Mengenal Lebih Dekat Tentang Perbuatan Rasul

Banyak umat Islam, bahkan di kalangan para aktifis muslim, yang tidak memahami secara utuh tentang perbuatan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam. Mereka menganggap bahwa setiap yang dikerjakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam wajib atau disunnahkan untuk diikuti. Padahal kalau kita kaji secara seksama masalah tersebut, ternyata para ulama merincinya dan sampai pada kesimpulan bahwa tidak setiap apa yang dikerjakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, kita serta harus mengikutinya, baik yang bersifat wajib maupun sunnah.

Tulisan di bawah ini, walaupun masih bersifat global dan tidak terperinci, tapi mudah-mudahan memberikan pencerahan bagi kita semua. Pada awalnya tulisan ini adalah transkip dari pelajaran yang disampaikan penulis kepada para mahasiswa dan mahasiswi pada tanggal 11 Mei 2010 di Pesantren Tinggi Isy Karima program S1 untuk Tahfidhul Qur’an dan Dirasat Islamiyah, Tawangmangu, Karang Anyar, Surakarta, Jawa Tengah.

Perbuatan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam bisa dibagi menjadi tiga :

Bagian Pertama : Al Af’al Al Jibiliyah adalah perbuataan yang dilakukan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagai seorang manusia biasa.

Seperti  : cara makan, bahan yang dimakan, tempat makan, piring tempat makanan, kapan, minum, tidur, cara berjalan, naik kendaraan, MCK

Diantara dalil yang menunjukkan hal tersebut adalah kisah : Khobab bin Mundzir yang mengusulkan agar Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam memindahkan Markaz (Pusat Komando) dalam perang Uhud yang beliau pilih, karena tidak strategis dalam ilmu peperangan menurut pandangan Khobab bin Mundzir. Pilihan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam terhadap Pusat Komando dalam perang Uhud bukan beerdasarkan wahyu, tetapi pendapat beliau belaka yang juga seorang manusia, sehingga dianggap kurang tepat oleh Khobab bin Mundzir yang mengetahui strategi perang.

Contoh yang lain adalah kisah yang menyebutkan bahwa  Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam melarang para sahabatnya di Madinah untuk melakukan penyerbukan pohon kurma, tetapi justru nasehat tersebut menyebabkan mereka gagal panen. Ini menunjukkan bahwa beliau sebagai manusia kadang salah dan pendapatnya kurang tepat, dan ini berlaku dalam masalahg-masalah keduniaan saja. Dalam masalah-masalah seperti ini, kita umat Islam tidak wajib untuk mengikutinya.

Pertanyaan : Bagaimana pendapat anda terhadap perbuatan Ibnu Umar ra yang mengikuti jejak (napak tilas) Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika  melakukan ibadah haji, beliau berhenti di tempat berhentinya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, berdiri di tempat berdirinya, membuang hajat di tempat beliau membuang hajat dan seterusnya? Apakah perbuatan tersebut mendapatkan pahala ?

Jawaban :

Apa yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam ibadah haji dibagi menjadi dua :

Pertama : Perbuatan yang bersifat at-Tasyri’iyah (perbuatan-perbuatan yang diperintahkan untuk diikuti) sebagaimana sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam :

لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي لَا أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ

Ambillah haji dariku, sebab aku tidak tahu, barangkali aku tidak berhaji lagi sesudah hajiku ini.” (HR Muslim no : 2286)

Perbuatan-perbuatan yang masuk dalam kelompok ini, seperti : thowaf di Ka’bah tujuh kali, sa’i antara Shafa dan Marwa, melempar jumrah dan seterusnya. Dalam hal ini, kita diperintahkan untuk mengikutinya, baik itu berupa sunnah maupun wajib.

Kedua : Perbuatan yang bersifat al-Jibilliyah (perbuatan-perbuatan yang merupakan tabiat manusia).

Perbuatan dalam kelompok kedua ini, kita tidak dianjurkan untuk mengikutinya, seperti tidurnya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, makannya, tempat membuang hajatnya, berdiri dan duduknya di sela-sela ibadah haji.

Dari keterangan di atas, dapat kita simpulkan bahwa perbuatan Ibnu Umar ra, untuk napak tilas perjalanan haji Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam pada hal-hal yang bukan tasyri’iyah (yang tidak diperintahkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam), tidaklah mendapatkan pahala, apalagi hal tersebut  tidak disetujui oleh mayoritas sahabat yang lain. Walaupun demikian, beliau (Ibnu Umar) mendapatkan pahala karena niat dan semangatnya untuk mengikuti apa yang dikerjakan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, tetapi tidak mendapat pahala dari napak tilasnya tersebut.

Begitu juga mayoritas sahabat yang lain mendapat pahala karena meninggalkan napak tilas Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, karena mereka menyakini bahwa hal itu tidak diperintahkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam.

Bagian Kedua : Khashais adalah perbuatan yang khusus untuk Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dan tidak boleh dilakukan oleh umatnya, seperti puasa wishal (berturut-turut tanpa berbuka), menikah lebih dari empat, kewajiban untuk melakukan shalat tahajud, menikah dengan cara menerima perempuan yang menghibahkan dirinya kepada-nya, dan lain-lainnya.

Perbuatan-perbuatan seperti ini, tentunya kita tidak diperintahkan untuk mengikutinya sama sekali, bahkan hukumnya haram untuk diikuti, karena itu khusus untuk Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam saja.

Untuk mengetahui lebih lanjut apa saja yang menjadi kekhususan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam secara lebih mendetail, bisa dirujuk kitab-kitab yang ditulis para ulama dalam masalah ini, diantaranya adalah :  kitab “ Al Khashaish Al Kubra “ karya Imam Abu al Fadhl Jalaluddin As Suyuthi yang terdiri 288 halaman .  Di sana ada buku lain yang menerangkan tentang sifat-sifat fisik Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang berjudul : Asy Syamail al Muhammadiyah wal Khashail al Musthafawiyah , karya Imam Tirmidzi, yang terdiri dari 80 halaman.

Bagian Ketiga : Al Af’al Al Mujarradah adalah  perbuatan Rasulullah yang tidak termasuk dalam katagori di atas, yang bertujuan untuk ditetapkan sebagai tasyri’ kepada umatnya.

Perbuatan dalam bentuk ini, kita diperintahkan untuk mengikutinya, baik yang sifatnya sunnah maupun wajib .

Bagaimana kita membedakan bahwa perbuatan tersebut sunnah atau wajib?  Untuk mengetahui hal tersebut, kita rinci dulu perbuatan Rasul yang Mujarradah ini menjadi dua :

Yang Pertama : Perbuatan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang berfungsi sebagai  penjelas sesuatu yang masih mujmal (global) dalam Al Qur’an, atau sebagai yang mengkhususkan ke-umuman-nya, atau sebagai yang membatasi kemutlakan-nya.

Perbuatan Mujarradah macam pertama ini dijelaskan melalui dua cara:

1/ Diterangkan secara tegas oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam seperti dalam hadist :

َصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ

Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat. Maka jika waktu shalat sudah tiba, hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan, dan hendaklah yang menjadi Imam adalah yang paling tua di antara kalian.” (HR Bukhari : 595)

2/Diterangkan secara tidak tegas, karena hanya sekedar perbuatan saja, seperti : memotong tangan pencuri sampai pada pergelangan saja, hal ini sebagai penjelas dari firman Allah (QS. 5: 38) yang masih mujmal:

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا جَزَاء بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. “

Begitu juga perbuatan beliau ketika bertayamum sampai pergelangan tangan, sebagai penjelas dari firman Allah  (QS.5:6):

فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُواْ بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُم مِّنْهُ

…lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu…”

Yang kedua : Perbuatan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam yang dilakukan tanpa ada tujuan untuk menerangkan, atau menjelaskan sesuatu seperti di atas.

Kelompok kedua ini dibagi lagi menjadi dua :

Pertama : Diketahui bahwa perbuatan itu dimaksudkan untuk ditetapkan sebagai ajaran bagi  umatnya (tasyri’iyah).

Kedua : Tidak diketahui bahwa perbuatan tersebut untuk dijadikan syari’at atau tidak.

Perbuatan dalam katagori kedua ini, bisa mempunyai dua kemungkinan :

Kemungkinan Pertama : perbuatan tersebut ada indikasi untuk taqarub kepada Allah swt, maka kita diperintahan untuk  mengikutinya, seperti sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam :

َصَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي فَإِذَا حَضَرَتْ الصَّلَاةُ فَلْيُؤَذِّنْ لَكُمْ أَحَدُكُمْ وَلْيَؤُمَّكُمْ أَكْبَرُكُمْ

Shalatlah kalian seperti kalian melihat aku shalat. Maka jika waktu shalat sudah tiba, hendaklah salah seorang dari kalian mengumandangkan adzan, dan hendaklah yang menjadi Imam adalah yang paling tua di antara kalian.” (HR Bukhari : 595)

sebagaimana juga sabda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam :

لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ فَإِنِّي لَا أَدْرِي لَعَلِّي لَا أَحُجُّ بَعْدَ حَجَّتِي هَذِهِ

Ambillah haji dariku, sebab aku tidak tahu, barangkali aku tidak berhaji lagi sesudah hajiku ini.” (HR Muslim no : 2286)

Kemungkinan Kedua : perbuatan tersebut tidak ada indikasinya untuk taqarub, sehingga masih diragukan apakah ini untuk taqarub kepada Allah atau tidak, seperti jual beli, membuang hajat, menikah dan lain-lainnya.

Perbuatan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam dalam kemungkinan kedua ini, para ulama berbeda pendapat di dalam menyikapinya, apakah itu termasuk perbuatan yang kita disunnahkan untuk mengikutinya, ataukah termasuk perbuatan yang biasa dilakukan manusia, sehingga kita tidak dianjurkan untuk mengikutinya. Yang benar adalah bahwa perbuatan seperti itu tidak dianjurkan untuk mengikutinya. Wallahu A’lam  .

Pertanyaan-pertanyaan :

Pertanyaan Pertama : Kita dengar, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam setiap memakai sepatu pasti sambil duduk, apakah perbuatan beliau ini termasuk Jibilliyah atau Tasyri’yah yang kita dianjurkan untuk mengikutinya?

Jawaban :

Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, harus diteliti dahulu, apakah ada hadist shohih yang menerangkan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam ketika memakai sepatunya pasti dalam keadaan duduk.

Jika hadist tersebut ada, kita katakan bahwa perbuatan tersebut masuk dalam katagori jibiliyyah, yaitu perbuatan yang merupakan tabiat manusia.

Atau juga, bisa katakan bahwa kemungkinan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam menggunakan sepatu sambil duduk – jika memang hadist  tersebut ada – karena usia beliau sudah mulai beranjak tua, sehingga tidak mampu untuk memakai sepatu sambil berdiri.

Dari keterangan di atas, bahwa memakai sepatu sambil duduk bukanlah sunnah, tetapi merupakan tabiat dari manusia.

Pertanyaan Kedua : Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam kalau tidur, selalu di atas pinggang kanannya dan menghadap ke kiblat, apakah tidur semacam itu termasuk sunnah yang harus kita ikuti?

Jawaban:

Pada dasarnya, jika suatu perbuatan yang merupakan tabiat manusia, maka dimasukkan dalam katagori af’al jibiliyah, sampai ada dalil yang menunjukkan hal itu diperintahkan atau dianjurkan. Dalam hal ini, kita belum menemukan adanya dalil tersebut secara tegas. Hanya saja, kita mendapatkan dalil-dalil lain yang walaupun tidak secara langsung, menganjurkan kita untuk tidur dengan cara semacam itu. Diantara dalil-dalil tersebut adalah sebagai berikut :

1/ Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam QS. Ali Imran : 191

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَآ مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“(yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.”

Ayat di atas secara tidak langsung menganjurkan kepada kita untuk tidur dengan cara seperti yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi wa Sallam, yaitu dengan cara miring di atas pinggang kanan (wa ‘ala junubihim)

2/ Adanya larangan untuk tidur terkelungkup , karena tidur semacam itu adalah cara tidurnya orang-orang yang dimurkai oleh Allah swt.

3/Adanya keterangan bahwa tidur dalam posisi terlentang sangat tidak bagus menurut pandangan medis, karena di dalam punggung terdapat syaraf-syaraf yang berbahaya. Bahkan di dalam Al Qur’an disebutkan bahwa punggung tempat diletakkan anak Adam, sebagaina firman Allah swt di dalam QS. Al-A’raf : 172

Pertanyaan Ketiga : Bagaimana cara membedakan antara af’al Jibilliyah dan Mujarradah yang belum diketahui sifatnya, karena keduanya hampir serupa?

Jawaban :

Untuk mengetahui perbedaan antara keduanya adalah sebagai berikut :

Pertama : bahwa Af’al Jibiliyah, para ulama telah sepakat bahwa siapa saja yang mengerjakannya, maka dia tidak mendapatkan pahala, sedangkan Af’al Mujarradah para ulama masih berbeda pendapat, apakah orang yang mengamalkannya mendapatkan pahala atau tidak.

Kedua : Af’al Jiblilliyah lebih kental dengan nuansa kemanusiaannya dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan syariat, sedangkan Af’al al Mujarrodah yang belum diketahu sifatnya, tidak terlalu kental sifat kemanusiaannya, bahkan kadang tercampur dengan sesuatu yang berhubungan dengan syari’at.

Sebenarnya masih banyak pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, karena sebagian besarnya tidak ada hubungan secara langsung dengan materi ini, maka tidak kita tampilkan, Wallahu A’lam.