Kita semua mafhum, bahwa siapa yang mau menjadi terkenal, maka ia haruslah menjadi ‘paling’. Baik itu ‘paling’ dalam konotasi positif maupun negatif.
Masih ingat dengan teman-teman kita semasa belia? Atau sobat kita kala SD, SMP atau SMA? Saya pastikan, yang masih kita ingat adalah siapa yang berhasil menjadi ‘paling’, minimal dalam kehidupan kita. Baik itu paling tampan, paling cantik, paling kaya, paling pintar, paling cengeng, paling gemuk, paling kurus atau paling jelek dan seterusnya.
Maka, ketika kita berada di fase pertengahan, dipastikan bahwa kita menjadi orang yang tidak dicatat sejarah. Jadi, poin pertama kita adalah jadilah ‘paling’ agar sejarah mencatat kita dalam tinta peradaban.
Lantas, ‘paling’ saja tidaklah cukup. Karena di depan, kita sudah bahas, bahwa ‘paling’ bisa bermakna baik maupun sebaliknya. Disinilah pelajaran kedua, jadilah ‘paling’ baik agar Allah mencatat kita dalam barisan orang-orang baik (al Abror) yang kelak mendapat surga. Semoga.
Pertanyaannya, bagaimana agar kita bisa menjadi ‘paling’?
Sederhana sebenarnya. ‘Paling’ bisa kita peroleh lantaran biasa. Bisa karena biasa. Sebut saja teman kita, Fulan misalnya. Ia dicatat sejarah sebagai siswa paling pintar lantaran biasa belajar dengan kualitas yang baik. Contoh lain, Gembol. Ia terkenal sebagai sahabat kita yang paling gemuk karena ia biasa makan banyak, tidur panjang dan kehidupan nyaman lainnya.
Kebiasaan inilah yang akan mencetak kita menjadi pribadi ‘Paling’. Oleh karenanya, rumus untuk menjadi ‘paling’ ini seperti yang disampaikan oleh Sang Nabi, “Amal yang paling dicintai Allah adalah amal yang sering dilakukan, meskipun sedikit jumlahnya.”
Islam yang mulia menyebutnya dengan Dawam. Berkelanjutan, kontinyu, konsisten. Maka, dalam paradigma Islam, 1×6 itu lebih baik daripada 6×1. Jika dalam matematika kedua perkalian itu menghasilkan jumlah yang sama, maka tidak demikian dalam Islam.
Dalam Islam, 6×1 hasilnya bisa berupa kebosanan. Karena kita belum terbiasa, karena kita diporsis untuk melaksanakan sesuatu yang lebih. Sedangkan 1×6 akan menghasilkan sebuah ritme kehidupan yang integral. Terus menerus, dan akhirnya menjadi kebiasaan.
Disinilah tafsir dari ungkapan, Pengalaman adalah Guru Terbaik. Jam terbang, memang sangat berpegaruh dalam kehidupan kita.
Berikutnya, mari kita bawa logika ‘paling’ ini dalam kehidupan beragama. Jika kita semua ingin menjadi ‘paling’ dalam hal duniawi an sich, maka sejatinya kita lebih layak untuk menjadi ‘paling’ dalam hal akhirat. Tentunya, ‘paling’ dalam makna positif.
So, What Should We Do?
Amal unggulan. Itu jawabnya. Saya sering mengatakan, “Menyejarah atau Kalah.” Amal unggulan inilah yang kelak akan menjadi pembela kita di akhirat.
Silahkan lihat ke dalam diri kita. Tatap baik-baik setiap detail tubuh kita, dalami hatinya, temukan potensinya. Lalu, lakukan apa yang terbaik menurut yang Allah inginkan.
Sehingga kita bisa memilih, akan menjadi hamba yang paling tajam penanya, hamba yang paling dawam puasanya, hamba yang paling lama qiyamnya, hamba yang paling istiqomah sedekahnya, hamba yang paling giat tilawahnya, hamba yang paling semangat dzikirnya, dan seterusnya.
Yang terpenting, apapun amal unggulan kita, bingkainya tetap dua hal : Ikhlas dan Nyunnah. Selain keduanya? Bahaya! Bisa tertolak.
Maka, ketika amal unggulan kita adalah Puasa, misalnya. Cukuplah kita mendawamkan diri dengan puasa daud, ayyamul bidh atau senin kamis dan puasa sunnah yang lainnya. Tidaklah perlu kita puasa mutih, empat puluh hari empat puluh malam hanya dengan memakan nasi, misalnya.
Atau, jika memilih tilawah, maka cukuplah kita khatam sebulan dua atau satu kali. Tidak perlu lelah-lelah mengkhatamkan tiga puluh juz dalam semalam atau kurang dari tiga hari.
Dan, seterusnya.
Akhirnya, mari menjadi hamba yang ‘paling’ baik dalam Penilaian Allah. Karena bisa jadi, seseorang yang tidak pernah diliput sorot lampu panggug lebih bernilai ‘paling’ dalam penilaian Allah daripada mereka yang sering nongol di media, apapun jenisnya.
Semoga Allah membimbing kita untuk menjadi generasi ‘paling’ sesuai dengan caraNya…
Selamat mem’paling’kan diri.