Mahasiswa baru ibarat secarik kertas putih yang bersih. Sudah sepatutnya kertas putih itu diisi oleh warna dan tulisan yang baik, sehingga mereka menjadi indah dan kian bermakna. Mereka juga seumpama air jernih yang senantiasa mengalir penuh semangat, yang mana jangan sampai ada kotoran yang menghalanginya untuk terus bergerak, sehingga membuatnya mati terdiam dan keruh tercemar.
Namun mahasiswa baru tetaplah manusia, yang memiliki akal dan tindakan. Mereka bukan benda mati yang dapat diombang-ambing begitu saja. Mereka dapat memilih tinta apa yang akan mereka torehkan dan hendak ke mana mereka akan bermuara, tanpa harus ada intervensi dari pihak manapun.
Mahasiswa berbeda dengan siswa. Mahasiswa adalah gabungan dua kata maha dan siswa, yang berarti perpaduan semangat kemandirian dan pembelajaran yang menyatu dalam sebuah sosok yang kuat, berani, dan cerdas. Maka sudah seharusnya mereka dapat lebih bijak dalam mencerna kata, suara, dan fakta, sehingga mereka bisa lebih dewasa dalam mencari makna kebenaran itu sendiri.
Hal ini disebabkan kampus merupakan pertemuan dari segala heterogenitas yang ada, baik dari asal daerah, karakter manusia, hingga pola pemikiran dan aliran berkumpul di sana. Sehingga tidak menutup kemungkinan unsur-unsur perbedaan tersebut akan bersatu dan menjadi senyawa-senyawa baru. Maka hanya ada dua kemungkinan bagi mahasiswa baru, dirinya akan merubah atau berubah, mewarnai atau diwarnai, terbentuk militansi atau tergerus hingga mati.
Cukuplah masa lalu menjadi catatan penting bagi generasi baru untuk memilih, hendak seperti apakah mereka nanti. Apakah ikut terjerembab ke dalam kubangan keburukan generasi lama, atau berani menapaki jejak baru guna menuju kesuksesan hakiki. Untuk itu, sudah seyogyanya mahasiswa baru memperkuat pijakannya, memperkokoh pendiriannya, agar nilai-nilai kebaikan dan kebenaran yang mungkin selama ini mereka bangun tidak lantas kandas tertimbun pemikiran pragmatis, apatis, hedonis, liebralis, dan sekularis yang kesemuanya mungkin akan mereka temukan di kampus baru mereka.
Serupa sebuah pohon, terpaan pasti akan mereka temukan. Namun sekuat apapun terpaan tidak akan berarti apa-apa apabila mereka memiliki akar dan pendirian yang kuat. Sebaliknya, mereka akan terbina untuk menjadi lebih kuat dan hebat. Karena sudah seperti itulah mereka seharusnya. Bukan malah sebaliknya, lemah oleh kenyataan palsu dan terpedaya oleh kenyamanan yang semu, yang akhirnya akan membuat mereka rapuh dan tumbang, jauh dari kebenaran.
Sudah saatnya kini mereka, para mahasiswa baru, menggunakan mata hatinya dan akal sehatnya untuk memilih yang mana benar atau salah, dan mana baik atau buruk. Sehingga dengan begitu, mereka dapat selektif dalam menerima berita, kritis tapi tetap bijak dalam bersikap, dan tidak serta merta menelan mentah-mentah informasi yang mereka baru dapatkan dari pihak manapun.
Mereka harus tahu bahwa mereka tidak perlu lagi menjadi lahan pewarisan masalah-masalah yang sebetulnya tidak perlu mereka tahu. Karena memang tidak ada manfaatnya. Sudah waktunya mereka paham, bahwa kebencian-kebencian masa lalu tidak harus menjadi beban untuk mereka pikul. Karena hanya akan membuatnya membuang tenaga percuma. Sudah masanya mereka sadar, bahwa keburukan-keburukan masa lalu ada untuk mereka hancurkan, untuk mereka ubah dengan kebaikan-kebaikan yang lahir dari tangan-tangan mereka, dari pemikiran-pemikiran cerdas mereka, dari semangat perubahan mereka. Karena seperti itulah memang keberadaan mahasiswa, yaitu sebagai agen perubahan, cadangan pemimpin masa depan, dan guru peradaban. Dan semua itu hanya mampu dilakukan oleh mereka, para mahasiswa baru, yang masih memiliki kebersihan hati dan kebeningan akal, layaknya kertas putih dan air yang jernih. Tanpa kontaminasi. Tanpa intervensi.
Oleh: Deddy Sussantho, Depok.
Facebook.