Jasmin, demikian ia dipanggil sehari-hari, adalah seorang Ibu Rumah Tangga sekaligus wanita karir di salah satu perusahaan di negeri ini. Beliau merasa sudah terlambat untuk pergi ke kantor, padahal 30 menit kemudian ia telah merencanakan rapat rutin pimpinan di perusahaan tersebut. Saat itu, Jasminsedang meminta dengan sedikit memaksa pada Johan, anak semata wayangnya yang masih berumur 3 tahun, untuk mengganti pakaiannya, agar dapat segera ke rumah orangtua Jasmin yang tinggalnya tidak jauh dari rumahnya. Jasmin berniat untuk “menitipkan” anaknya.
Setelah cepat-cepat makan pagi dan ribut sedikit mengenai pakaian mana yang akan dipakai dan dibawa, Johan pun jadi tegang. Ia tidak peduli ibunya harus menghadiri rapat dalam waktu 30 menit lagi.
Kata si kecil Johan, “Bunda, Johan ingin tinggal di rumah saja dan bermain bersama Bunda. Bunda nggak boleh pergi!”
Ketika Jasmin mengatakan bahwa hal itu tidak mungkin karena ia harus pergi ke kantor dan ikut rapat sekarang, maka muncullah ketegangan di antara mereka berdua. Ketegangan mereka nampak memuncak, dan seperti yang pembaca terka, Johan pun menjatuhkan dirinya ke lantai, menangis sekeras-kerasnya karena sedih dan marah kepada ibunya.
***
Sahabat Golden Family yang berbahagia,
Kisah diatas menunjukkan adanya dinamika emosi yang senantiasa berkembangan dalam diri anak. Dalam kondisi seperti ini, semua orangtua akan menghadapi masalah yang sama, yakni bagaimana menghadapai anak ketika emosinya semakin “memanas”.
Kebanyakan dari orangtua akan memperlakukan anaknya dengan sebaik-baiknya namun kadang kebaikan itu dibumbui dengan tawaran “sogokan” pada anak agar anak mau mengikuti kemauan orangtuanya, seperti memberi janji membeli mainan yang bagus asal anak tidak menangis lagi. Padahal, bukan mainan yang bagus tersebut yang dituntut dan dibutuhkan oleh anak, apalagi disertai “sogokan” yang bisa memberi dampak jelek pada anak. Anak hanya membutuhkan ajaran bagaimana mengenali dan mengelola emosiya yang kini sedang tidak baik. Oleh karenanya para orangtua membutuhkan lebih banyak dari hanya sekedar kecerdasan intelektual (IQ) untuk menangani berbagai problematika anak.
Untuk menjadi orangtua yang baik, seseorang harusn dapat menyentuh dimensi kepribadian yang sering kali terabaikan. Bahkan tidak jarang orangtua telah mengambil keputusan-keputusan penting yang kurang matang karena diambilya disaat marah. Menjadi orangtua yang baik seharusnya melibatkan emosi dan spiritualitas dalam menyikapi berbagai dinamika kehidupan keluarganya.
Kehidupan keluarga sesungguhnya merupakan sekolah kita. Dan pelajaran pertama yang harus kita pelajari di dalam sekolah ini adalah pelajaran emosi, demikian yang di katakan oleh Daniel Goleman, seorang psikologi dan penulis buku laris: Emotional Intelligence.
Beliau mengatakan bahwa dalam wadah besar keluarga yang sakral, kita belajar bagaimana merasakan tentang diri kita sendiri dan bagaimana orang lain bereaksi terhadap perasaan kita. Demikian juga, bagaimana memikirkan perasaan ini dan pilihan apa yang kita miliki untuk bereaksi, bagaimana membaca dan mengungkapkan harapan serta perasaan takut agar tidak berdampak kurang baik.
Menjadi pelatih emosi dalam keluarga dapat kita praktikkan dengan cara melakukan dan mengatakan secara langung pada anak saat ia sedang mengalami emosi (baik positif maupun negatif), atau dapat juga dengan memberi contoh-contoh bagaimana orangtua menangani perasaannya disaat berkomunikasi dengan istrinya/suaminya. Memang ada, orangtua yang bisa menjadi pelatih emosi yang berbakat, ada juga yang kurang berbakat meskipun tetap bisa diasah bila memiliki kemauan yang kuat.
Sahabat, bagaimana kalau sekarang saya ajak Anda untuk menyelesaikan masalah yang dialami oleh Jasmin di atas? Dengan demikian kita bisa langung praktik bagaimana cara menjadi “pelatih” emosi yang baik, tanpa harus ikut workshop dan seminar keluarga yang sering saya lakukan.
Langkah pertama adalah kita harus menyadari adanya emosi anak:
Jasmin : Ayo, pakai pakaianmu, Nak. Sudah waktunya pergi.
Johan : Nggak! Aku nggak mau pergi ke tempat ke tempat nenek.
Jasmin : Kamu tidak mau pergi? Mengapa tidak mau, Nak?
Johan : Karena aku ingin di rumah saja bersama Bunda.
Jasmin : Oh, begitu.
Johan : Ya, aku sangat ingin di rumah saja.
Langkah kedua adalah mengakui emosi anak sebagai proses pembelajaran anak:
Jasmin : Wah , Bunda rasa Bunda tahu perasaanmu. Suatu hari Bunda juga ingin bisa duduk santai di kursi dan melihat-lihat buku bersamamu , bukannya buru-buru pergi. Johan sudah tahu kan? Bunda sudah ada janji penting dengan orang-orang di kantor. Bunda harus ada di sana 30 menit lagi dan Bunda tidak bisa melanggar janji itu.
Johan (mulai menangis): Tapi, mengapa tidak bisa ? Bunda jahat. Aku tak mau pergi.
Langkah ketiga adalah mendengarkan dengan penuh empati dan meneguhkan perasaan anak saat itu:
Jasmin : Kemarilah sayang (panggilan kesayangannya). (Sambil memangkunya). Maafkan Bunda , ya sayang , tapi kita tak mungkin tinggal di rumah. Bunda tahu ini membuatmu tidak enak, bukan ?
Johan : Ya.. (sambil mengangguk).
Jasmin : Dan sedikit sedih ya, Nak?
Johan : Ya…
Langkah keempat adalah menemukan label emosi yang sedang dialami oleh anak:
Jasmin : Bunda juga sedih. (Ia membiarkan Johan menangis sebentar dan terus memeluknya sambil mengusap air matanya). Bunda tahu apa yang dapat kita lakukan. Nanti kita pikirkan besok pagi karena besok Bunda tidak pergi ke kantor. Kita bisa seharian bersama. Apa yang ingin kamu lakukan besok, sayang?
Johan : Makan kue dan nonton film kartun?
Jasmin : Tentu, bagus sekali. Lainnya lagi?
Johan : Bisa tidak aku membawa keretaku ke taman?
Jasmin : Bunda rasa bisa.
Johan : Bisa tidak Eko ikut juga ?
Langkah kelima adalah menentukan batas-batas emosi dan membantu memecahkan masalah anak:
Jasmin : Barangkali. Kita harus Tanya Bundanya dulu. Tapi sekarang Bunda harus pergi. Ya?
Johan : Iya, Bunda…
Alangkah bahagianya keluarga kita, anak-anak kita, bila para orang tua terampil menjadi “pelatih” emosi anaknya. Yuk…, menjadi pelatih emosi keluarga kita!