Syi’ah memiliki hari raya terbesar yang melebihi kebesaran ‘Idul Fithri dan ‘Idul; Adh-ha. Nama hari raya tersebut adalah ‘Idul Ghadir, yakni sebuah peyaraan atas anggapan mereka mengenai pengangkatan Ali bin Abi Thalib Radhiyallahu ‘Anhu sebagai khalifah di kebun Ghadir Khum.
Menurut Ulama Syiah, Idul Ghadir adalah hari ketika Nabi Shallallahu alaihi wa Sallam menunjuk Ali bin Abi Thalib menjadi Khalifah pengganti kepemimpinan setelah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Yang kata mereka Jibril turun menyampaikan wahyu kepada Nabi berkenaan dengan hal ini, bahkan Idul Ghadir menurut mereka adalah Hari Raya terbesar.
Dalil mereka adalah, seorang bertanya kepada Abu Abdillah alaihis salam: Apakah kaum Muslimin memiliki hari raya selain Jum’at, Idul Adha dan Idul Fitri?, Sang Imam menjawab: Ya, Itulah yang paling agung. “Hari raya apakah itu, saya jadikan diriku sebagai tebusanmu, beritahu saya” Abu Abdillah menjawab: Hari ketika Rasulullah saw menyematkan kepada Amirul Mukminin (Ali bin Abi Thalib) alaihis salam perkataan “Man Kuntu Maulahu Fa ‘Aliyyun Maulahu”
Silakan lihat kitab ulama Syiah, Idul Ghadir A’zhamul A’yad fil Islam/ Idul Ghadir Hari Raya Terbesar dalam Islam, karangan Sayyid Muhammad Husain Asy Syirazi, terbitan Haiah Ilmiah fi Hauzah Ar Rasul Al A’zham Shallallahu Alaihi wa Sallam fil Kuwait, halaman 12.
Mengupas Peristiwa Ghadir Khum
Dikutip dari risalah tulisan Akhuna Ali Rheza di situs LPPI Makassar, Ghadir Khum adalah sebuah kebun yang terletak antara kota Makkah dan Madinah tepatnya di dekat Juhfah. Peristiwa ini terjadi sepulang dari Haji Wada’ sebelum wafatnya Nabi kira-kira 3 bulan.
Peristiwa ini diriwayatkan oleh Imam Muslim dalam Shahih-nya:
Dari sahabat Zaid bin Arqam, Rasulullah berdiri di antara kami dan berkhutbah di mata air yang disebut Khum lalu memuji Allah dan bersyukur atas segala Ni’mat-Nya, memberi peringatan serta petuah bagi kami lalu bersabda: “Amma ba’du. Wahai kaum Muslimin, sesungguhnya aku adalah manusia biasa, dan utusan Tuhanku akan datang memanggilku dan aku akan menjawab panggilannya, aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang berat, yang pertama adalah Al Qur’an Kitabullah yang membawa petunjuk dan cahaya, ambillah (isi) kitabullah dan peganglah erat-erat.” Zaid berkata, Nabi menyuruh kami agar berpegang teguh pada Al Qur’an dan menyemangati kami lalu bersabda: “Dan Ahlul-Baitku (keluarga dekatku), aku ingatkan kamu kepada Allah atas ahlul baitku, aku ingatkan kamu kepada Allah atas ahlul baitku, aku ingatkan kamu kepada Allah atas ahlul baitku..” (maksudnya jagalah hak ahlul baitku, jagalah kehormatan mereka).
Husain, perawi hadits ini dari Zaid bin Arqam bertanya: “Siapakah Ahlul Bait Nabi, wahai Zaid? Bukankah istri-istri Nabi termasuk keluarga dekatnya?” Zaid menjawab “Ya, (ahlul bait bukan cuma istri Nabi saja) tapi Ahlul Bait Nabi adalah mereka yang diharamkan untuk menerima sedekah.” Husain bertanya, “Siapa saja mereka?” Zaid menjawab, “Mereka adalah keluarga Ali, keluarga Aqiil, keluarga Ja’far dan keluarga Abbas.” Husain bertanya lagi: “Semua mereka haram untuk menerima sedekah?” Zaid menjawab: “Ya.” [HR. Muslim]
Hadits ini juga diriwayatkan dalam kitab-kitab hadits lain riwayat Imam Ahmad, Nasa’i, Turmuzi, dan lain-lain, dengan tambahan bahwa Nabi berkata “Barangsiapa aku menjadi walinya, maka Ali juga menjadi walinya” juga ada tambahan lafaz lain “Ya Allah cintailah siapa saja yang mencintainya (Ali), musuhilah siapa saja yang memusuhinya (Ali), tolonglah siapa yang menjadi penolongnya (Ali), tinggalkanlah siapa saja yang meninggalkannya, bimbinglah dia agar selalu mengikuti kebenaran”.
Hadits ini bisa kita bagi menjadi 4 bagian.
Bagian pertama: riwayat Imam Muslim yang tidak ada tambahan “Barangsiapa aku menjadi walinya maka Ali adalah walinya”.
Bagian kedua: tambahan dari riwayat selain Shahih Muslim yaitu dari riwayat Turmuzi, Ahmad, Nasa’i dan lain-lain yang memuat tambahan “Barangsiapa aku menjadi walinya maka Ali adalah walinya”.
Bagian ketiga: tambahan lain dalam riwayat Turmuzi yang memuat tambahan lafaz: “Ya Allah cintailah siapa saja yang mencintainya (Ali), musuhilah siapa saja yang memusuhinya (Ali).”
Bagian keempat: tambahan riwayat Thabrani dan lain-lain memuat tambahan lafaz: “Tolonglah siapa yang menjadi penolongnya (Ali), tinggalkanlah siapa saja yang meninggalkannya, bimbinglah dia agar selalu mengikuti kebenaran”.
Bagian pertama tercantum dalam kitab Shahih Muslim. Kita menerima semua hadits yang tercantum dalam kitab Shahih Muslim.
Bagian kedua yaitu tambahan “Barangsiapa menjadikanku sebagai penolongnya dan teman dekatnya, maka Ali adalah penolong dan teman dekatnya.” Tambahan ini shahih diriwayatkan oleh Tirmizi dan Imam Ahmad karena hadits shahih tidak hanya terdapat dalam Shahih Bukhari dan Muslim saja. Tapi ada beberapa ulama yang mendha’ifkan tambahan ini seperti Ishaq Al Harbi, Ibnu Taymiyah, Ibnu Hazm, dan lain-lain.
Tambahan “Ya Allah tolonglah siapa saja yang menolong Ali dan musuhilah mereka yang memusuhinya” para ulama berbeda pendapat, ada yang menshahihkannya dan ada yang sebaliknya, meangatakan hadits ini dha’if.
Tambahan terakhir: “Tolonglah siapa yang menjadi penolongnya (Ali), tinggalkanlah siapa saja yang meninggalkannya, bimbinglah dia agar selalu mengikuti kebenaran.” Yang terakhir ini adalah semata-mata kebohongan atas Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam alias tambahan palsu.
Hadits ini digunakan sebagai pegangan bahwa Ali adalah khalifah langsung setelah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam wafat, yang dijadikan pegangan adalah lafaz “Barang siapa menjadikanku sebagai penolongnya dan teman dekatny,a maka Ali adalah penolong dan teman dekatnya.” Mereka berpendapat bahwa arti kata maula adalah pemimpin dan khalifah, berarti Ali adalah khalifah setelah Nabi wafat.
Pertama-tama mari kita kaji kembali sebab-sebab “datangnya” hadits ini, mengapa Nabi mengatakan semua ini? Apakah Nabi memerintahkan para shahabat untuk berhenti meneruskan perjalanan hanya karena ingin mengatakan hal ini? Atau karena sebab lain? Yang harus kita ketahui bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sedang dalam perjalanan pulang dari mekah ke Madinah setelah melaksanakan Haji Wada’. Perjalanan dari mekah ke medinah memakan waktu sekitar 6-7 hari, sementara kebiasaan Nabi dalam perjalanan adalah berjalan di waktu malam dan istirahat di siang hari. Nabi mengatakan hadits ini dalam keadaan beristirahat, dan tidak berhenti hanya untuk mengatakan hadits ini saja. Nabi berhenti dalam perjalanan hanya dalam rangka istirahat, dan sudah menjadi kebiasaannya, karena mustahil Nabi dan rombongannya berjalan 5 hari terus menerus tanpa istirahat karena dalam rombongan mereka terdapat kaum wanita dan mereka sedang dalam perjalanan pulang dari menunaikan ibadah Haji. Oleh karena itu bisa dimaklumi bahwa Nabi berhenti untuk beristirahat di sela-sela perjalanannya.
Yang kedua mengapa Nabi mengatakan hadits ini? Saat mengatakan hadits yang menyangkut Ali ini, yang seperti pendapat Syi’ah bahwa Nabi mengangkat Ali menjadi khalifah, menurut mereka bahwa Ali adalah khalifah yang harus diangkat setelah Nabi wafat. Tapi kami tidak berpendapat demikian, bukan karena kami menolak Ali, tapi hanya semata-mata karena hal ini tidaklah benar, mengapa?
Jika memang benar maksud Nabi adalah mengangkat Ali menjadi khalifah maka Nabi pasti mengumumkan pengangkatan Ali pada hari Arafah saat Haji Wada’, saat semua jamaah Haji berkumpul, saat itulah Nabi mengatakannya, hingga jika Shahabat yang kebetulan tinggal di Madinah mengkhianati isi pengangkatan itu dan tidak mengakui bahwa Ali adalah khalifah yang diangkat Nabi, Shahabat yang tinggal di kota lain bisa menyaksikannya dan mengatakan bahwa benar Nabi telah mengangkat Ali menjadi khalifah setelah Nabi wafat. Mengapa Nabi tidak mengatakan hadits ini saat Haji Wada’? mengapa Nabi tidak menyampaikannya saat Haji wada? Orang Syi’ah berpendapat bahwa Nabi takut!! Takut untuk menyampaikan pengangkatan ini, takut para Shahabat penduduk Madinah akan menolaknya, tapi lucunya, Nabi mengatakan hadits ini pada penduduk Madinah yang ditakutinya. Mengapa terjadi kontradiksi dalam omongan mereka? Nabi takut ditolak Shahabat penduduk Madinah sehingga tidak menyampaikan pengangkatan ini saat Haji Wada’. Tapi hadits ini diucapkan di tengah-tengah Shahabat penduduk Madinah.
Mengapa Nabi Shallallahu Alaihi Wa Sallam takut kepada para Shahabatnya? Para Shahabatnya yang telah berjuang bersama Nabi mereka tinggalkan anak dan harta untuk berhijrah, mereka berjihad di jalan Allah, mereka berjihad pada perang Badar, Uhud, Khandaq, Hudhaibiyah dan Khaibar. Kemudian setelah itu ikut serta dalam Fathu Makkah dan Perang Tabuk, bagaimana kemudian Nabi takut pada mereka? Takut apa? Takut kalau mereka menolak kekhilafahan Ali.
Pendapat kami tentang sebab Nabi mengatakan hal itu, bahwa Nabi mengatakan hadits ini hanya di depan sahabat penduduk Madinah dan tidak mengatakan hadits ini di depan kaum Muslimin saat Haji Wada’. Hal ini semakin jelas ketika kita mengetahui letak geografis Ghadir Khum yang terletak 250 km dari kota Mekkah. Oleh karena itu, mereka yang tidak mengetahui hal ini dengan mudah mengatakan bahwa Nabi bersabda demikian di depan kaum Muslimin yang sedang menunaikan ibadah Haji. Ibadah Haji dilaksanakan di kota mekkah dan Arafah, bukannya di Ghadir Khum yang jaraknya 250 km dari kota Mekkah. Berarti sabda Nabi ini di depan kaum Muslimin penduduk Madinah.
Mengapa Nabi tidak mengatakan hal ini di depan seluruh jamaah Haji? Para ‘Ulama mengatakan alasannya adalah:
Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sebelum berangkat Haji Wada’ telah mengutus Khalid bin Walid untuk berperang di negeri Yaman, setelah menang, Khalid memberitahu Nabi tentang kemenangan itu dan tentang ghanimah (harta rampasan perang), Khalid meminta Nabi untuk mengutus seorang shahabatnya untuk mengambil seperlima bagian Nabi. Lalu diutuslah Ali untuk mengambil bagian Nabi tersebut dan Nabi menyuruhnya untuk langsung berangkat ke Makah untuk melaksanakan Haji bersama Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Setalah Ali sampai di sana dibagilah harta rampasan itu, 4/5 untuk para mujahidin yang berperang dan 1/5 lagi dibagi 5 bagian, yaitu 1/5 untuk Allah dan RasulNya, 1/5 untuk ahlulbait kerabat Nabi, 1/5 untuk keluarga Nabi, 1/5 untuk anak yatim, 1/5 untuk fakir miskin, 1/5 lagi untuk ibnu sabil. Setelah itu Ali pergi ke Makkah dengan membawa 1/5 bagian keluarga Nabi. Apa isi 1/5 bagian keluarga Nabi tadi? Isinya adalah hewan ternak, harta benda dan para tawanan baik laki-laki, perempuan, maupun anak kecil. Lalu Ali menggauli salah satu perempuan tawanan tadi, lalu para Shahabat yang mengetahui hal itu marah pada Ali, mereka melihat Ali keluar dari kemahnya setelah mandi. Bagaimana Ali berbuat demikian? Mengambil salah satu tawanan perang untuk dirinya, yang mestinya dibagi di kota Madinah (atau Makkah) dan bukannya di sini.
Salah satu Shahabat yang marah adalah Buraidah ibnul Husain yang melaporkannya pada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, tapi Nabi diam saja, Buraidah mengulanginya untuk kedua dan ketiga kali, lalu Nabi bersabda, “Wahai Buraidah apakah kamu membenci Ali?” Buraidah pun menjawab “Ya, wahai Rasulullah”, Nabi pun menjawab: “Wahai Buraidah janganlah kamu membencinya karena dia berhak mendapat bagian dari harta rampasan perang lebih dari itu”. Lalu Buraidah berkata “Saya tidak lagi membencinya setelah mendengar Nabi melarangku membenci Ali”.(HR. Bukhari, kitab Al Maghazi, Bab Ba’tsu Ali wa Khalid ila al Yaman. No. 4350)
Berarti masalahnya hanyalah intern antara Buraidah dan Ali, mungkin ada juga sahabat lain yang tidak setuju dengan perbuatan Ali seperti itu.
Sebab ke dua: yaitu ketika Ali berangkat dari Yaman menuju Makkah dia membawa unta-unta untuk dijadikan korban. Setelah berjalan beberapa saat, Ali menyuruh Shahabat-Shahabat lain untuk maju terlebih dahulu dan meninggalkan Ali di belakang. Ali melarang mereka menaiki unta-unta rampasan perang dan melarang mereka mengenakan pakaian-pakaian yang juga hasil rampasan perang. Ketika Ali melihat mereka mengendarai unta dan memakai pakaian-pakaian hasil rampasan perang Ali marah pada mereka, dan mereka pun merasa kurang senang. Lalu para Shahabat tadi melaporkan perlakuan Ali pada Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.
Dijawab oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam bahwa “Sesungguhnya Ali telah berbuat baik kepadamu, maka janganlah kamu membencinya.” Lalu sahabat pun mentaati Nabi dengan mencintai Ali.
Sepulang Nabi dan para Shahabat dari Haji Wada’ dan telah mencapai sebuah tempat yang berjarak 170 km dari kota Medinah dan saat Nabi beristirahat beliau mengumpulkan para Shahabat dan memberitahu mereka bahwa “Barang siapa yang mencintaiku maka dia harus mencintai Ali. Wahai mereka yang tidak senang pada Ali, berhati-hatilah, karena barang siapa yang merasa mencintaiku maka dia harus mencintai Ali.”
Orang Syi’ah berpendapat bahwa makna kata maula adalah pemimpin dan khalifah, dan yang benar makna kata maula adalah kekasih atau orang yang dicintai, dengan bukti sabda Nabi seterusnya “Ya Allah tolonglah siapa saja yang menolong Ali dan musuhilah mereka yang memusuhinya”, وال من والاه و عاد من عاداه sama dengan من كنت مولاه فعلي مولاه makna keduanya adalah sama, inilah kesimpulan peristiwa Ghadir Khum.
Makna kata مولى menurut Ibnul Atsir ada beberapa makna: Rabb, pemilik, penolong, pemberi nikmat, sekutu, pembebas, hamba, anak paman dan ipar. Semuanya adalah makna kata maula tapi mereka bersikeras bahwa maknanya adalah khalifah.
Jika Nabi benar bermaksud mengangkat Ali menjadi khalifah sudah pasti Nabi akan mengangkatnya dengan perkataan yang jelas mengarah pada maksud khalifah, bukan dengan kalimat yang memiliki lebih dari 10 makna. Nabi pasti akan menjelaskannya dengan kalimat yang jelas, misalnya dengan perkataan “Ali adalah khalifah setelah aku wafat.” Jika Nabi bersabda dengan kalimat yang jelas bermaksud khilafah tentunya tidak akan pernah ada perbedaan pendapat, tapi semua ini memang tidak pernah ada.
Sementara jika kata-kata maula diartikan sebagai pemimpin dan penguasa maka akan sangat janggal, seperti dalam ayat
فاليوم لا يؤخذ منكم فدية ولا من الذين كفروا مأواكم النار هي مولاكم و بئس المصير
“Maka pada hari ini tidak diterima tebusan dari kamu dan tidak pula dari orang-orang kafir. Tempat kamu ialah neraka. Dialah tempat berlindungmu. Dan dia adalah sejahat-jahat tempat kembali.” [QS. Al-Hadid Ayat 15]
Neraka disebut maula di sini karena orang kafir tinggal dalam neraka dan kekal di dalamnya (apakah neraka bisa disebut “pemimpin” orang-orang kafir?). Sementara itu Ali adalah kekasih dan teman setia orang mukmin sejak jaman Nabi hingga Nabi wafat, oleh karena itu Allah berfirman pada Surat Al Maidah ayat 55:
إنما و ليكم الله و رسوله و الذين آمنوا
“Sesungguhnya kekasih dan penolongmu adalah Allah, RasulNya dan orang-orang beriman…. “ [Qs. al Maidah: 55]
Setiap orang mukmin adalah adalah bersaudara, saling mencintai dan tolong menolong. Maka anggapan mereka bahwa arti kata maula adalah pemimpin adalah tidak benar, oleh karena itu seorang ulama mereka Nuri Ath Thubrusi berkata, “Nabi tidak menjelaskan secara gamblang mengenai pengangkatan Ali sebagai khalifah setelah Nabi wafat pada hari Ghadir Khum tapi hanya mengisyaratkan dengan menggunakan perkataan yang memiliki makna yang sangat banyak yang memerlukan penjelasan apa sebenarnya yang dimaksud oleh Nabi dengan perkataan itu.” [Fashlul Khithab Fi Itsbat Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab hal 205-206].
Jika memang begitu adanya bagaimana hadits itu bisa dianggap sebagai pengangkatan Ali menjadi khalifah setelah Nabi?