Meningkatnya angka perceraian di Indonesia beberapa tahun terakhir merupakan fakta yang sangat memprihatinkan. Badan Urusan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung (MA) mencatat selama periode 2005 hingga 2010 terjadi peningkatan perceraian hingga 70 %. Tingkat perceraian sejak 2005 terus meningkat di atas 10 persen setiap tahunnya. Pada tahun 2010 saja, terjadi 285.184 perceraian di seluruh Indonesia.
Jika memperhatikan hasil penelitian Mark Cammack, guru besar dari Southwestern School of Law-Los Angeles, USA, sesungguhnya ada fluktuasi angka perceraian di Indonesia. Berdasarkan penelitian Cammack, pada tahun 1950-an angka perceraian di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, tergolong yang paling tinggi di dunia.
Pada dekade itu, dari 100 perkawinan, 50 di antaranya berakhir dengan perceraian. Tetapi pada tahun 1970-an hingga 1990-an, tingkat perceraian di Indonesia dan negara-negara lain di Asia Tenggara menurun drastis, padahal di belahan dunia lainnya justru meningkat. Angka perceraian di Indonesia meningkat kembali secara signifikan sejak tahun 2001 hingga 2012 ini.
Kuliah Pernikahan
Untuk menduduki jabatan direktur di suatu perusahaan, seseorang harus menempuh masa pendidikan yang panjang. Dia harus memiliki ijazah tertentu, dengan kompetensi tertentu, dengan ujian tertentu. Setelah dinyatakan memenuhi persyaratan, barulah seseorang dilantik menjadi direktur perusahaan. Namun untuk menjadi direktur keluarga, ternyata tidak disertai dengan masa pendidikan yang memadai.
Sangat banyak hal yang harus dipelajari tentang pernikahan dan keluarga. Seandainya dibuat dalam satuan mata kuliah, sudah bisa menjadi satu fakultas tersendiri di sebuah universitas. Namanya Fakultas Pernikahan. Seluruh kurikulum berisi seluk beluk pernikahan, keluarga, perceraian, dan segala hal yang berhubungan dengannya. Rujukan bukunya sudah sangat banyak beredar di pasaran.
Semestinyalah semua orang yang akan menikah, telah melalui masa kuliah pernikahan, sehingga mengerti berbagai ilmu yang diperlukan untuk membentuk keluarga yang harmonis, sejahtera, produktif dan bahagia. Ketika menikah tanpa berbekal pengetahuan dan pemahaman yang mencukupi, sangat banyak ditemukan fenomena penyimpangan dalam keluarga dalam berbagai bentuknya. Ujungnya adalah kegagalan berumah tangga, perceraian.
Kuliah menjelang pernikahan bisa diselenggarakan oleh Kantor Urusan Agama, atau oleh BKKBN, atau oleh pihak masjid / gereja, atau oleh tokoh agama, atau oleh pihak LSM yang berkompeten. Tujuannya adalah memberikan pembekalan dasar-dasar dan ketrampilan membina rumah tangga. Durasi waktu yang diperlukan sangat fleksibel, sesuai situasi dan kondisi. Namun esensi pembekalan ini yang lebih penting untuk diupayakan. Teknisnya juga bisa sangat variatif.
Menikah Itu Untuk Selamanya
Pernikahan tidak boleh diniatkan untuk jangka waktu tertentu. Saat melaksanakan akad nikah, tidak boleh terbersit ada pikiran untuk membatasi usia pernikahan dalam suatu rentang waktu. Pernikahan tidak boleh bermotivasi coba-coba, atau eksperimen, atau semacam itu.
“Sekarang yang penting nikah dulu, besok kalau tidak cocok ya cerai saja”.
“Sekarang dicoba dulu, kalau bahagia diteruskan, kalau tidak bahagia cerai saja”.
Jangan pernah berpikir untuk bercerai. Jangan ada kalimat “kalau nanti tidak cocok”. Nikah itu diniatkan seumur hidup, selamanya. Bukan suatu eksperimen atau percobaan. Oleh karena itu, dalam menempuh proses dari awalnya, harus disertai kelurusan dan kekuatan motivasi. Pernikahan adalah sebuah gerbang kehidupan, yang akan menentukan corak atau warna seseorang dalam waktu yang lama. Kebaikan atau keburukan seseorang, bermula dari kondisi keluarga.
Pernikahan adalah ibadah. Di dalamnya kita tengah menunaikan ketentuan-ketentuan agama yang sakral. Berhubungan suami isteri saja, dinilai sebagai ibadah. Maka ada adab atau etika yang menyertai prosesi hubungan suami isteri. Kenikmatan yang bisa didapatkan dari hubungan seksual adalah bagian dari rasa kesyukuran kepada kemurahan Tuhan. Karena ada dimensi ketuhanan yang sangat kuat dalam keluarga, tidak layak menjadikan pernikahan sebagai permainan atau coba-coba.
Menghadapi Keguncangan Rumah Tangga
Tidak ada keluarga yang tanpa masalah. Semua keluarga pasti memiliki sejumlahj permasalahan. Namun keguncangan dalam rumah tangga sesungguhnya bisa diselesaikan. Berbagai persoalan, konflik, ketidakcocokan dan lain sebagainya, harus bisa dihadapi dengan sepenuh kesiapan jiwa. Suami dan isteri harus berada dalam posisi yang sama setiap kali bertemu persoalan kerumahtanggaan.
“Ini masalah kamu, bukan masalahku”.
“Kamu yang bermasalah, bukan aku”.
Kalimat-kalimat tersebut sangat arogan dan akan semakin memperuncing permasalahan. Semestinya suami dan isteri saling mendekat, dan bersama-sama mengupayakan jalan keluar dari setiap masalah yang datang. Tidak bersikap saling menyalahkan, tidak bersikap saling melempar kesalahan. Namun memahaminya sebagai persoalan bersama.
“Ini masalah kita berdua. Ayo kita selesaikan bersama”.
Kalimat itu lebih positif dan menyejukkan jiwa. Suami dan isteri harus mampu melampaui setiap persoalan yang datang menghadang, karena memang tidak bisa dihindarkan. Yang bisa kita lakukan adalah menghadapinya dengan pikiran jernih, hati bening, jiwa terbuka, sehingga semua masalah mampu kita jadikan sarana menguatkan rasa cinta dalam keluarga.