Menjauhlah Kau Penghianat!

Insan adalah seorang pemuda yang hidup dalam kesendirian. Ia terlahir sebatang kara, tidak megetahui siapa bapak, ibu dan keluarganya. Atas izin Allah, ia dapat bertahan hidup hingga saat ini.  Insan mempunyai tiga kawan. Mereka adalah Aman, Banin dan Tsani. Aman adalah  kawan yang menyenangkan, sehingga ia sering bersama Insan hampir di setiap kegiatan. Insan selalu mengajak  Aman ke tempat-tempat yang ia sukai. Insan dan Aman tinggal satu kos, sehingga dari bangun tidur hingga tidur lagi mereka selalu bertatap muka. Hubungan mereka  sudah bagaikan saudara. Berbeda dengan Banin, ia adalah orang yang sedikit pendiam, ia hanya akan berbicara jika ada yang mengajaknya bicara. Sehingga  dalam benak Insan, Banin adalah  kawan yang biasa saja. Sedangkan yang terakhir adalah Tsani, dalam pandangan insan adalah orang yang sangat menyebalkan, sehingga Insan tidak memperhatikan  Tsani sedikitpun.

Suatu saat Insan terlibat sebuah kasus yang mengharuskan Insan berurusan dengan pengadilan.  Ia sangat ketakutan, ia pun sibuk mecari bantuan kemana-mana. Orang yang pertama kali  Insan mintai bantuan adalah Aman, tentu saja dia.  Setelah Insan menjelaskan permasalahannya kepada sahabat dekatnya itu, ia sangat yakin Aman mau membantunya. Ternyata tidak semua yang dia yakini itu benar. Insan sangat terkaget mendengar jawaban Aman. Aman mengatakan kepada Insan, “Maaf saya tidak bisa membantumu, dan meninggalkan Insan tanpa simpati sedikitpun”. Insan sangat menyesal, ia kecewa, ia menganggap Aman sebagai penghianat. Saat senang saja ia mau dekat, tapi di kala susah, dengan tega meninggalkannya.

Dengan masih diliputi ketidakpercayaan terhadap Aman, Insan mencoba meminta pertolongan kepada temannya, Banin. Dengan sedikit malu bercampur harap ia mengutarakan apa yang sudah menimpa dirinya. Banin mengetahui betul apa yang dirasakan Insan, tapi karena keterbatasaannya, Banin  hanya bisa membantu hanya sebatas mengantar sampai pengadilan, setelah itu Banin akan pulang. Walau sedikit kecewa Iman sudah sangat bersyukur, karena memang saat ini ia sudah tidak ada lagi uang, sehingga untuk mencapai pengadilan itu saja, Insan sudah cukup kerepotan. Banin yang pendiam itu menyarankan Insan agar meminta bantuan kepada teman terakhirnya Tsani, seorang teman yang jarang ia sapa terlebih ia kunjungi.

Dengan dipenuhi keraguan dan kekhawatiran, Insan memberanikan diri untuk menemui Tsani yang rumahnya tak jauh dari Rumah Banin. Sesampainya dirumah Tsani, ia melihat Tsani dalam keadan murung dan terlihat sedang ada masalah. Walau demikian ia tetap memberanikan diri untuk mengutarakan apa yang menimpa dirinya. Tak disangka sebelum Insan memberitahukan perihal yang sedang ia alami, Tsani memeluk Insan dengan sangat erat, matanya berkaca-kaca dan dari bibirnya yang bergetar, banin mengucapkan perkataan yang membuat Insan lunglai lemah.

“Saudaraku”, Kata Tsani, “aku sudah tahu apa yang menimpa dirimu, aku sangat ingin membantumu dan kau tentu tahu aku sangat bisa membantumu karena ayahku adalah seorang pengacara yang selalu memenangkan perkara. Tapi satu hal yang membuatku sedih dan mungkin akan membuatmu bertambah duka. Aku sudah menyampaikan perihal yang menimpamu kepada ayahku, tapi ia mengatakan seandainya dulu Insan dekat dan berbuat baik kepadamu, Tsani, maka dengan senang hati aku akan membantu menyelesaikan kasusnya. Tapi Karena Insan adalah orang yang dulu menjauhimu, bahkan mengejekmu. Aku hanya bisa membantunya sebagaimana apa yang ia lakukan kepadamu”. Penyesalan tinggalah penyesalan. Insan sangat menyesali apa yang telah ia lakukan dulu, mengapa ia tidak berbuat baik kepada Tsani, terlebih teman yang selalu membersamainya, Aman telah menghianatinya. Insanpun akhirnya kalah dalam kasus tersebut dan ia harus  menebus kesalahannya dengan dikurung dalam penjara.

***

Bisa jadi Insan adalah potret sebagian besar dari kita. Di pengadilan dunia mungkin kita masih bisa selamat, tapi siapakah yang dapat menyelamatkan dari pengadilan akhirat yang siapapun tidak bisa menyuap hakimnya.  Aman adalah simbol harta dan kesenangan dunia lainnya. Di dunia ini hal yang sangat kita sukai adalah harta dunia atau kesenangan dunia, mulai dari bangun tidur hingga tidur lagi kita selalu membayangkan dunia. Namun perlu diingat, saat berada di pengadilan akhirat, apakah harta dan kesenangan dunia bisa membantu kita?  Nyatanya sungguh tidak mungkin. Kecuali harta yang di gunakan di jalan Alloh.  Banin adalah permisalan keluarga kita. Keluarga yang kadang-kadang kita abaikan dan tidak kita perhatikan. Walaupun begitu keluarga akan tetap mengantar kita hingga di pintu gerbang pengadilan sejati,  pemakaman.  Setelah sampai di pintu gerbang atau kubur maka keluarga pun akan pergi meninggalkan kita dalam kesendirian. Tsani, seorang teman yang tidak kita sukai itulah perumpamaan  amal baik, amal saleh kita. Salat Jama’ah yang jarang, salat tahajud yang dilakukan dengan malas, atau sadaqah karena ingin di lihat. Mereka itu, amalan yang jarang kita temui dan kita sapa.

Mulai  sekarang perbanyaklah bergaul dengan amalan kita agar ketika hari pengadilan itu tiba, amalan salih  kita dapat membantu dan menemani dengan setia. Sungguh lakukan kebaikan sekarang juga, berat memang, susah pasti, tapi itu hanya di awal saja, ketika kita sudah rutin, maka ibadah itu akan terasa nikmat. Jangan sampai amalan kita datang dengan mengatakan, saya hanya akan membantumu dengan 1 kali witirmu, dengan sodaqohmu yang hanya 500 per pekan, atau saya akan membantumu dengan sepotong pakaian rombeng yang telah engkau berikan untuk fakir miskin.  “Hanya itu yang dapat saya bantu!” kata amalan kita, na’udzubillahi min dzalik. Jika sudah sedemikian maka siapapun pasti akan kecewa. Sesungguhnya seluruh manusia akan meyesal ketika berada di akhirat kelak, orang yang tidak pernah sedekah akan menyesal kenapa ia tidak bersedekah ketika hidup di dunia. Orang yang bersedekah pun akan menyesal mengapa yang ia sedekahkan hanya sedikit.  Maka jangan sampai kita menjadi manusia paling menyesal di akhirat kelak. Mari perbanyak amal untuk menggapai kesenangan yang hakiki, kesenangan di akhirat. Inilah realita hidup kita, berarti kita harus menjadikan dunia ini sebagai kesenangan yang tidak pantas untuk di senangi kecuali senang berbuat amal soleh saja.

“Apabila seorang manusia meninggal maka putuslah amalnya, kecuali tiga hal: Sedekah jariyah atau ilmu yang bermanfaat sesudahnya atau anak yang shalih yang mendo’akannya” ( Hadits riwayat Muslim, Abu Dawud, At-Tirmidzi, Nasa’i dan Ahmad)