Lalu di rumah membuat kesepakatan tentang mana makanan yang boleh dan tidak boleh dengan berbagai alasan. Misalnya saat anak lagi batuk, sebagian orangtua membuat kesepkatan dengan anak untuk tidak membeli makanan yang manis-manis seperit coklat. Ini sebagai contoh saja lho ya. “Kamu boleh ikut, asalkan nanti tidak beli coklat ya! bagamana?”
“Ok deh ma!”, kata anak kita.
Lalu apa yang terjadi di supermarket? Apakah anak kita selalu melaksanakan apa yang sudah diucapkannya? Berhubung sebagian anak kita, terutama balita, sel-sel syarafnya belum nyambung semua, maka pikiran mereka sangat konkrit dan belum bisa abstrak. Karena itu meereka belum memahami konsep waktu dan karena itu pula mereka tidak bisa mengintegrasikan waktu. Bukan mereka tidak ingat dengan kesepkatan yang telah dibuat. Bukan karena mereka sudah dikasi modal ingkar janji, tapi karena ‘otak’ mereka baru memahami bahwa SEKARANG itu berbeda dengan SEJAM LALU (waktu di rumah). Hari ini ini itu berbeda dengan kemarin!
Karena itu, sebagian anak merengek-rengek, menangis, saat tiba di supermarket ngotot untuk dibelikan coklat. Lalu saat orangtua berkata “Kan kamu sudah janji!”, sebagian anak tak ambil peduli. Seolah ada bisikan syetan dalam pikiran mereka “Lanjutkan ikhtiarmu Nak!” Lalu mereka teriak-teriak, guling-tuling. Semakin orangtua malu semakin mendekati ya!”
Lalu sebagian orangtua tidak tahan atau salah satu dari pasangan (ayah/ibu) tidak tahan dan lalu memberikan coklat yang diminta sambil memberi khotbah penutup “Awas ya.. lain kali nggak boleh gitu! Kalo gitu lagi, mama tinggal lho di supermarket! Ayah laporin satpam! Kasihin ke dokter biar disuntik! Dipanggil pak polisi biar ditembak!” dan obral ancaman lainnya. Tapi sambil ngasih coklatnya. Heuheu..
Nangisnya selesai? Betul! Tapi pada saat yang bersamaan justru kita telah MEMPERBESAR MASALAH! Apa yang anak pelajari?
Kata tidak mama dan papa tidak artinya!
Mama dan papa berhohong!
Mama dan Papa bisa diakali..
Semakin mama dan papa malu semakin mendekati ya
Semakin aku bertingkah semakin mama papa kesel
Semakin mama papa kesel, semakin keinginannku mendekati diberikan
Maka benarlah apa yang dikatakan Allah dalam surat As Shaff surat ke 61 ayat 2-3: kaburo maqtan indallah antaquulu maa laa taf’aluun. Sungguh besar kemurkaan disisi Allah jika kamu mengatapak apa-apa yang tidak kamu kerjakan!
Tapi yang ingin saya bahas di sini adalah jika terjadi perbedaan dengan nenek dan kakeknya anak-anak kita. Sebenarnya jangankan dengan nenek dan kakeknya, dengan suami saja bisa berbeda kan? Suami bilang tidak, istrinya ya. Suami bilang ya, istrinya bilang tidak. Soal perbedaan pola asuh dengan suami kita bahas lain kali. Saya ingin bahas dengan nenek dan kakeknya.
Mungkin Anda pernah mengalami kejadian sejenis ini atau pernah mendengar orangtua yang mengeluh tentang ini. Kalau saya sih sering banget ditanya tentang hal ini. Apalagi saat saya menyampaikan modul KONSISTENSI pada pelatihan orangtua PSPA.
“Abah Ihsan. saya mau bertanya, bagaimana menghadapi kondisi dimana ketika kita sebagai orangtua telah berusaha konsisten menjalankan aturan bersama anak kita. Tapi ketika anak kita “pindah tangan” alias sedang pergi/berkunjung ke rumah lain terutama ke rumah nenek kakeknya, eh tiba-tiba rusak dech aturan yang telah kita sepakati dengan anak.
Contohnya : ketika anak minta coklat, padahal di rumah telah disepakati tidak boleh makan coklat karena batuh, eh begitu ketemu nenek/kakeknya malah dikasih dengan gampangnya. Padahal kita selaku orangtau telah berkali-kali memberitahu pada nenek dan kakeknya untuk tidak seperti itu. Tapi mereka berlasan kasihan namanya juga anak kecil. Lagian cuma satu ini (coklatnya).
Huhuh… kesel dech rasanya rusak dech kesepakatan yang sudah buat dengan anak. Bagaimana ya abah menghadapi situasi ini?? Terimakasih sebelumnya”
Orangtua shalih, saya ingin mengajak Anda dengan TINDAKAN PERTAMA: yuk jangan fokus menyalahkan nenek, kakek dulu, let’see apa yang bisa kita lakukan? Dengan situasi seperti ini? Soalnya nenek kakek itu hanya menginginkan kasih sayang sama cucu mereka. Mungkin mereka tidak tau rule of the games yang berlaku di rumah kita karena itu.
Karena itu yang TINDAKAN KEDUA adalah, cobalah ajak bicara dengan mereka “mama, papa, aku lagi belajar berkeluarga. Aku dan suamiku memiliki aturan-aturan sendiri yagn berlaku di keluarga kami, atas kesepakatan kami, termasuk yang berlaku untuk anak-anak kami, cucu mama papa, yang mungkin berbeda dengan aturan yang berlaku waktu aku kecil dulu di rumah ini. Karena itu, aku harap, mama papa mau mengerti ini”
Lalu jelaskan apa saja SOP-SOP yang harus berlaku untuk cucu-cucu orangtua kita itu. Mungkin nenek dan kakek anak kita tidak tahu dan mungkin belum pernah dikasi tau tentang hal ini, jadi mereka hanya sekadar melampiaskan rasa sayangnya. Karena itu komunikasikan dulu apa yang boleh dan apa yang tak boleh kepada nenek dan kakeknya anak-anak kita.
TINDAKAN KETIGA, jika orangtua kita adalah tipe yang tidak bisa diajak bicara, dengan alasan “kamu tau apa sih, mama dan papa mendidik kamu itu puluhan tahun! mama dan papa sudah makan asam garam mendidik anak!” Misalnya yang tipe seperti ini, maka BUAT ANAK LEBIH PERCAYA KEPADA KITA DARIPADA SIAPAPUN.
Meski kita tidak ada, maka anak akan lebih ‘mematuhi’ kita. Misalnya saat keempat anak saya berkunjung ke rumah neneknya, saat disodorkan makanan yang diluar ‘sop’ kita, anak-anak kita akan berkata “Mbah.. kata umi abah, itu tidak boleh.. ”
Ketahuilah, anak yang saat kita larang malah lari ke nenek dan kakeknya, adalah anak-anak yang belum mempercayai orangtuanya. Karena itu konsistensi ini sangat penting. Bagaimana cara membuat anak lebih percaya pada kita orangtuanya?
Bangun kedekatan dengan anak dan jangan pernah berbohong atau ingkar janji pada anak! Ketahuilah, orangtua yang mengendap-endap ketika hendak meninggalkan anak ke luar rumah adalah orangtua yang menipu anak. Orangtua yang memanggil hantu “awas ada kalong wewe, masuk, ayo tidur” adalah orangtua yang berbohong pada anak. Atau orangtua yang memukul meja dan kursi saat anak terjatuh untuk menyalahkan meja kursi tersebut juga orangtua yang berohong pada anak. orangtua yang bersekongkol dengan tukang dagang “mang ini pahit ya mang?!” padahal makanan manis adalah orangtua yang berbohong pada anak.
Dan hei.. ulama mana yang membolehkan kita berbohong pada anak. Kata siapa berbohong pada anak itu tidak dosa! Sekali bohong ya bohong! Karena itu saat saya berjanji anak untuk membelikan martabak misalnya, saat saya lupa saya akan balik lagi mencari kemanapun martabak itu berada. Bukan soal martabaknya, bukan soal uangnya. saya tidak mau, anak-anak saya, tidak mempercaya perkataan-perkataan saya dan mulut saya di waktu-waktu berikutnya! Berbeda jika benar-benar semua tukang martabaknya ‘cuti’, itu namanya rukhsoh!
Karena itu, sebelum pergi ke rumah nenek dan kakenya, buat kesepatan-kesepkatan dengan anak sebelum berkunjung ke rumah nenek dan buat pula konsekuensi2nya jika anak kita melanggar yang mungkin akan mereka dapatkan setelah sampai pulang kembali ke rumah. Misalnya, tentang batasan nonton tv. Makanan yang bolehd an tidka boleh. Mungkin kita tak bisa bertindak di depan nenek dan kakeknya, tapi konsekuensinya itu bisa kita lakukan setelah kita berada di wilayah otoritas kita (rumah kita sendiri).
TINDAKAN KEEMPAT, jika keluarga kita masih ‘bersatu’ dengan rumah nenek dan kakeknya anak-anak, saran terbaik dari abah adalah SAAT KITA BERUMAH TANGGA, TERPISAHLAH DENGAN RUMAH ORANGTUA. Ini wajib! Mana mungkin di satu rumah ada dua raja? Lebih baik ngontrak rumah 1×1 (mesra gitu lho..) daripada di rumah yang lapang, mewah, hemat, tapi kita tidak memiliki independensitas, kewenangan dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangga kita sendiri. ya tentu, jika ada, rumah sendiri, lapang, nyaman dan tidak sempit.
Jika oarngtua kita sudah tua, dan dengan alasan tidak ada yang menjaga. Boleh menjaga, tapi terbaik adalah jaga orangtua kita di rumah kita sendiri bukan di rumah orangtua kita, sehingga aturan yg berlaku adalah aturan rumah kita, bukan aturan rumah orangtua kita. Lalu buat kesepkatan-kesepaktan dengan orangtua kita seperti pada TINDAKAN KEDUA.