Untuk berda’wah, seseorang tidaklah harus menjadi manusia sempurna terlebih dahulu. Bahkan jika ia adalah seseorang yang fasik yang banyak berdosa, ia juga harus berda’wah. Terbebas dari kemaksiatan tidaklah menjadi syarat orang yang hendak mencegah kemungkaran. Bahkan orang-orang yang berbuat maksiat harus saling melarang satu sama lain. Hal ini sebagaimana yang ditunjukkan dalam surat Al Ma’idah, dimana orang-orang Bani Israil melakukan kemaksiatan bersama-sama, sekaligus celaan atas mereka karena tidak saling melarang dari kemungkaran.
“Telah dilaknati orang-orang kafir dari Bani Israil dengan lisan Daud dan Isa putera Maryam. Yang demikian itu, disebabkan mereka durhaka dan selalu melampaui batas. Mereka satu sama lain selalu tidak melarang tindakan munkar yang mereka perbuat. Sesungguhnya amat buruklah apa yang selalu mereka perbuat itu.” (Al Ma’idah: 78-79)
Said bin Jubair berkata, “Jika seseorang menunda untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar hingga ia bersih dari kesalahan, maka tidak ada orang yang mau ber- amar ma’ruf nahi munkar.”
Sedangkan tentang firman Allah:
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?” (Al Baqarah: 44)
Ayat ini tidak sekadar mencela mereka karena menyeru pada kebaikan, tapi tidak mengerjakannya. Namun, ayat ini mencela mereka karena mereka tidak mengerjakannya, padahal mereka memiliki ilmunya. Ayat ini juga tidak bertentangan dengan sebuah hadits yan diriwayatkan dari Usamah bin Zaid.
Rasulullah bersabda, “Pada hari kiamat kelak, akan didatangkan seseorang lalu diceburkan ke dalam api neraka. Lantas ususnya terburai ke dalam api, maka ia berputar-putar sebagaimana seekor keledai berputar-putar di tempat penggilingan. Kemudian para peghuni neraka mengerumuninya, mereka berkata, ‘Wahai fulan, bukankah engkau dahulu memerintahkan kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang mungkar?’ Ia berkata, ‘Dahulu aku menyeru kalian kepada yang ma’ruf, namun tidak aku kerjakan, dan aku mencegah kalian dari yang mungkar, namun akau malah menegrjakannya’.”
Penyelarasan ayat dan hadts ini adalah bahwa orang yang ber-amar ma’ruf nahi munkar wajib mengerjakan perbuatan yang diserunya dan meninggalkan perbuatan yang dilarangnya. Inilah sunnah para rasul, sebagaimana Syu’aib berkata:
“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan. Dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah aku bertawakkal dan hanya kepada-Nya-lah aku kembali.” (Hud: 88)
Sikap inilah yang lebih tepat bagi para da’i karena lebih dapat diterima dan dipenuhi da’wahnya oleh masyarakat. Meski demikian, bukan berarti bahwa orang yang berbuat kemungkaran terbebas dari kewajiban amar ma’ruf nahi munkar. Selain itu bukan berarti bahwa orang yang berhak ber-amar ma’ruf nahi munkar hanyalah orang yang terbebas dari segala bentuk kemaksiatan.
Jika kewajiban amar ma’ruf nahi munkar mensyaratkan terbebasnya pelakunya dari kemaksiatan secara penuh, maka ini adalah perbuatan yang tidak adil. Orang-orang yang bermaksiat terbebas dari kewajiban, sementara orang-orang yang taat malah dihukum karena meninggalkan kewajibannya.[1] Ini benar-benar kezhaliman!
Ada satu contoh konkrit tentang hal ini, yakni ketika ada seorang ustadz yang kebetulan ingin makan tongseng di sebuah tempat makan. Beliau tidak mengetahui bahwa tongseng yang dijual di tempat itu adalah dari daging anjing. Mengetahui bahwa yang datang ke tempat itu adalah seorang ustadz, pemilik tempat makan itu memberitahukan padanya bahwa rumah makan itu hanya menyediakan daging anjing. Maka selamatlah sang ustadz itu dari mengkonsumsi makanan yang haram, meskipun yang memberitahukannya adalah si penjual tongseng daging anjing, yang kemungkinan besar tahu tentang keharaman daging anjing dan juga mengkonsumsinya.
Jika kita tidak memulai da’wah hingga kita menjadi manusia sempurna yang suci dari kesalahan, maka kita tidak akan pernah berda’wah, karena yang ma’shum adalah Rasulullah. Jadi, jika tidak mulai berda’wah dari sekarang, kapan lagi?
[1] Jihad: Jalan Khas Kelompok Yang Dijanjikan