Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,
Kalau bicara tentang negeri kita Indonesia dan seberapa parah masalah narkobanya, boleh dibilang memang kini negeri kita tercinta ini sudah jadi ‘surga’ buat para pemakai dan pebisnis narkoba.
Kalau anda rajin membuka situs Badan Narkotik Nasional (BNN), di sana disebutkan bahwa sekitar 2% penduduk Indonesia terlibat narkoba. Wah, banyak juga korbannya, itu kan berarti paling tidak ada 4 juta orang dari bangsa muslim ini yang terlibat. inna lillahi wa inna ilaihi rajiun.
Dan jumlah itu terus meningkat dari tahun ke tahun. Tahun 2001 yang berjumlah 3.617 menjadi 14.514 pada tahun 2005, atau meningkat rata-rata 36, 9% per tahun.
Jumlah tersangka tindak kejahatan narkoba meningkat dari 4.924 orang pada tahun 2001 menjadi 20.023 pada tahun 2005, atau meningkat rata-rata 36, 8% per tahun.
Apa yang Membuat Narkoba Begitu Marak?
Kenapa narkoba menjadi marak di negeri ini, padahal mayoritas penduduknya muslim?
Jawabnya tidak ada hubungannya dengan mayoritas agama yang dianut. Sebab pada hakikatnya narkoba itu adalah bisnis papan atas dengan hasil yang teramat menggiurkan. Uang yang berputar di bisnis ini mengalahkan semua jenis bisnis apapun.
Di tingkat dunia, perputaran uang narkoba mencapai angka yang teramat fantastis, yakni mencapai USD 400 miliar pertahunnya.
Bagaimana dengan Indonesia?
Perputaran uang dalam bisnis narkoba di Indonesia diperkirakan mencapai Rp 24 triliun perbulan. Angka tersebut mengalahkan anggaran sebuah departemen. Tengok saja anggaran belanja Departemen Pertahanan tahun ini yang hanya mencapai Rp21, 977 triliun.
Dari mana angka sebesar ini?
Angka ini didasari asumsi bahwa 4 juta pengguna narkoba di negeri ini setiap hari per-orang mengeluarkanRp 200.000, – untuk membeli barang haram tersebut. Maka peredaran uang dalam transaksi narkoba ini setiap harinya Rp 800 miliar.
Menilik angka-angka fantastis tersebut, sepintas memang cukup mencengangkan dan mungkin kita tidak percaya.
Tapi kalau dilihat dari hasil pengungkapan pabrik sabu dan ekstasi di Jalan Cikande, Serang, Banten, angka itu tidaklah terlalu mengagetkan.
Didapat informasi bahwa dalam seminggu saja pabrik tersebut menghasilkan minimal 100 kg ekstasi (1 kg=10.000 butir ekstasi). Berarti satu pabrik itu saja bisa menghasilkan 1 juta tablet ekstasi per hari. Nilai omzetnya mencapai Rp100 miliar per minggu atau Rp 400 miliar per bulan. Berarti omzetnya per tahun bisa mencapai Rp 4, 8 triliun. Bayangkan Itu baru dari satu pabrik saja, belum lagi yang lainnya.
Maka amat wajar bila semua orang tergiur dengan bisnis haram ini. Sebab selain menghasilkan keuntungan besar, semua berjalan dengan waktu yang sangat cepat. Baru sebentar saja, investasi bisa menghasilkan keuntungan berpuluh kali lipat.
Maka buat para pebisnis narkobadengan uang segunung itu, apa pun bisa dibelinya. Kalau perlu hukum dan Undang-undang juga bisa dibeli. Bahkan seluruh aparatnya pun bisa mereka bikin kaya tujuh turunan, dengan hasil keuntungan bisnis ini. Dan di negeri KUHP ini (kasih uang habis perkara), kasus-kasus jual beli hukum untuk menghalalkan segala cara mudah didapat. Bukan barang asing lagi.
Korban Jiwa
Jangan tanya tentang korban Narkoba. Sungguh angka yang sangat mencengangkan.Tercatat bahwa setiap tahunnya tidak kurang dari 15.000 jiwa bangsa ini melayang sia-sia. Angka ini jauh melebihi angka rata-rata korban bencana alam atau pun kecelakaan tranportasi dalam setahun.
Lebih ironis, barang haram ini bahkan paling banyak digunakan di kota-kota kecil. Data terakhirdiperoleh dari kepolisian bahwa kecamatan Bangil memegang rekor tertinggi uintuk kasus narkoba di kalangan anak-anak SD di Jawa Timur. Padahal Bangil dikenal sebagai kota santri dan di sana banyak pesantren. Laa haula wala quwwata illa billah.
Jalan Keluar: Mulai Dari Perbaikan Hukum
Salah satu faktor mengapa Indonesia menjadi surga pengedar narkoba adalah lemahnya hukum dan aparat penegaknya.
Kedahsyatan dampak narkoba hanya dihadapi dengan UU yang sangat lemah dan aparat yang bisa diajak main mata. Memang kita punya UU No. 22 tahun 1997 tentang Narkotika. Kita juga punyaUU No. 5 tahun 1997 tentang Psikotropika. Sayangnya Undang-undang itu nyaris tidak ada artinya, karena di sana hanya disebutkan bahwa hukuman untuk Pengguna, Pengedar, Pemilik Psikotropika gol. I (Ekstasy, Shabu-Shabu, dan lain-lain) diancam dengan Pidana Penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit 150 juta dan paling banyak 200 juta.
Itupun masih dengan kenyataan di lapangan bahwa oknum jaksa, hakim dan polisi sudah main mata terhadap terhadap kasus ini. Buktinya bisa langsung dilihat di TV, bandar besar cuma dihukum 3 bulan penjara, pengedar kecil-kecilan dan pengguna dihukum sampai 3 tahun.
Padahal kalau kita mau sedikit membuka diri, negeri sebelah yang sering kita bilang sebagai negara sekuler, yaitu Singapura, justru malah menerapkan hukuman mati bagi pengedar narkoba. Urusan sekuler memang sekuler, tetapi urusan narkoba, rupanya mereka tidak main-main. Berani bawa atau pakai narkoba, hukuman mati sudah menghadang tanpa ampun.
Begitu juga dengan tetangga kita satunya lagi, yaitu Malaysia. Di sana ada hukum gantung untuk para pengedar ‘dadah’ (sebutan untuk Narkoba). Siapa saja yang terlibat dengan barang haram ini, siap-siap dikirim ke akhirat.
Terus bagaimana dengan Indonesia, negeri muslim terbesar di dunia? Kenapa Indonesia yang masyarakatnya beragama Islam malah tidak mau menghukum mati? Apakah pembuat hukum di negeri ini ada main dengan para bandar narkoba?
Jawabnya entahlah, hanya Allah Subhanahu wa Ta’ala saja yang tahu. Semoga saja tidak.
Maka kalau kita mau serius memberantas narkoba, sudah menjadi harga mati bahwa hukumnya dibuat yang serius, yaitu berlakukan hukuman mati. Yang dihukum mati tentunya bukan para pemakai saja, tetapi termasuk para aparatnyajuga perlu dihukum mati, bila main-main dengan urusan ini.
Baru setelah itu nanti kita bicara bagaimana menanggulangi narkoba bersama masyarakat.
Hukuman Penjara Terbukti Tidak Menyelesaikan Masalah
Penjara tidak pernah menyelesaikan masalah, sebaliknya malah jadi sumber masalah. Sudah bukan rahasia lagi bahwa penjara justru jadi pusat transaksi narkoba yang paling menggiurkan. Para bos narkoba yang kebetulan tertangkap, justru bisa menjalankan bisnis trilyunan dari balik jeruji besi. Jelaslah bahwa penjara tidak menyelesaikan masalah.
Bangsa kita seharusnya bisasedikit berpikir untuk tidak terlalu dinina-bobokan oleh para gembong narkoba yang anti hukuman mati. Mereka paling pandai membayar aktifis yang cari uang untuk bicara HAM, padahal sebenarnya ujung-ujungnya hanya untuk melindungi bisnis haram itu.
Maka setelah hukuman mati diresmikan, segera laksanakan hukum mati dan berlakukan pada semua orang yang terlibat dengan narkoba, mulai dari pemilik pabrik, pemodal, pengedar, pengguna hingga oknum aparat yang main mata. Sebab semua punya andil.
Dan angin segar datang dari Mahkamah Konstitusi. Mereka menegaskan bahwa hukuman mati bagi pengedar narkoba tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Nah, jadi tunggu apa lagi?
Berlakukan segera hukuman mati untuk begundal narkoba dan segera penggal kepala para pengedar dan cukong-cukongnya, baru kita bisa bicara penanggulangan masalah narkoba. Tanpa itu, sama saja kita mengeringkan laut alias sia-sia.
Wallahu a’lam bishshawab, wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakatuh,