Kalau saya patuh dan menuruti apa kata orang tua dan guru saya karena saya yakin semua yang mereka katakan adalah baik dan benar untuk masa depan saya, itu bukan berarti saya bodoh, bukan berarti saya mendewakan mereka, tetapi saya lakukan itu karena saya menghormati mereka dan saya percaya bahwa apa yang mereka katakan itu benar, karena mereka lebih tahu tentang hal itu daripada saya sendiri.
Kalau kita kembali ke sejarah agama kita, dan sejarah perkembangan hukumnya, kita akan menemukan teladan dan panutan yang harus kita ikuti, tetapi itu bukan berarti kita mendewakan mereka dan tidak boleh menyalahi pendapat mereka. Agama Islam bukan agama tokoh, tetapi sebuah metode hidup yang diturunkan Allah lewat Nabi dan Rasul-Nya, yang dimurnikan kembali oleh Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, sebagai Khatamul Anbiya’.
Seandainya Islam itu agama “tokoh”, maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak boleh wafat, tetapi harus selalu mendampingi Islam sampai akhirat nanti. Beliau hanya meninggalkan “pewaris”, yang dalam hal ini pewarisnyalah yang mengajarkan kita metode tadi. Pewaris beliau adalah ulama-ulama umat.
Metode itu dikenal dengan syariah, yaitu semua yang diatur dalam Al Quran dan hadits. Itulah yang tidak boleh kita langgar, harus dipatuhi tanpa harus ada banyak pertanyaan dan protes.
Sedangkan hukum-hukum yang dikonklusi oleh “pewaris” nabi dari Quran dan hadis disebut fiqih Islami. Dengan kata lain, fiqih Islami itu adalah hasil “perasan kepala” para ulama kita terdahulu dengan tuntunan Al Quran dan sunnah.
Perbedaan syariah dengan fiqih Islami adalah bahwa fiqih Islami itu tidak memiliki “kesucian” seperti yang dimiliki syariah. Artinya, di antara sekian banyak pendapat ulama dalam sebuah masalah, kita diperbolehkan mengikuti salah satunya, dan kita tidak disalahkan apabila kita tidak mengikutinya[1].
Sebut saja ada di sana Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Laits bin Saad, Imam Asy Syafi’i, atau Imam Malik bin Anas. Mereka semua mujtahid mutlak, artinya punya hak dan kemampuan untuk mengintisarikan hukum langsung dari Al Quran dan sunnah. Pendapat mereka disebut hukum ijtihadi, artinya imam yang satu tidak lebih benar dari yang lain.
Abad pertama sampai ketiga hijriah, terkenal dengan lahirnya para imam mujtahid. Mereka punya kemampuan merumuskan hukum dengan mengambilnya langsung dari Al Quran dan sunnah, karena mereka memiliki syarat-syarat untuk itu. Kita punya banyak ulama besar pada saat itu, seperti: Imam Rabi’ah Rakyi, Imam Zaid bin Ali, Imam Jafar Ash Shadiq, Imam Muhammad Baqir, Imam Abu Hanifah, Imam Ibrahin Nakha’i, Imam Malik, Imam Auzai, Imam Laits bin Saad, Imam Asy Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal, Imam Sufyan Tsauri, Imam Abu Tsaur, dan lainnya.
Pada zaman mereka, semua hukum dari ayat-ayat Al Quran dan hadis sudah dirumuskan berdasarkan metode mereka masing-masing, ada yang disebut Ahlu Ra’yi atau Ahlul Hadits. Sehingga dengan itu, berdirilah mazhab-mazhab fiqih. Namun, hanya 4 yang Sunni yang sampai ke kita,yaitu Hanafi, Maliki, Asy Syafi’i dan Hambali, dan beberapa mazhab lagi dari Syiah, seperti Zaidi, Ja’fari, dan Ibadhi.
Orang-orang yang lahir pada abad selanjutnya (4-8 H) juga tidak kalah kemampuan ijtihad dan perumusan hukum dari orang-orang sebelumnya, seperti Imam Abu Yusuf, Imam Muhammad Asy Syaibani, Imam Ath Thahawi, Imam As Sarakhsi, Imam Asad bin Furat, Imam Suhnun, Imam Al Qarafi, Imam Al Buwaiti, Imam Al Ghazali, Imam Al Mawardi, Imam Al ‘Izz bin Abdussalam, Imam An Nawawi, Imam As Subki, Imam Ibnu Taimiyah, Imam Ibnul Qayyim, Imam Zakariya Anshari, dan lainnya. Karena mereka terlahir lebih akhir, maka tidak ada hal baru yang bisa mereka intisarikan dari Al Quran dan hadis, kecuali sedikit. Artinya mereka tidak bisa membuat mazhab baru, akhirnya mereka hanya mengikuti pendahulunya dan menertibkan mazhab mereka sesuai yang mereka yakini paling benar, tanpa sedikit pun menyalahkan mazhab lain.
Hal itu berjalan sampai abad 12 H, muncullah beberapa ulama yang mengajak untuk “memurnikan” kembali fiqih Islami dengan mengambil hukum langsung dari Al Quran dan hadis dan melepaskan diri dari “belenggu” mazhab 4 tersebut. Antara lain, Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab di Najd, Syaikh Muhammad bin Nuh Ghallati di Madinah, Syaikh Waliyuddin Dahlawi di India, Imam Muhammad bin Abdullah Syaukani di Yaman, dan Imam Syihabuddin Alusi di Irak[2].
Orang-orang yang mengajak untuk melepaskan taqlid kepada ulama terdahulu, mungkin tidak kita salahkan apabila mereka memiliki kemampuan dan memenuhi syarat untuk itu, karena ulama terdahulupun mengajak semua untuk berfikir dan tidak ikut-ikutan tanpa tahu apa-apa, Namun, pada akhirnya tetap saja taqlid itu harus, karena tidak mungkin 2 milyar Muslim diajak masing-masing merumuskan hukum sendiri dari Al Quran dan sunnah, pasti tetap akan ada taqlid.
Hari ini, ada 3 pandangan ulama tentang mengikuti mazhab tertentu,
- Kelompok yang mengajak lepas dari mazhab, dipelopori oleh mayoritas ulama Hijaz, seperti Syaikh Ibnu Abdul Wahab, Syaikh Dahlawi, dan lainnya.
- Kelompok yang mengajak berpegang pada satu mazhab, agar kita tidak terombang-ambing dalam samudera pemikiran ulama itu, karena kita masih orang awam, ini dipelopori oleh mayoritas ulama Syam (Syria), seperti Imam Zahid Kautsari, Syaikh Abdul Fattah Abu Ghuddah, Dr. Muhammad Sa’id Ramadhan Al Buthi, dan lainnya.
- Kelompok yang mengajak untuk menggabungkan semua mazhab, kita pakai yang paling dekat dengan kebenaran dan paling kuat dalilnya, ini dipelopori oleh mayoritas ulama Azhar, seperti Imam Muhammad Abu Zahra, Syaikh Mahmud Syaltut, Syaikh Abdul Wahab Khallaf, Syaikh Ali Khafif, Syaikh Yusuf Al Qaradhawi, Syaikh Musthafa Az Zarqa, dan lainnya[3].
Menurut saya pribadi, pendapat kelompok pertama sangat susah untuk dilaksanakan zaman sekarang, kalau tidak mau dikatakan mustahil. Metode seperti ini dan pada zaman seperti saat ini, akan berujung kepada “kekacauan beragama”, karena setiap orang akan membuat hukum sendiri-sendiri, dan itu bisa anda lihat sendiri di masyarakat, perpecahan tumbuh dimana-mana kerena hal sepele.
Pendapat kelompok ketiga cukup bagus dan cocok dengan zaman sekarang, tetapi itu hanya untuk kalangan “atas”, yaitu orang-orang yang sudah tahu ushul fiqih, fiqih, hadits, tafsir dan bahasa Arab, dan bisa “mentarjih” pendapat-pendapat ulama.
Pendapat kelompok kedua lebih selamat, khususnya untuk orang awam, yang “mazhabnya adalah mazhab muftinya”. Pendapat ini lebih selamat, karena mengikuti salah satu mazhab adalah jalan paling tepat untuk terjauh dari “keterpelesetan” dalam mengamalkan hukum fiqih Islami, karena semua ada sandarannya dan bisa dipertanggungjawabkan.
Itu adalah ikhtilaf “orang-orang besar”, sedangkan kita orang awam, apa posisi kita? Dimana kita meletakkan diri kita? Apakah kita ikut-ikutan bikin ikhtilaf lagi? Atau kita menghakimi mereka dengan menyalahkan si Fulan dan si Fulan?
Dalam mukaddimah tahqiq kitab, “Shalat Raghaib”,(risalah Imam Al ‘Izz bin Abdus Salam yang membantah pendapat adanya shalat raghaib yang diutarakan oleh Imam Ibnu Ash Shalah), Ustaz Iyad Khaled Tabba memaparkan pesan Imam Subki kepada kita dalam kitabnya “Tabaqat Fuqaha Syafi’iyyah”: “ Apabila kalian menemukan perbedaan pendapat antara ulama-ulama, janganlah kalian ikut campur, karena kalian tidak tahu apa-apa tentang mereka. Ikutilah pendapat siapapun yang kamu anggap paling benar dan kamu yakini, tanpa harus mencela pendapat yang lain, karena itu lebih selamat bagimu.”
Imam Ibnu Taimiyah dalam kitabnya “Raf’ul Malam, ‘An Aimmatil A’lam”, beliau berkata, “Allah mengatakan perumpamaan orang yang mengghibah (mengupat dan mencaci) saudaranya seperti orang yang memakan bangkai saudaranya. Ingatlah kamu, daging ulama itu beracun. Maka hati-hatilah, jangan sampai kamu memakannya.”
Wallahu A’lam.
_______________
[1] . lihat: Mazahib Islamiyyah, syeikh Mustafa Zarqa, Dar Qalam, Damascus.
[2] Lihat: Syariah Islamiyyah wal Qanun Wadh’i, Mustasyar Thareq Busyra, Dar Syuruq, Cairo.
[3] . Tajdid wa Mujaddidun fi Ushul Fiqh, Cairo, (Thesis Magister)