Deskripsi
Si A pulang dari Senayan sekitar jam 2 siang. Naik busway dengan tujuan Kampung Rambutan. Ternyata macet dan dia turun di halte jalan baru jam 20.00 WIB. Dia ninggalin shalat Ashar sama Maghrib karena diperjalanan.
Pertanyaannya: cukupkah dia dengan mengqadha’ shalat?
Pembahasan
Bagi sebagian orang yang hidup di perkotaan, pemandangan macet di jalanan adalah hal yang lumrah. Terlebih ketika jam berangkat dan pulang kantor. Lebih parah lagi jika terjadi hujan lebat yang mengakibatkan banjir di jalanan. Kemacetan bisa saja terjadi selama berjam-jam tanpa bergerak sedikitpun.
Jika kemacetan itu terjadi di pagi hari tentu tak ada masalah yang berarti dengan waktu shalat fardhu. Tetapi kemacetan itu akan menjadi dilema jika terjadi sore hari, karena melewati waktu shalat ashar dan maghrib.
Bagi seorang muslim, wajib hukumnya mengetahui tuntunan agama terkhusus menyangkut kehidupan sehari-harinya. Sebagaimana seorang yang tiap hari bekerja di luar rumah dan pulang petang dalam keadaan macet, maka wajib baginya mengetahui kiat-kiat shalat ketika dalam keadaan macet. Baik yang biasa menggunakan mobil pribadi, motor ataupun angkutan umum.
Meninggalkan Shalat dengan Sengaja
Secara umum para Ulama’ sepakat bahwa meniggalkan shalat secara sengaja hukumnya dosa besar. Meski mereka berikhtilaf apakah hal tersebut mengeluarkan pelakunya dari agama Islam atau tidak. Karena hal yang membedakan antara muslim dan kafir bukanlah KTP-nya, melainkan shalatnya. Sebagaimana hadits Nabi Muhammad ShallaAllahu alahi wasallam:
إِنَّ بَيْنَ الرَّجُل وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكَ الصَّلاَةِ
Batas antara seorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan shalat (HR. Muslim).
Perlu diketahui bahwa Shalat adalah ibadah yang hukumnya fardhu ain dan tidak boleh ditinggalkan dengan alasan apapun, kecuali wanita yang sedang haid atau nifas, maka haram baginya shalat. Bepergian atau macet bukanlah udzur yang dibenarkan syariat untuk meninggalkan shalat. Lantas bagaiamana cara shalat ketika terjadi kasus seperti diatas?
Qashar
Sebagaimana kasus diatas ketika kita ukur jarak antara Senayan dan Kampung Rambutan hanyalah sekitar 20km[1]. Qashar shalat adalah meringkas shalat yang asalnya 4 raka’at menjadi 2 raka’at. Para ulama’ berbeda dalam menetapkan jarak minimal orang boleh menqashar shalat.
Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, Imam Ahmad bin Hanbal dan lainnya mengatakan minimal berjarak 2 hari perjalanan, dengan langkah yang biasanya. Malamnya tidak dihitung kecuali hanya perjalanan siangnya saja. Atau sekitar 88,704 km[2].
Sedangkan Imam Abu Hanifah menetapkan minimal 3 hari perjalanan. Meskipun ada diantara Ulama’ yang tidak membatasi jarak minimal safar yang membolehkan qashar, sebagaiama pendapat Dzahiri dan Ibnu Taimiyah.[3] Mereka membatasi dengan muthlak safar atau kebiasaan orang yang sudah dianggap sebagai bepergian. Seperti adanya persiapan sebelumnya dan jauhnya jarak.
Jika dilihat dari kasus diatas, maka jarak Senayan ke Kampung Rambutan bukanlah jarak yang boleh untuk menqashar shalat. Sebagaimana ketika menggunakan pendapat yang tidak membatasi jarak safar, maka perjalanan itu bukanlah disebut safar/bepergian. Secara kebiasaan, perjalanan keliling jakarta bukanlah disebut sebagai safar. Apalagi jika perjalanan itu sudah rutin dilaksanan tiap hari yaitu pergi dan pulang kerja.
Jama’
Begitu pula jama’ shalat, maksudnya melaksanakan dua shalat wajib dalam satu waktu. Seperti melakukan shalat Dzuhur dengan shalat Ashar dan shalat Maghrib dan shlat Isya’. Jika diwaktu awal dinamakan Jama’ Taqdim, jika di waktu akhir dinamakan Jama’ Ta’khir.
Mayoritas Ulama’ dari madzhab Maliki, Syafi’i dan Hanbali membolehkan jama’ shalat dzuhur dengan ashar dan maghrib dengan ashar ketika dalam bepergian[4].
Sedangkan Hanafiyyah mengatakan, tidak ada jama’ dalam shalat fardhu, yang ada hanyalah jama’ suri. Yaitu melaksanakan shalat dzuhur pada akhir waktunya lalu melaksanakan shalat ashar di awal waktunya.[5]
Para Ulama’ mengatakan bahwa shalat pada waktunya itu lebih utama daripada shalat jama’[6]. Ibnu Qayyim mengatakan bahwa Jama’ shalat itu rukhshoh bukan sunnah[7]. Al malikiyyah mengatakan bahwa jama’ shalat itu khilaful aula (menyelisihi yang utama) dan lebih baik ditinggalkan[8].
Shalat Jama’ lebih umum dari shalat Qashar, karena mengqashar shalat hanya boleh dilakukan oleh orang yang sedang bepergian (musafir). Sedangkan menjama’ shalat bukan saja hanya untuk orang musafir, tetapi boleh juga dilakukan orang yang sedang sakit, atau karena hujan lebat atau banjir yang menyulitkan seorang muslim untuk bolak- balik ke masjid.
Ini berdasarkan hadits Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, bahwasanya Rasulullah ShallaAllahu alaihi wasallam menjama’ shalat Dhuhur dengan Ashar dan shalat Maghrib dengan Isya’ di Madinah. Imam Muslim menambahkan, “Bukan karena takut, hujan dan musafir”.
Imam Nawawi dalam kitabnya Syarah Muslim[9], dalam mengomentari hadits ini mengatakan, “Mayoritas ulama membolehkan menjama’ shalat bagi mereka yang tidak musafir bila ada kebutuhan yang sangat mendesak, dengan catatan tidak menjadikan yang demikian sebagai tradisi (kebiasaan).
Dari kasus diatas, maka jika terjadi kemacetan dan masih dimungkinkan untuk shalat pada waktunya maka sebaiknya tidaklah melaksanakan jama’ shalat.
Asumsi Salah yang Harus Diluruskan
Kalo penulis cermati, banyak kasus orang meninggalkan shalat ketika terjadi kemacetan di jalan terlebih karena beberapa asumsi yang keliru, yaitu sebagai berikut:
1. Shalat harus di Masjid/ Musholla.
Kadang ada orang yang dengan sengaja meninggalkan shalat karena tidak menemukan masjid atau musholla. Asumsi ini muncul karena tempatnya shalat ya di masjid. Padahal Allah subhanahu wa ta’ala telah memberikan kemudahan bagi umat Nabi Muhammad shallaAllahu alaihi wasallam dengan menjadikan semua bumi boleh untuk shalat diatasnya. Sebagaimana hadits:
عَنْ أَبِي سَعِـيْدٍ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ﴿ كُـلُّ اْلأَرْضِ مَسْـجِدٌ، وَطَـهُوْرٌ إِلاّ الْمَقْـبَرَةَ وَالْحَـمَّامَ
Artinya: Diriwayatkan dari sahabat Abu Said, Rasulullah shallaAllahu alaihi wasallam telah bersabda, “Semua bumi adalah masjid dan suci, kecuali maqbarah [kuburan] dan kamar mandi.”[10]
Selama tempat itu tidak najis, maka boleh kita shalat diatasnya. Ketika sedang terjadi macet, kalo naik mobil atau motor pribadi maka dengan mudah kita bisa mampir sejenak ke masjid atau musholla samping jalan.
Kalo kita kebetulan naik angkutan umum, jika telah masuk waktu shalat maka bisa saja kita turun sejenak untuk mencari musholla. Meskipun kita rugi karena harus membayar lagi. Tetapi kerugian itu tidaklah berarti apa-apa jika dibanding dosa meninggalkan shalat dengan sengaja.
Atau jika naik busway dan tidak mau rugi maka bisa saja kita shalat di halte busway tanpa keluar dari halte.
2. Berwudhu harus dengan air yang banyak.
Asumsi kedua yang sering disalah pahami adalah ketidak adaan air yang mencukupi untuk berwudhu. Padahal Nabi Muhammad shallaAllahu alaihi wasallam berwudhu dengan sempurna hanya dengan satu mud. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Anas, “Rasulullah ketika berwudhu dengan (takaran air sebanyak) satu mud dan mandi (dengan takaran sebanyak) satu sha’ sampai lima mud.” (HR. Muttafaq alaih).
Mud biasa digunakan sebagai salah satu alat takar, yang ukuran volumenya sebesar isi 1 1/3 rithal kacang Adas, atau 2 rithal air.[11] Ukuran ini apabila dibandingkan ke gram, maka berat 1 mud kacang Adas adalah 576 gram, dan berat 1 mud air = 864 gram.
Air adalah zat cair yang kadarnya sama dalam bentuk isi dan berat yaitu 100 cl = 100 gram. Dalam eksprimen ditemukan bahwa: 1000 cl air beratnya adalah 1000 gram, maka dapat disimpulkan bahwa: untuk mencari besarnya volume suatu alat takaran harus dengan menggunakan air, dengan pertimbangan belum ditemukan zat lainnya yang mempunyai persamaan antara kadar isi dan berat. Oleh karena itu untuk mencari volume mud harus menggunakan air.
Berdasarkan ketetapan ukuran berat air 1 mud = 864 gram, maka volume satu mud air adalah 864 cl. atau 0,864 liter.
Anggota badan yang wajib dibasuh ketika wudhu’ hanya muka, kedua tangan sampai siku, sebagian kepala dan kedua kaki sampai mata kaki. Sebagaimana disebutkan dalam Al Qur’an;
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al-Maidah: 6)
Dan mengulangi 3 kali basuhan hukumnya adalah sunnah.[12]
Maka sebenarnya tidak ada alasan untuk meninggalkan shalat ketika sedang dalam perjalanan gara-gara tidak ada air. Kita pun bisa gunakan air mineral yang kita telah persiapkan atau membelinya di jalan. Dengan satu botol air mineral kecil kita bisa gunakan untuk berwudhu’.
Jika sudah mencari air dan tidak ditemukan, maka Allah telah mensyariatkan tayammum dengan debu yang bisa kita temukan dengan mudah disekitar kita.
3. Khawatir pakaiannya najis atau tidak membawa mukena bagi wanita.
Sebagian orang khawatir, pakaiannya tidak sah untuk shalat karena kotor atau najis. Disini harus dibedakan antara kotor dan najis, karena tidak semua kotor adalah najis. Jika hanya ragu saja bahwa pakaiannya itu telah najis, maka hendaknya dihilangkan keraguan itu. Selama tidak nyata bentuk najisnya, tampak rupanya, tidak tercium baunya maka itu suci. Karena tidak boleh hanya karena ragu lantas orang meninggalkan shalat.
Sebagian lagi mengira bahwa shalat itu harus dengan seragam tertentu. Seorang wanita sering mengira bahwa shalat harus memakai mukena. Tak jarang ia meninggalkan shalat gara-gara tidak bawa mukena.
Syarat dari sahnya shalat adalah menutup aurat. Seorang wanita bisa saja memakai pakaiannya dengan kerudung, baju lengan panjang yang menutup sampai punggung tangan dan kaos kaki saja sudah sah untuk melaksanakan shalat.
4. Malu jika harus shalat ditempat yang tidak biasa.
Inilah mungkin alasan paling sering yang menjadi sebab orang meningalkan shalat jika dalam perjalanan. Malu dianggap sok agamis jika harus shalat di halte busway. Malu jika harus menggelar sajadah ditrotoar untuk shalat. Malu jika harus pamit sejenak kepada teman untuk shalat, jika sedang bepergian bersama.
Inilah krisis yang mestinya tidak terjadi dalam jiwa seorang muslim jika sudah berkomitmen untuk tidak meninggalkan shalat dalam keadaan apapun.
Jika orang yang bermaksiat dengan meninggalkan shalat saja tidak malu, mengapa orang yang mau shalat malah malu.
Rasa “Aneh dan malu” itu muncul karena belum terbiasa.
Kiat-kiat Shalat dalam Perjalanan
Kita mafhum bersama macet adalah kegiatan rutin yang terjadi di jalanan kota besar. Maka ada beberapa kiat khusus yang mungkin bisa kita laksanakan sebagai bekal.
1. Kuatkan keyakinan dalam diri bahwa shalat adalah prioritas.
Allah subhanahu wa ta’ala telah menprioritaskan shalat dengan menjadikannya hal yang pertama kali dihisab. Sebagaimana sabda Nabi Muhammad ShallaAllah alaihi wasallam:
“Sesungguhnya yang pertama kali akan dihisab dari amal perbuatan manusia pada hari kiamat adalah shalatnya.”[13]
Maka sudah sepantaskan kita memprioritaskan shalat dan berazam untuk tidak akan meninggalkannya dalam keadaan bagaiamanapun.
2. Persiapkan segala sesuatu.
Jika dalam hati sudah mantap untuk tidak meninggalkan shalat dimanapun dan dalam keadaan apapun, maka kita persiapkan segala sesuatu menyangkut pelaksanaan shalat. Mulai dari pakaian yang suci dan menutupi aurat, air sebagai sarana bersuci yang cukup dengan satu gelas air mineral dan pastinya ilmu tentang syariat shalat.
3. Atur jadwal dan tetapkan skala prioritas.
Terkadang kita tahu bahwa sore adalah jam macet. Tetapi menjelang ashar atau menjelang maghrib, belum shalat kita sudah jalan. Pasti nanti waktu shalat habis sebelum sampai ke tujuan. Sebaiknya menunggu barang sejenak untuk shalat jika dikira-kirakan akan habis waktu shalat.
4. Shalat dimana pun.
Jika akhirnya kita terjebak macet dan akan habis waktu shalat, maka kita bisa shalat dimana saja. Barangkali ketika kita shalat di halte busway, banyak orang yang akan mengikuti shalat sehingga akan biasa kita lihat pemandangan jama’ah shalat di halte busway.
Jawaban
Pertanyaannya: cukupkah dia dengan mengqadhoa’ shalat? Jika dia ninggalin shalat Ashar dan Maghrib karena diperjalanan.
Perjalanan atau macet bukanlah alasan yang dibenarkan dalam syariat untuk meninggalkan shalat. Tetapi karena ia belum tahu, maka cukup baginya qadha’ shalat.
Semoga kita semua termasuk hamba Allah subhanahu wa ta’ala yang senantiasa istiqamah menjalankan perintahNya. Wallahu a’lamu bis shawab.
Oleh: Luthfi Abdu Robbihi
Rumah Fiqih Indonesia
Footnote:
[1] Diukur menggunakan aplikasi google map
[2] Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid: Ibnu Rusyd Al-Hafid, Hal. 1/404
[3] Majmu’ Fatawa: Ibnu Taimiyyah, jilid 12 hal. 18-14 dan 135
[4] Kyasful Qana’: 2/5, Mugnil Muhtaj: 1/529, As Syarhu Al Kabir: 1/368
[5] Ad Durr al Mukhtar wa Hasyiah ibn Abidin: 1/381
[6] Al Inshaf: 2/334
[7] Al Wabil As Shayyib: 14
[8] Minahul Jalil: 1/416
[9] Muslim bi Syarhi An Nawawi: Imam Nawawi, Hal. 5/215
[10] Musnad Ahmad: 403, Nomer hadits: 11358
[11] Lisanul Arab: Ibnu Mandzur, Hal. 3/400
[12] Mughnil Muhtaj: As Syarbini, Hal: 1/60, kasyful al Qana’: 1/102, Al Syarhu al Kabir ma’a Hasyiyati ad Dasuqi: 1//101
[13] HR. Abu Daud no. 964, At-Tirmizi no. 413, An-Nasai no. 461-463, dan Ibnu Majah no. 1425.