Mengenal Jama’ah An Nadzir dari Sulawesi

Setiap Hari Raya ‘Idul Fithri, Hari Raya ‘Idul Adh-ha, awal penentuan Ramadhan, dan tahun baru Hijriyah, kita sering disuguhi berita mengenai sekelompok masyarakat yang menamakan diri sebagai Jama’ah An Nadzir dari Sulawesi yang berbeda dalam penentuan pelaksanaan ibadah-ibadah umum.

Untuk mengenal kelompok ini, kami kutipkan jurnal yang dikeluarkan oleh Balai Penelitian dan Pengambangan Agama Makassar, mengenai Jama’ah An Nadzir ini.

Profil Jama’ah An Nadzir

Komunitas atau Jama’ah An Nadzir mulai berkembang di Indonesia seiring dengan datangnya Kyai Syamsuri Madjid (seorang dai dari Malaysia namun ia lahir di Dumai, Pekanbaru) pada tahun 1998 yang melakukan perjalanan dakwah ke berbagai daerah di Indonesia termasuk di Sulawesi Selatan, khususnya di Makassar dan Luwu. Menariknya, kedatangan Kyai Syamsuri Madjid menjadi polemik di kalangan masyarakat Sulawesi Selatan, menyusul kesaksian sejumlah orang yang memandang sosok Syamsuri Madjid sebagai titisan Kahar Muzakkar, tokoh pejuang gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan.

Komunitas An Nadzir mulai mengorganisir diri sebagai organisasi keagamaan pada tanggal 8 Pebruari 2003 di Jakarta dalam bentuk yayasan yang diberi nama Yayasan An Nadzir. Sekretariat yayasan saat itu beralamat di Kompleks Nyiur Melambai, Jakarta Utara. Nama An Nadzir yang berarti (pemberi) peringatan diberikan langsung oleh Syamsuri Madjid yang dalam komunitas tersebut dipanggi  “abah”. Kehadiran An Nadzir dimaksudkan untuk memberi peringatan bagi umat Islam (lih. AD/ART Yayasan An Nadzir Bab II; Azas, Maksud dan Tujuan).

Komunitas An Nadzir memiliki jaringan di berbagai daerah di Indonesia; Jakarta, Medan, Banjarmasin, Batam, Dumai, Batubara, Bogor, dan di berbagai daerah di Sulawesi Selatan. Khusus di Sulawesi Selatan, perkembangan awal AnNadzir dimulai di tanah Luwu. Terutama ketika Abah Syamsuri  Madjid masih aktif melakukan dakwah keagamaan di Luwu.

Namun, ketika kegiatan dakwah Abah Syamsuri Madjid mulai jarang dilakukan dan setelah ia meninggal dunia pada tahun 2006, komunitas An Nadzir di Luwu mengalami stagnasi. Puncaknya terjadi ketika pemerintah daerah, dengan berbagai pertimbangan, mengeluarkan surat keputusan menghentikan segala bentuk aktivitas An Nadzir di tanah Luwu (lihat hasil penelitian Balai Litbang Agama tentang komunitas An Nadzir di Luwu tahun 2006).

Berkumpul di Desa Mawang

Setelah mengalami keadaan stagnan di tanah Luwu, para pengikut An Nadzir keluar dan berkumpul di Desa Mawang (Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa Sulawesi Selatan), atau tepatnya di pinggir danau Mawang. Di tempat itu sebenarnya memang telah ada beberapa orang Jamaah An  Nadzir yang diorganisir oleh Daeng Rangka (pimpinan An Nadzir sekarang ini yang sering disebut sebagai panglima). Di desa ini, mereka melaksanakan aktivitas mereka dengan aman dan nyaman.

Jumlah anggota komunitas mereka telah mencapai 700 orang (bahkan ada yang mengklaim jumlah mereka sekitar 1000 orang lebih) yang berasal dari berbagai daerah di seluruh Indonesia, seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, Flores, namun kebanyakan diantara mereka berasal dari Luwu. Anggota Jama’ah An Nadzir dapat dimasukkan dalam dua kategori besar, yaitu jamaah mukim dan jamaah non-mukim.

Jamaah mukim adalah jamaah yang telah menetap di sekitar danau Mawang dan sekitarnya. Jamaah mukim yang telah berkeluarga dan kaum perempuannya ditempatkan di pinggir lereng bukit, kampung Batua (masih wilayah Desa Mawang), sedangkan kaum laki-laki yang belum berkeluarga biasanya tinggal di pusat kampung, atau di pondok dan di tempat usaha komunitas An Nadzir. Jamaah mukim ini diharuskan memanjangkan rambut sebahu dan mengecat pirang serta memakai pakaian jubah berwarna hitam sebagai identitas utama komunitas An Nadzir. Bahkan anakanak lelaki mereka dibiasakan pula untuk memanjangkan rambut danmengecat pirang sebagaimana layaknya pria dewasa.

Sedangkan jamaah non-mukim, adalah pengikut An Nadzir yang tinggal di luar desa Mawang. Mereka kebanyakan berasal dari Kota Gowa, dan Makassar. Jamaah non-mukim berasal dari berbagai latar profesi di perkotaan. Mereka biasanya datang tiap Hari Jumat untuk melaksanakan Shalat Jumat dan mendengarkan tausyiah agama dan zikir dari amir (pimpinan) jamaah yang saat ini diperankan oleh Daeng Rangka dan Lukman. Mereka tidak diharuskan memanjangkan rambut dan menggunakan jubah sebagai pakaian sehari-hari seperti anggota jamaah yang mukim. Penampilan mereka tidak berbeda dengan kebanyakan masyarakat. Hanya saja pada saat mengikuti pengajian atau tausyiah dan zikir, mereka diharuskan menggunakan pakaian jubah khas komunitas An Nadzir.

Wilayah kerja An Nadzir terbagi dua; pondok dan markaz. Wilayah pondok adalah tempat tinggal sebagian besar anggota jamaah khususnya yang telah berkeluarga dan para anggota jemaah perempuan. Wilayah pondok berada di sebelah utara dekat perbukitan (kampung Batua dan sekitarnya). Luaswilayah yang dijadikan sebagai pondok atau pemukiman sekitar 10 ha. Sedangkan markas adalah pusat aktivitas sosial keagamaan komunitas. Wilayah yang disebut markas adalah pinggir danau Mawang, di sana terdapat dua tempat utama yaitu langgar dan rumah kayu. Langgar tempat reproduksi pengetahuan keagamaan dan tempat untuk merancang kegiatan komunitas selanjutnya. Sedangkan rumah kecil yang berjarak sekitar 20meter dari langgar dijadikan tempatmenerima tamu.

Imamah: Sistem Kepemimpinan An Nadzir

Sistem imamah dalam konteks pemahaman An Nadzir adalah kepemimpinan spiritual dari seorang imam yang dianggap sebagai orang yang dapat menjamin kebenaran bagi para pengikutnya. Oleh karena itu-lah, kapasitas personal menjadi indikator utama dalam pergantian kepemimpinan, bukan prosedur formal sebagaimana layaknya organisasi modern. An Nadzir menerapkan lima kriteria utama seseorang layak menjadi imam, yaitu:

  1. dia mengenal Allah sehingga syahadatnya benar;
  2. dia mempunyai wawasan yang luas bahkan ia dapat mengetahui apa yang akan terjadi besok;
  3. dia seorang pemberani sehingga berani mengatakan kebenaran dalam semua situasi;
  4. dia memiliki kekuatan baik fisik maupun rohani;
  5. memiliki kebijaksanaan.

Selain kelima syarat itu, An Nadzir juga mensyaratkan imam sebagai bagian dari ulama yang mengamalkan amalan-amalan Nabi Muhammad dan menjadi saksi terhadap amalan-amalan tersebut. Saat ini, imam besar An Nadzir masih dipegang oleh Abah Syamsuri Madjid (meski ia telah meninggal), belum ada penetapan pengganti karena belum ada yang dianggap memenuhi kelima syarat.

Pengetatan persyaratan menjadi imam tidak terlepas dari peran dan fungsi imam yang sangat penting dalam struktur spiritual komunitas An Nadzir. Imam memiliki tugas untuk menggaransi terhadap keseluruhan praktik keagamaan komunitas sebagai sesuatu yang benar dan tidak dapat diragukan. Sehingga para hamba atau jamaah benar-benar yakin bahwa pemahaman dan praktik keagamaan mereka telah berada di jalur kebenaran.

Komunitas An Nadzir memahami bahwa baiat merupakan tali penghubung mereka dengan Allah melalui jaminan atau garansi dari sang Imam. Sang Imam telah menggaransi bahwa apa yang telah diajarkan oleh beliau adalah kebenaran. Komunitas An Nadzir meyakini bahwa baiat merupakan dasar utama menjadi seorang Muslim. Tanpa baiat, seseorang tidak dapat menjalankan ibadah dengan fully faith.

Baiat memberikan rasa aman dan menjadi dasar untuk meyakini bahwa apa yang telah diajarkan oleh Abah adalah sebuah kebenaran. Oleh karena tidak mungkin Abah memberi jaminan atau garansi jika ia sendiri tidak meyakini kebenaran tersebut. Faktor inilah yang membuat komunitas An Nadzir memiliki fondasi keyakinan yang sangat kuat.

Hanya Ahlul Bait, Bukan Syiah dan Sunni

Komunitas An Nadzir –dalam banyak hal- selalu mengklaim diri mereka sebagai ahlul bait, atau (pengikut) keluarga Nabi. Dalam konfigurasi aliran besar dalam Islam, kelompok Ahlul Bait biasanya disematkan pada Syiah dan berbagai variannya. Tetapi komunitas An Nadzir menolak anggapan itu. Mereka menganggap diri mereka hanya Ahlul Bait bukan bagian dari Syiah dan (tentu saja) bukan Sunni.

Defenisi Ahlul Bait (versi An Nadzir) adalah orang-orang yang melaksanakan sunnah nabi mulai dari sunnah yang kecil hingga sunnah yang besar. Itu berarti ahlul bait adalah orang yang meletakkan nabi sebagai teladan dalam segala hal. Dalam proyek mengikuti nabi itu-lah, komunitas An Nadzir memanjangkan rambut hingga sebahu, memakai jubah dan tongkat sebagai upaya menghadirkan sosok nabi dalam kehidupan sehari-hari.

Menjadi kelompok ahlul bait berarti siap mengikuti nabi dalam segala hal. Pada titik ini kemudian mereka tidak menyamakan diri dengan Syiah atau kelompok Ahlul Bait yang lain. Bagi mereka Syiah sekarang tidak secara total melaksanakan sunnah nabi, khususnya dalam konteks berpakaian. Secara epistemologis, komunitas ini dipengaruhi oleh sistem teologi dan fiqhi Syiah, tetapi dalam amalan-amalan mereka berbeda. Komunitas An Nadzir “lebih kuat” secara praktikmengikuti “sunnah” nabi.

Sebagai Ahlul Bait, komunitas An Nadzir berupaya sekuat mungkin untuk mengikuti pola kehidupan Nabi Muhammad. Sejauh yang diamati perilaku sosial komunitas An Nadzir yang dianggap sebagaimanifestasi kehidupan nabi adalah tampilan fisik, jual beli yang transparan, tata cara, shalat, puasa dan zakat (akan dijelaskan lebih jauh). Tetapi meski demikian, pimpinan An Nadzir tidak terlalu ketat terhadap aturan memakai jubah, tongkat, dan rambut panjang pirang. Mereka membolehkan anggota jamaah yang tidak mukim untuk tidak mengikuti tampilan fisik tersebut dengan alasan tertentu, tetapi bagi yang mukim (menetap di Mawang) diharuskan berpenampilan seperti itu. Ini merupakan kebijakan internal An Nadzir sebagai upaya untuk membuka diri kepada siapapun yang ingin bergabung dengan An Nadzir.

Komunitas An Nadzir meyakini bahwa kunci keselamatan dunia dan akhirat adalah kesaksian terhadap lafadz syahadatain (Asyhadu allaa ilaaha illa Allah wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullah). Persaksian syahadatain merupakan manifestasi kecintaan kepada Allah dan Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam. Oleh karena itu, sebagai manifestasi persaksian, seorang muslim harus mencontoh “sebisa” mungkin kepada Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Komunitas An Nadzir mensyaratkan keharusan mengenal Allah sebagai hal yang mutlak dilakukan oleh umat Islam untuk dapat selamat dunia dan akhirat. Proses mengenal Allah merupakan agenda utama para Nabi diturunkan ke muka bumi. Mengenal Allah dalam konteks pemahaman An Nadzir adalah persaksian terhadap kalimat Laa Ilaha Illa Allah yang dimanifestasikan dengan caramengikuti keseluruhan ajaran Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wa Sallam Pengenalan dan kesaksian atas kalimat syahadat dapat memberi energi kepada orang Islam untuk istiqamah di jalan kebenaran. Orang Islam pada zaman nabi berani berjuang dan membenamkan kaki mereka di padang pasir untuk membela Islam karena keyakinan terhadap kalimat syahadat.

Komunitas An Nadzir mencoba merebut ruang tentang siapa Ahlul Bait sesungguhnya dengan berupaya keras mempraktikkan kehidupan Nabi dan sahabat-sahabat terdekatnya, dan berupaya menerjemahkan keseluruhan praktik ibadah mereka sebagai bagian dari “asli” nabi dalam kehidupan sehari-hari. Pada saat bersamaan mereka menegasikan kelompok-kelompok besar seperti Syiah dan Sunni. Apa yang  dilakukan oleh An Nadzir sesungguhnya adalah sebuah politik identitas untuk “bersaing memperebutkan” ruang kebenaran dengan menjadikan kehidupan nabi sebagai medan kontestasi. Lebih jauh dari itu, komunitas An Nadzir bahkan kemudian menjadikan Tuhan sebagai medan kontestasi. Dalam banyak hal, Daeng Rangka sebagai pimpinan spiritual mengaku dapat “bertemu” dengan Malaikat Jibril dan bahkan Tuhan. Dia selalu menganggap setiap perkataannya adalah “keinginan” Tuhan karena Tuhan dapat berbicara kepadanya. Dengan mengatakan bertemu dan berdialog dengan Tuhan, secara otomatis komunitas An Nadzir ingin menjadi penutur kebenaran sejati.

Siapakah di antara umat Islam yang meragukan kebenaran dari Tuhan? Persoalan yang mungkin bisa muncul adalah kepercayaan terhadap fenomena itu. Benarkah yang ditemui oleh Daeng Rangka adalah benar-benar Tuhan atau hanya ilusi tentang Tuhan?

Seputar Ibadah Mahdhah: Shalat, Puasa, dan Zakat

Tata cara ibadah komunitas An Nadzir – dalam banyak hal- mengikuti model ibadah kaum Syiah. Mulai dari penentuan waktu shalat, meluruskan tangan, azan, dan zakat (kecuali penentuan waktu puasa yang direkonstruksi sendiri). Meski demikian, komunitas ini menganggap bahwa kesamaan itu, bukan karena mereka mengambil secara sengaja model Syiah, tetapi karena itulah yang benar. Daeng Rangka menyakini bahwa “jika Anda berjalan di jalan kebenaran kita pasti akan bertemu” (wawancara, 22 Juli 2009).

Komunitas An Nadzir melakukan shalat Dhuhur dan Asar secara berdekatan. Ini terkait dengan sistem penentuan waktu Dhuhur mereka yang agak berbeda dengan cara penentuan waktu masyarakat muslim di Indonesia pada umumnya. Awal waktu Dhuhur dalam tradisi An Nadzir adalah ketika suatu benda sama panjang dengan separuh bayangannya. Jika diukur dengan menggunakan jam kira-kira jam 14.00 lebih. Sedangkan waktu akhir Dhuhur adalah ketika bayangan benda sama panjangnya dari bendanya, atau sekitar jam 17.00. Kemudian, dalam pelaksanaan shalat Dhuhur dan Asar, mereka mengakhirkan waktu Dhuhur dan mempercepat waktu Asar. Sehingga terlihat seperti menjamak dua shalat.

Begitu pula dengan shalat Magrib dan shalat Isya. Waktu Magrib dimulai ketika sudah terlihat mega atau awan merah di ufuk Barat, dan awan merah di Timur telah hilang. Bila diukur dengan jam, sekitar pukul 18.30. Sedangkan waktu Isya masuk setelah awan merah di ufuk Barat telah hilang yang berarti malam telah turun hingga fajar menyingsing. Shalat Magrib dilakukan pada pukul 18.30, Shalat Isya berakhir sekitar pukul 02.00-03.00 malam, sedangkan Shalat Subuh dilakukan ketika selesainya fajar kadzib atau sekitar pukul 06.00 pagi.

Selain penentuan waktu shalat yang berbeda dengan masyarakat Islam Indonesia pada umumnya, mereka juga kelihatan berbeda dalam pelaksanaan gerakan shalat. Khususnya setelah takbiratul ihram, mereka tidak melakukan sedekap tetapi meluruskan tangan rapat dengan paha, mengucapkan salam hanya sekali tanpamemalingkanmuka ke kiri dan ke kanan, serta tidak mengusap muka setelah mengucapkan salam. Selain ketiga titik gerakan itu, seluruh gerakan lainnya tidak berbeda dengan gerakan shalat masyarakat Islam pada umumnya.

Komunitas ini juga memiliki lafadz azan yang berbeda dengan lafadz azan masyarakat Islam Indonesia pada umumnya, khususnya lafadz azan subuh. Mereka tidak menggunakan lafadz “As-shalatu khairum min an-naum” (Shalat lebih baik dari pada tidur), tetapi menggunakan lafadz “hayya alal khairil amar” (mari melaksanakan perbuatan yang baik”.

Hal yang paling sering berbeda dengan masyarakat Islam di Indonesia adalah penentuan satu ramadhan dan satu syawal. Tiga tahun belakangan, komunitas An Nadzir selalu lebih dulu dua atau tiga hari melaksanakan puasa dan Hari Raya ‘Id dari versi pemerintah. An Nadzir melakukan kombinasi rukyah dan hisab dalam menentukan waktu Ramadhan. Rukyah biasanya dilakukan dengan melihat bulan, melihat air pasang, dan kondisi angin di lautan. Sedangkan hisab dilakukan dengan terlebih dahulu menetapkan waktu Sya’ban. Menurut mereka, jika kita telah mengetahui penentuan awal Sya’ban maka akan sangat mudah menentukan awal Ramadhan. Mereka juga menggunakan rumus 58 derajat perjalanan matahari dari Timur ke Barat untukmenentukan awal Ramadhan.

Pandangan tentang zakat fitrah juga berbeda dengan masyarakat Islam pada umumnya. Komunitas An Nadzir menganggap bahwa zakat fitrah tidak berlaku untuk semua orang Islam. Kewajiban zakat fitrah hanya berlaku untuk orang Islam yang telah mukallaf atau baligh. Sedangkan anak-anak usia pra-baligh tidak diwajibkan untuk membayar zakat fitrah. Ini karena anak-anak masih terbebas dari dosa, karena itu mereka belumd iwajibkan membayar zakat fitrah.

Kepercayaan Terhadap Imam Mahdi

Komunitas An Nadzir meyakini Imam Mahdi telah turun dan telahmembawa peringatan kepada umat Islam. Imam Mahdi yang diyakini oleh Komunitas An Nadzir adalah Kahar Muzakkar yang mewujud dalam diri Abah Syamsuri Madjid (pendiri An Nadzir). Daeng Rangka meyakini dengan benar bahwa Kahar Muzakkar atau Abah Syamsuri Madjid telah mengalami tiga kali gaib. Gaib sugra ketika dia masih kecil, kemudian gaib di La Solo (ketika dia dianggap mati, dan terakhir dia terhijab tahun 2006, tahun meninggalnya Abah Syamsuri Madjid). Oleh karena Imam Mahdi telah turun maka kehidupan manusia saat ini adalah akhir zaman.

Kepemimpinan Imam Mahdi akan dilanjutkan oleh Pemuda Bani Tamim; seorang panglima perang, lelaki pemberani yang memiliki kemuliaan Tuhan karena semua wali memberi bimbingan kepadanya. Pemuda Bani Tamim ini juga digelari dengan “Rijalullah” atau lelakinya Allah. Menurut An Nadzir, pemuda Bani Tamim itu muncul di Indonesia bukan di Arab, dan lebih tepatnya berasal dari komunitas mereka, meski mereka mengakui bahwa siapapun dapat menjadi pemuda Bani Tamim.

Tugas pemuda Bani Tamim adalah melanjutkan kepemimpinan Imam Mahdi untuk membawa manusia ke dalam kebenaran. Rahasia tentang pemuda Bani Tamim sesungguhnya telah diketahui oleh para wali karena telah dibuka pada tahun 2003, bersamaan dengan pelantikan Imam Mahdi. Imam Mahdi dan Pemuda Tamim adalah kesatuan yang tak terpisahkan, ibarat tubuh dan nyawa. Pemuda Bani Tamim nantinya akan membawa 313 orang murid untuk menjalani perjalanan akhir zaman. Setelah era pemuda Bani Tamim, muncullah Isa Al Masih dan setelah itu kiamat-lah dunia ini.

Era sekarang dalam perspektif An Nadzir adalah penantian akan muncunya Pemuda Bani Tamim. Pemuda Bani Tamim ini nantinya akan memimpin dunia untuk memperbaiki dunia dari kesemrawutan. An Nadzir memprediksi tahun 2009 adalah tahun kekacauan bagi bangsa Indonesia, tidak ada lagi pemimpin yang bisa dijadikan panutan, semuanya memiliki moralitas yang bobrok, pada saat itu-lah Pemuda Bani Tamim akan muncul dan memimpin dunia ini. Salah satu ciri Pemuda Bani Tamim adalah dia selalu membawa pedang Zulfikar (pedang Ali Bin Thalib). Pedang yang memiliki roh dan memiliki kemampuan yang sangat kuat. Jika pedang ini dicabut maka peluru tidak dapat meledak, dan pesawat tidak akan dapat berjalan (wawancara dengan Rangka).

Pemahaman tentang Imam Mahdi merupakan pemahaman yang ada di hampir semua faham dan aliran dalam Islam. Tetapi pemahaman tentang Pemuda Bani Tamim, sebagai orang yang berada di antara Imam Mahdi, Dajjal dan Isa bin Maryam adalah pemahaman spesifik dalam komunitas An  Nadzir. Pemuda Bani Tamim diyakini berasal dari Indonesia, bahkan lebih spesifik dari Sulawesi Selatan karena Tanah Gowa menurutmereka adalah qum tempat kebangkitan para wali.