Menjadi Ibu Tiga Warna

Anugerah, begitu kita menyebutnya, adalah sesuatu yang hanya bisa diberikan olehNya. Tak ada seorangpun atau sebuah instansi pun yang bisa menggantikan posisiNya sebagai pemberi. Dan tak berbilang sudah anugerah yang kuterima, salah satu yang terindah adalah menjadi ibu. Tak tanggung-tanggung 3 buah hati dipercayakanNya kepadaku.

Sebagaimana ibu-ibu masa kini, yang selalu dengan perasaan mendua (mensyukuri keberadaan anak-anaknya tapi juga tak berhenti mengeluh atas kenakalan dan kesibukan yang disebabkan oleh keberadaan mereka) kujalani peranku sebagai ibu. Empat belas tahun hingga saat ini, aku mengalami metamorfosis dari hari ke hari. Setiap detik, menit dan jam sejak melahirkan si sulung empat belas tahun yang lalu, membuat tiap sel dalam tubuh dan otakku mengalami perubahan. Entah itu dalam hal fisik maupun perspektif berpikirku yang berhubungan dengan mereka.

Selama perjalanan empat belas tahun itu – masa belajarku menjadi ibu yang belum akan selesai-  ada banyak kesalahan yang tercecer di belakang. Rasanya tak ingin kuingat lagi, tak ingin jejak itu ada di sana tapi tentu saja tak mungkin, kesalahan yang akan tetap ada di sana dan kini menjadi pelajaran berharga. Mungkin keluhan dan omelanku ketika mendapati tak cukup waktu lagi untuk diri sendiri semenjak kehadirannya. Mungkin kekurangsabaranku ketika mengajarinya menuliskan huruf “A” untuk pertama kali. Mungkin amarahku ketika mendapatinya berbohong, atau mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Mungkin kata-kata kasar yang sempat terlontar ketika aku tak bisa menguasai diriku. Mengingat hal-hal itu sering membuatku sedih, apa boleh buat, akupun menjalani proses belajar yang tak pernah berhenti. Maafkan mama ya Nak..

Sekarang ini aku ada di dalam sebuah periode ‘nano-nano’. Si sulung empat belas tahun, remaja ABG yang menuntut kami ortunya mengubah total pola pengasuhan dan pola komunikasi yang selama ini diterapkan. Seperti remaja-remaja lainnya yang minta diakui eksistensi dan pendapatnya, tak bisa lagi kini memaksakan kehendak terhadapnya. Semua harus beralasan dan logis. Kalau tidak, dia akan terus menuntut penjelasan disertai serentetan pertanyaan ‘why’ yang tak akan berhenti sampai penjelasan kita memuaskannya. Dan jangan dibilang punya anak ABG itu mudah, menjaga anak bayi yang masih suka ngompol dimana-mana jauh lebih mudah daripada mengatasi remaja ABG begini. Mereka menuntut kita sempurna sebagai orang tua, memberikan contoh perilaku terbaik, penjelasan yang memuaskan, perintah dan larangan yang masuk akal. Benar-benar jungkir balik memposisikan diri sebagai orang tua yang harus dipatuhi dan sebagai kawan akrab atau sahabat hangat yang selalu siap mendengar.

Si nomor dua lain lagi, usia tanggung 10 menjelang 11 tahun. Dikatakan remaja belum bisa – tapi sering merasa sok sudah gedhe –  dikatakan anak-anakpun tak mau. Usia coba-coba, dan memang si nomor dualah yang paling sering ‘mengerjai’ kita orang tuanya. Seperti yang pernah kubaca anak nomor dua memang berbeda dan selalu unik. Sepertinya memang dia sengaja mencoba kalau aku berperilaku begini, bagaimana kira-kira papa dan mama ya, kalau aku begitu, apa yang terjadi ya.

Akhirnya terjadilah hal-hal yang bahkan kubayangkan saja tak pernah bakal terjadi dalam hidupku. Dan disitulah ternyata banyak jejak kesalahan kutinggalkan ketika mengatasi polah si nomor dua ini. Hal lain, khusus bagiku, si nomor dua adalah cermin yang tanpa tedeng aling-aling mengatakan apa saja kekuranganku, dimana kesalahanku, dia pengkritik nomor satu. Meskipun sering sakit hati dan ‘tobat-tobat’ menghadapi kelakuannya tapi harus kuakui dialah cermin yang paling jujur untukku.

Ahh.. yang nomor tiga, si ‘Miss Busy’ yang masih sibuk bermain peran, dan tentu saja tak mau bermain sendirian. Maka diperintahkannya aku atau ayahnya sebagai muridnya, dan dia adalah gurunya. Aku jadi pembeli dan dia si empunya toko. Aku adalah anak, dan dia menjadi mama. Dilarang keras menolak, kalau tidak dia akan merajuk, khas anak perempuan, duduk berlinang airmata di pojokan atau menelungkup di tempat tidur sembari terisak-isak. Si tukang paksa ini menyadari betul posisinya yang sangat strategis sebagai anak perempuan satu-satunya dan bungsu pula. Berkomunikasi kepadanya harus disertai pelukan, dan belaian. Kalau terpaksa harus marah, dan sudah ada tanda-tanda mata berkaca-kaca, maka pelukan dan bisikan lembut sangat ampuh untuk menjelaskan bahwa apa yang dia lakukan itu tidak benar. ‘Ketegasan’ yang kita terapkan kepadanya harus berbeda penyampaiannya dengan ketegasan untuk kedua kakaknya. Maka hari-hari ini aku adalah ibu tiga warna, dengan tiga tombol berbeda yang harus selalu siap ditekan bila menghadapi mereka.

Dari sisi diriku, ingin sekali kukatakan bahwa cemasku, kekhawatiranku kadangkala juga marahku, adalah kasih sayang yang mengejawantah dalam bentuk yang berbeda. Seandainya saja mereka mengerti bahwa ada bertumpuk kecemasan dan rasa takut kehilangan. Seandainya mudah untuk dijelaskan bahwa inginnya mereka tak tumbuh besar saja agar mudah untuk mendekapnya kalau-kalau ada pengaruh buruk datang.

Yang sering tak kita sadari adalah berapapun usia kita, kita tetaplah anak-anak di mata orang tua. Kalau tak percaya sekali-kali bertanyalah kepada bapak ibu kita, mereka masih sering mencemaskan kita bila harus sendirian menyetir malam-malam, masih sering cemas apabila rumah kita dekat rel kereta api, sehingga beliau sering memikirkan keselamatan kita bila menyeberang. Bahkan hingga umur kita setua inipun, dan kita sudah menjadi ibu pula dari anak-anak kita.

Alhamdulillah, sungguh berwarna hidupku. Bagaimana denganmu teman? Selamat menikmati peran sebagai ibu, karena setiap detik tak akan berulang!

Oleh: Anies Sa’dijaturrohmah, Adelaide South Australia