Pengertian Shalat Isyraq
Majelis Tarjih Muhammadiyah menjelaskan bahwa isyraq/syuruq, berasal dari kata syarq yang maknanya timur, terbit, menerangi. Sedangkan istilah “shalat Isyraq” atau shalat syuruq sering disebut-sebut oleh para ulama kalangan Asy-Syafi’iyah sebagaimana tertulis dalam kitab-kitab mereka terutama dalam kaitan pembahasan shalat dhuha.
Syaikh Muhammad Shalid Al Munajid menjelaskan bahwa Shalat Isyraq adalah shalat dua rakaat setelah matahari terbit dan meninggi, bagi yang Shalat Fajar (Shubuh) secara berjamaah di masjid kemudian duduk di tempat shalatnya untuk berzikir kepada Allah Ta’ala hingga shalat dua rakaat.
Menurut Syaikh Utsaimin, Shalat Sunnah Isyraq adalah shalat sunnah Dhuha, akan tetapi jika ditunaikan segera sejak matahari terbit dan meninggi seukuran tombak, maka dia disebut Shalat Isyraq, jika dilakukan pada akhir waktu atau di pertengahan waktu, maka dia dinamakan Shalat Dhuha. Akan tetapi secara keseluruhan dia adalah Shalat Dhuha. Karena para ulama berkata bahwa waktu shalat Dhuha adalah sejak meningginya matahari seukuran tombak hingga sebelum matahari tergelincir.
Dari Abdullah bin Al Harits bin Naufal, bahwa Ibnu Abbas tidak shalat Dhuha. Dia bercerita, lalu aku membawanya menemui Ummu Hani’ dan kukatakan, “Beritahukan kepadanya apa yang telah engkau beritahukan kepdaku.”
Lalu Ummu Hani berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam pernah masuk ke rumahku untuk menemuiku pada hari pembebasan kota Mekkah, lalu beliau minta dibawakan air, lalu beliau menuangkan ke dalam mangkuk besar, lalu minta dibawakan selembar kain, kemudian beliau memasangnya sebagai tabir antara diriku dan beliau. Selanjutnya, beliau mandi dan setelah itu beliau menyiramkan ke sudut rumah. Baru kemudian beliau mengerjakan shalat delapan rakaat, yang saat itu adalah waktu Dhuha. Berdiri, ruku, sujud, dan duduknya adalah sama, yang saling berdekatan sebagian dengan sebagian yang lainnya.”
Kemudian Ibnu Abbas keluar seraya berkata, “Aku pernah membaca di antara dua papan, aku tidak pernah mengenal shalat Dhuha kecuali sekarang.”
“Untuk bertasbih bersamanya (Dawud) di waktu petang dan pagi.” (QS Shaad: 18)
Dan aku pernah bertanya, “Mana shalat Isyraq ?”
Dan setelah itu dia berkata, “Itulah shalat Isyraq”
Diriwayatkan oleh Ath Thabari di dalam Tafsirnya dan Al Hakim.
Keutamaan Shalat Isyraq
Keutamaannya telah disebutkan dalam sabda Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,
مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِي جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ، ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ ، كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ ، وَعُمْرَةٍ، تَامَّةٍ ، تَامَّةٍ ، تَامَّةٍ (رواه الترمذي، رقم 586 من حديث أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه
“Siapa yang shalat Shubuh berjamaah, kemudian dia duduk berzikir kepada Allah hingga matahari terbit, kemudian dia shalat dua rakaat, maka baginya pahala haji dan umrah, sempurna, sempurna.” (HR. Tirmizi, no. 586, dari hadits Anas bin Malik radhiallahu anhu)
Hadits ini diperselisihkan keshahihannya, sejumlah ulama menyatakan dha’if, sementara yang lainnya menyatakan hasan. Termasuk yang menyatakan hasan adalah Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan Tirmizi. Syaikh Ibnu Baz menyatakan hasan li ghairihi.
Syaikh Mukhtar As Sinqithi dalam Syarh Zaadul Mustaqni’ memberikan penjelasan hadits ini, bahwa keutamaan ini hanya dapat diraih jika terpenuhi beberapa persyaratan sebagai berikut:
- Shalat subuh secara berjamaah. Sehingga tidak tercakup di dalamnya orang yang shalat sendirian. Zhahir kalimat jamaah di hadis ini, mencakup jamaah di masjid, jamaah di perjalanan, atau di rumah bagi yang tidak wajib jamaah di masjid karena udzur.
- Duduk berdzikir. Jika duduk tertidur, atau ngantuk maka tidak mendapatkan fadlilah ini. Termasuk berdzikir adalah membaca Alquran, beristighfar, membaca buku-buku agama, memebrikan nasihat, diskusi masalah agama, atau amar ma’ruf nahi mungkar.
- Duduk di tempat shalatnya sampai terbit matahari. Tidak boleh pindah dari tempat shalatnya, jika dia pindah untuk mengambil mushaf Alquran atau untuk kepentingan lainnya maka tidak mendapatkan keutamaan ini. Karena keutamaan (untuk amalan ini) sangat besar, pahala haji dan umrah “sempurna..sempurna..sempurna” sedangkan maksud (duduk di tempat shalatnya di sini) adalah dalam rangka Ar Ribath (menjaga ikatan satu amal dengan amal yang lain), dan dalam riwayat yang lain Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Kemudian duduk di tempat shalatnya.” Kalimat ini menunjukkan bahwa dia tidak boleh meninggalkan tempat shalatnya. Dan sekali lagi, untuk mendapatkan fadlilah yang besar ini, orang harus memberikan banyak perhatian dan usaha yang keras, sehingga seorang hamba harus memaksakan dirinya untuk sebisa mungkin menyesuaikan amal ini sebagaimana teks hadis.
- Shalat dua rakaat. Shalat ini dikenal dengan shalat isyraq. Shalat ini dikerjakan setelah terbitnya matahari setinggi tombak.
Shalat ini hukumnya sunnah, bukan wajib, dia termasuk shalat Dhuha, karena waktu shalat Dhuha dimulai sejak matahari terbit hingga menjelang matahari tergelincir (masuk waktu Zuhur). Sebagaimana dinyatakan dalam hadits dari Abu Hurairah Radhiallahu ‘Anhu, dia berkata, “Kekasihku (Rasulullah sallallahu’alaihi wa sallam) mewasiatkan kepadaku tiga (hal) yang tidak (pernah) saya tinggalkan sampai saya meninggal dunia:
- puasa tiga hari pada setiap bulan,
- shalat Dhuha,
- tidur (dalam kondisi) telah menunaikan witir.”
Hadits ini diriwayatkan Imam At Tirmidzi, no. 1178, dan Imam Muslim, no. 721.
Waktu Shalat Isyraq
Waktu shalat Isyraq/Syuruq/Thulu’ ialah pada awal waktu shalat Dhuha atau Shalat Hari Raya Idul Adha, yaitu setelah matahari terbit dan menaik setinggi 1 tombak. Atau jika diperkirakan dengan hitungan menit maka sekitar 10 s/d 20 menit setelah matahari terbit.
Dengan demikian waktu pelaksanaan shalat sunnah Isyraq/Syuruq tidak bertentangan dengan salah satu waktu terlarang mngerjakan shalat, yaitu ketika “pas/tepat” matahari terbit. Diriwayatkan dari Zaid bin Arqam,”Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah pergi ke penduduk Qubba’ pada saat mereka mengerjakan shalat (Dhuha). Lalu beliau bersabda, “Shalat Awwabin adalah apabila anak onta sudah merasa kepananasa di waktu Dhuha.”
Dalam riwayat Imam Ahmad, dari Zaid bin Arqam, “Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam datang ke masjid Qubba’ atau masuk ke dalam masjid Qubba’ sesudah matahari terbit yang pada saat itu mereka sedang mengerjakan shalat. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya shalatnya awwaabin (orang yang banyak taubat kepada Allah) yang mereka mengerjakannya apabila anak onta sudah kepanasan.” 15 Dan dari Al-Qasim al-Syaibani, bahwasannya Zaid bin Arqam melihat suatu kaum yang sedang melaksanakan shalat di waktu Dhuha, maka ia berkata: “Tidakkah mereka mengetahui bahwasannya shalat di selain waktu ini lebih utama? Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah bersabda: “Shalat Awwabiin dilakukan saat anak onta kepanasan.”
Maksud “anak onta sudah kepanasan” adalah matahari sudah sangat panas sampai memanaskan tanah dan pasir sehingga panasnya itu dirasakan oleh kaki anak-anak onta. Hal itu tidak terjadi kecuali pada saat matahari sudah meninggi dan mendekati pertengahan siang. Hal itu terjadi beberapa menit menjelang tergelincirnya matahari, sekitar seperempat jam menjelang adzan Dzuhur. Dan pada waktu inilah pelaksanaan shalat Dhuha yang paling utama.
Imam Nawawi rahimahullah berkata, “Dan faidah di dalamnya (hadits tersebut): utamanya shalat (Dhuha) pada waktu ini. Para shahabat kami berkata: Ia merupakan waktu shalat dhuha yang paling utama, walaupun boleh dikerjakan sejak terbitnya matahari hingga waktu zawal (tergelincirnya matahari di tengah hari).”
Syaikh Mubarakfuri mengatakan, “Dan hadits tersebut memberi faidah untuk mengakhirkan shalat Dhuha sampai menjelang pertengahan siang.”
Pengingkaran Zaid bin Arqam dalam hadits Muslim di atas bukan merupakan pengingkaran terhadap keberadaan shalat Dhuha di awal siang. Akan tetapi pengingkaran Zaid bin Arqam ini adalah agar supaya orang-orang melakukannya ketika matahari telah meninggi sehingga mereka mendapatkan pahala yang lebih besar, karena waktu pelaksanaan shalat Dhuha (Shalat Awwabiin) yang paling utama adalah ketika matahari telah memanas.
Tatacara Melaksanakan Shalat Isyraq
Cara melaksanakan Shalat Isyraq/Syuruq sama dengan shalat-shalat sunnah lain yang dikerjakan sebanyak 2 rokaat, dari mulai takbiratul ihram sampai salam, gerakan dan bacaannya sama. Perbedaannya hanya pada niat shalat. Yaitu kita menetapkan niat di dalam hati saja (tanpa diucapkan dengan lisan) bahwa kita akan melaksanakan shalat sunnah Isyraq dan mngharapkan pahala dari Allah seperti disebutkan dalam hadits di atas.
Setelah shalat Shubuh berjamaah di masjid, tidak pulang ke rumah atau tidak tidur-tiduran (apalagi sampai ngorok), akan tetapi dia berdiam di masjid untuk berdzikir kepada Allah dengan dzikir dan wirid syar’i atau membaca Al Quran, atau mendengarkan taushiyah/kajian ba’da subuh hingga matahari terbit. Kemudian sekitar 15 atau 20 menit sesudah matahari terbit, kita berdiri melaksanakan shalat sunnah isyraq tersebut.