Tatkala Allah SWT memberikan perintah kepada hamba-hamba-Nya yang ikhlas, Ia tak hanya menyuruh mereka untuk taat melaksanakannya melainkan juga harus mengambilnya dengan quwwah yang bermakna jiddiyah, kesungguhan-sungguhan, totalitas, mengerahkan segala daya dan upaya yang dimilikinya, baik ruhiyah, jasadiyah, maknawiyah.
Sebaik-baik bacaan adalah Al Qur’an. Sebaik-baik buku adalah sejarah. Dan sebaik-baik sejarah adalah sirah. Belajar sirah berarti menyebarluaskan Al Qur’an, karena dua pertiga bagian dari Al Qur’an berisi tentang kisah-kisah.
Sejarah telah diwarnai, dipenuhi dan diperkaya oleh orang-orang yang sungguh-sungguh. Bukan oleh orang-orang yang santai, berleha-leha dan berangan-angan. Dunia diisi dan dimenangkan oleh orang-orang yang merealisir cita-cita, harapan dan angan-angan mereka dengan jiddiyah (kesungguh-sungguhan) dan kekuatan tekad. Merekalah sumber inspirasi, sumber motivasi dan sumber ilmu untuk belajar.
Khadijah bintu Khuwailid ra, istri Rasulullah saw sekaligus wanita pertama yang membenarkan pengangkatan Muhammad saw sebagai nabi dan beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Semenjak masa nubuwah, dia pulalah orang pertama yang shalat bersama Rasulullah saw dan ‘Ali bin Abi Thalib ra. Dukungan dan pertolongan Khadijah ra kepada Rasulullah saw dalam menghadapi kaumnya terus mengalir. Bahkan, setiap kali Rasulullah mendengar sesuatu yang tidak beliau sukai dari kaumnya, beliau menjumpai Khadijah ra. Lalu Khadijah pun menguatkan hati beliau, meringankan beban yang beliau rasakan dari manusia. Sejarah Khadijah adalah kegemilangan seorang muslimah mandiri, cerdas, istri terbaik, ibu terbaik, dan ketika dakwah turun, ia menjadi kontributor dakwah nomor satu.
Aisyah binti Abu Bakar ra, adalah cendekiawan nomor satu yang menjadi rujukan para sahabat setelah Rasul meninggal. Ia mereguk ilmu dari kehidupan dua manusia terbaik, Rasulullah Muhammad dan Abu Bakar. Wanita yang satu ini memang luar biasa. Bahkan, ia tak hanya cantik lahirnya, sopan tutur katanya, dan lembut perilakunya, tetapi juga dikenal sebagai wanita yang smart (cerdas) dan pandai sehingga menjadikannya termasuk al-mukatsirin (orang yang terbanyak meriwayatkan hadis). Beliau telah meriwayatkan sebanyak 2210 hadits, 297 di antaranya tersebut dalam kitab shahihain dan yang mencapai derajat muttafaq `alaih 174 hadis.
Fatimah ra, istri Ali ra, putri kesayangan Rasulullah, mengisi seluruh lembaran hidupnya dengan bekerja keras. Dalam satu waktu, Fatimah sanggup mengolah tepung dengan tangannya, sambil kakinya membuai Husain, mulutnya membaca Alquran, dan matanya menangis karena takut kepada Allah SWT. Seandainya hidupnya lebih panjang, dan ada peluang untuk melakukan lebih banyak pekerjaan, niscaya akan dihadapinya dengan tegar dan ceria.
Zainab Binti Jahsyi, perajin kulit yang lebih menyukai uang hasil bekerjanya untuk sedeqah. Asma’ binti Abu Bakar, mengurus kebun dan kuda milik suaminya. Nusaibah binti Ka’ab, ahli pedang yang melindungi Rasul mati-matian di perang Uhud. Asma’ binti Jazid, jubir kaum muslimah yang menanyakan langsung “persepsi deskriminasi jihad” kepada Rasul.
Seharusnyalah kisah-kisah tersebut menjadi ibrah bagi kita dan semakin meneguhkan hati kita. Orang-orang yang beristiqomah di jalan Allah akan mendapatkan buah yang pasti berupa keteguhan hati. Bila kita tidak kunjung dapat menarik ibrah dan tidak semakin bertambah teguh, besar kemungkinannya ada yang salah dalam diri kita. Seringkali kurangnya jiddiyah (kesungguh-sungguhan) dalam diri kita membuat kita mudah berkata hal-hal yang membatalkan keteladanan mereka atas diri kita. Misalnya: “Ah itu kan Nabi, kita bukan Nabi. Ah itu kan istri Nabi, kita kan bukan istri Nabi”. Padahal memang tanpa jiddiyah sulit bagi kita untuk menarik ibrah dari keteladanan para Nabi, Rasul dan pengikut-pengikutnya.
Contohlah generasi terbaik di masa lalu, engkau tidak akan kecewa. Hadirkan kepemimpinan, kecerdasan, dan kepribadian sholeh mereka pada diri kita kini dan disini, maka masyarakat akan menyaksikan Islam berjaya kembali. Begitulah kalimat yg pernah diucapkan ‘seorang’ Helen (orang spanyol pada masa Perang salib, yang terkagum-kagum pada kepemimpinan dan kepribadian sang panglima. Ia bersama sekitar 10 ribu orang kemudian memeluk Islam. Pasalnya, seluruh tawanan yang ditaklukan Shalahudin al-ayyubi dan pasukannya memperlakukan mereka dengan ‘sangat beradab’ tidak seperti yang digambarkan oleh opini ketika itu bahwa masyarakat Islam adalah bangsa Barbar yang kasar dan tidak beradab. Helen mencari-cari suami dan anaknya yang terpisah, kemudian Sang Panglima yang mempertemukan mereka padahal ketika itu suami Helen sebagai tawanan) di spanyol pada saat menyaksikan kemenangan Shalahudin al-ayyubi ” aku melihat Islam pada diri sang panglima”.
Dari kisah-kisah di atas, tampak bahwa wanita dengan segala kelebihannya mampu berperan penting dalam perjalanan dakwah di masa Rasulullah Saw. Bagaimana para shahabiyah hidup bersama Rasulullah, sehingga mereka termasuk orang-orang yang istimewa. Apapun itu, yang pasti, motivasi mereka adalah memberikan yang terbaik di hadapan Allah dan Rasul-Nya.
Lalu, mengapakah kita tidak mencontoh mereka? Lihatlah Sumayyah, darinya, kita belajar aqidah. Dari Maryam kita belajar bagaimana memelihara kehormatan diri. Saat ini Islam membutuhkan wanita-wanita yang memiliki semangat seperti Khadijah, ‘Aisyah, Fathimah, dan para shahabiyah lain untuk memperbaiki umat dan bangsa yang tengah meradang. Dan tentunya kita juga masih ingat sosok seorang almarhumah ibunda Yoyoh Yusroh, semasa hidupnya, beliau selalu mengejar amalan, sehingga tak heran ketika Allah memberikan anugerah kepada beliau berupa nikmatnya kematian.
Cerdaskan diri, ukir sejarah kehidupan yang baik. Semakin cerdas seorang ibu, semakin banyak yang diwariskan kepada anak. Kalimat-kalimat yang keluar dari mulut seorang ibu, akan menggerakkan anak, apalagi jika kalimat itu adalah kalimat yang penuh visi. Jadilah wanita pengukir sejarah di hadapan Allah.
Manusia adalah anak lingkungannya. Ia juga makhluk kebiasaan yang sangat terpengaruh oleh lingkungannya dan perubahan besar baru akan terjadi jika mereka mau berusaha.
“Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib suatu kaum, sampai mereka berusaha merubahnya sendiri”. (QS Ar Ra’du : 11)
Wallahu a’lam bishshawab