Belakangan ini, kata-kata “moderat” yang kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Arab menjadi wasathiyyah menjadi kata-kata yang bertendensi mengangkat satu kelompok tertentu dan menjatuhkan sekelompok yang lain. Kata-kata ini biasanya digunakan sebagai antonim bagi fundamentalisme dan absolutisme. Bahkan, secara salah kaprah, wasathiyyah digunakan untuk mengkategorikan orang-orang yang bertindak dan berpikir secara liberal dalam beragama. Sementara kelompok yang secara konsisten menjalankan ajaran Islam dianggap sebagai tidak moderat (wasathiyyah).
Istilah wasathiyah ini biasanya digunakan dengan menggunakan dasar dalil dari Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 143. Dalam ayat itu disebutkan wa kadzâlika ja‘alnâkum ummatan washatan (Dan demikianlah kami jadikan kalian sebagai umat yang “wasath”). Ayat inilah yang seringkali dieskploitasi tidak pada tempatnya sehingga mengesankan bahwa mereka yang dicap radikal, fundamentalis, literalis, dan label-label stigmatis dan stereotyping lain yang memojokkan sebagian gerakan Islam dianggap telah melanggar ayat ini. Padahal, kalau ditelusuri secara saksama, kata-kata washatan dalam ayat tersebut memiliki arti yang sangat tidak tepat bila digunakan sebagai cap-cap di atas. Tulisan ini akan menelusuri makna dari washatan dalam ayat tersebut dan relevansinya dalam kehidupan kontemporer berdasarkan penelusuran terhadap kitab-kitab tafsir mu‘tabar.
Makna Al-Wasath
Secara bahasa, kata wasath berarti sesuatu yang ada di tengah. Dalam Mufradât Al-fâzh Al-Qur’ân Raghib Al-Isfahani (Jil. II; entri w-s-th) menyebutkan secara bahasa bahwa kata wasath ini berarti, “Sesuatu yang memiliki dua belah ujung yang ukurannya sebanding.” Kata ini juga bisa bermakna sesuatu yang terjaga, berharga, dan terpilih. Sebab, sesuatu yang ada di tengah-tengah tidak mudah untuk dijangkau secara langsung sehingga memungkinkannya untuk menjadi tempat menyimpan hal-hal yang berharga dan baik. Seperti kata “tengah kota”. Kata ini menunjukkan tempat yang paling baik dan paling berharga dari suatu kota. (Al-Tahrir wa Al-Tanwîr Jil. II hal. 17).
Sementara itu, makna wasath dalam ayat di atas terdapat beberapa penjelasan. Fakhrudin Al-Râzi menyebutkan ada beberapa makna yang satu sama lain saling berdekatan dan saling melengkapi. Pertama, wasath berarti adil. Makna ini didasarkan pada ayat-ayat yang semakna, hadis nabi, dan beberapa penjelasan dari sya’ir Arab mengenai makna ini. Berdasarkan riwayat Al-Qaffal dari Al-Tsauri dari Abu Sa’id Al-Khudry dari Nabi Saw. bahwa ummatan wasathan adalah umat yang adil. Kedua, wasath berarti pilihan. Al-Râzi memilih makna ini dibandingkan dengan makna-makna lainnya, karena beberapa alasan antara lain: kata ini secara bahasa paling dekat dengan makna wasath dan paling sesuai dengan ayat yang semakna dengannya yaitu ayat, “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan ke tangah manusia…” (QS Ali Imrân [3]: 110). Ketiga, wasath berarti yang paling baik. Keempat, wasath berarti orang-orang yang dalam beragama berada di tengah-tengah antara ifrâth (berlebih-lebihan hingga mengada-adakan yang bbaru dalam agama) dan tafrîth (mengurang-ngurangi ajaran agama). (Tafsîr Al-Rârî, Jil. II hal. 389-390).
Makna-makna di atas tidak bertentangan satu sama lain. Oleh sebab itu, Al-Sa’di menyimpulkan bahwa ummatan wasathan yang dimaksud adalah umat yang adil dan terpilih. Allah telah menjadikan umat ini pertengahan (wasath) dalam segala urusan agama (dibanding dengan agama-agama lain) seperti dalam hal kenabian, syari’at, dan lainnya. Umat islam ini adalah umat yang paling sempurna agamanya, paling baik akhlaknya, paling utama amalnya. Allah telah menganugerahi ilmu, kelembutan budi pekerti, keadilan, dan kebaikan (ihsân) yang tidak diberikan kepada umat lain. Oleh sebab itu, mereka menjadi “ummatan wasathan”, umat yang sempurna dan adil agar “mereka menjadi saksi bagi seluruh manusia.” (Taisîr Al-Karîm Al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm Al-Mannân Jil. I hal. 70).
Dari penjelasan para ahli tafsir mengenai makna wasath dalam ayat di atas dapat disimpulkan bahwa sifat wasath yang disematkan pada umat Muhammad Saw. adalah sesuatu yang melekat sejak umat ini menerima berbagai petunjuk dari Nabi-Nya. Ini merupakan karunia Allah Swt. kepada mereka. Saat mereka konsisten menjalankan ajaran-ajaran Allah Swt., maka saat itulah mereka menjadi umat terbaik dan terpilih.
Oleh sebab itu, Rasyid Ridha mengaitkan kata ummatan wasathan ini dengan ayat sebelumnya, yaitu “…yahdî man yasyâ’u ilâ shirâth al-mustaqîm (…Dialah yang akan memberi petunjuk kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya menuju jalan yang lurus). Bila dikaitkan dengan ayat sebelumnya, maka umat terbaik, terpilih, dan moderat adalah mereka yang diberi petunjuk oleh Allah Swt. ke jalan yang lurus (Tafsîr Al-Manâr Jil. II hal 4). Jalan yang lurus (sirâth al-mustaqîm) ini, sebagaimana dijelaskan dalam surat Al-Fatihah, adalah jalan tengah di antara jalan orang-orang yang dibenci (Yahudi) dan orang-orang yang sesat (Nashrani).
Aktualisasi Makna Al-Wasath
Setelah memperhatikan makna ummatan wasathan yang berarti umat yang secara konsisten perpegang pada petunjuk Allah Swt. (al-shirâth al-mustaqîm), dapat kita fahami bahwa makna dari wasath ini sifatnya sesuatu yang sudah dipatenkan dalam Al-Quran sendiri, bukan makna yang diberi sifat baru, bukan dari Al-Quran. Dalam hal ini, Al-Quran telah menetapkan bahwa ajaran-ajaran Islam yang bersumber dari Al-Quran dan Al-Sunnah adalah ajaran yang adil, terbaik, terpilih, dan moderat sehingga umat yang secara konsisten melaksanakannya, maka secara otomatis dia akan menjadi umat yang sifatnya sama dengan ajaran yang dilaksanakannya.
Ali Muhammad Shallaby dalam Al-Wasathiyyah fî Al-Qur’ân cukup ekstensif membahas aspek-aspek wasathiyyah dalam berbagai ajaran Islam. Ia menganalisis seluruh segi ajaran Islam dan di mana letak wasathiyyah-nya dibandingkan dengan ajaran yang lain. Banyak hal yang dibahasnya, mulai dari masalah akidah sampai masalah-masalah fikih sehari-hari (tasyrî’). Dengan cara seperti itu, Shallaby ingin menunjukkan bahwa ajaran-ajaran Islam yang murni dan bersumber pada Al-Quran dan Al-Sunnah adalah ajaran yang memang layak disebut wasath dengan berbagai pengertiannya.
Mengambil salah satu bahasan Shallaby dalam penelitiannya itu, kita ambil contoh mengenai masalah poligami yang sering menjadi sasaran tuduhan ketidakadilan ajaran Islam. Dalam kesan yang muncul dari mereka yang mendapuk diri sebagai Muslim yang berpandangan moderat, poligami justru dianggap sebagai sesuatu yang semestinya “diharamkan” karena dianggap tidak adil kepada wanita. Pandangan seperti ini jelas sudah bertentangan dengan ijmâ’ para ulama mujtahidîn sejak empat belas abad lalu yang bersepakat akan kehalalan poligami. Kehalalan poligami dalam Islam yang disepakati para ulama itu justru memperlihatkan bagaimana Islam telah berlaku adil, moderat, dan wasath bila dibandingkan dengan ajaran-ajaran dan kepercayaan-kepercayaan lain yang berkembang di dunia hingga saat ini.
Dalam kepercayaan dan tradisi besar dunia terdapat dua ekstrim yang sama-sama berlebihan. Ekstrim pertama membolehkan laki-laki menikahi banyak wanita tanpa batas. Wanita diletakkan hanya sebagai hamba dan pemuas bagi laki-laki. Ketentuan ini dikenal dalam tradisi China Kuno, India Kuno, Persia Kuno, Yahudi, dan kepercayaan Arab Jahiliyyah. Dalam beberapa tradisi seperti China Kuno dan India Kuno, bahkan ada kepercayaan bahwa perempuan yang ditinggal mati suaminya harus membakar diri untuk menyatakan penghambaannya kepada laki-laki yang dinikahi. Dalam hal ini jelas sekali, posisi wanita menjadi sangat terhina. Tidak ada penghormatan sama sekali atas mereka.
Sementara itu, pada titik ekstrim yang lain akan ditemukan aturan dalam agama Kristen yang telah dipengaruhi kepercayaan Pagan masyakarat Eropa yang mengharamkan sama sekali laki-laki menikahi lebih dari satu istri. Pada titik ekstrim ini, kelihatannya ada pemihakan yang adil terhadap wanita. Akan tetapi jutsru di sinilah permasalahan bermula.
Dalam ketentuan Islam poligami dibolehkan namun bukan tanpa aturan. Ia diperbolehkan hanya maksimal dengan empat wanita. Selain itu, dipersyaratkan kepada laki-laki yang berpoligami untuk berlaku adil. Bila dikhawatirkan tidak dapat berlaku adil, maka laki-laki sebaiknya cukup mengambil satu istri atau budaknya. (QS. Al-Nisâ’ [4]: 3).
Ketentuan Islam ini adalah ketentuan yang moderat dibandingkan dengan kedua ekstrim di atas. Apabila ketentuan poligami tidak dibatasi seperti yang terjadi dalam berbagai tradisi, posisi perempuan menjadi sangat termarjinalkan dan terhinakan. Dampak sosial dari sana sungguh sangat besar seperti yang diperlihatkan dalam sejarah poligami tanpa aturan yang terjadi di berbagai belahan dunia sepanjang sejarahnya. Lebih dari itu, mengambil istri dalam jumlah yang sangat banyak pasti akan membuat laki-laki tidak akan memenuhi hak-hak semua istrinya secara adil.
Sementara apabila poligami diharamkan akan banyak persoalan-persoalan mendesak yang tidak bisa diatasi kecuali dengan cara-cara poligami. Misalnya ada laki-laki yang secara fisik dan finansial mampu dan butuh terhadap poligami karena berbagai alasan. Seandainya tidak ada kelonggaran poligami, maka masalah seperti ini tidak akan terselesaikan. Sangat mungkin inilah yang menjadi salah satu penyebab maraknya praktik perzinahan terselubung. Fenomena pejabat yang punya istri simpanan, perselingkuhan, pelacuran, kawin kontrak, dan semisalnya adalah salah efek yang tidak bisa dihindarkan dari tidak diperbolehkannya laki-laki berpoligami.
Dalam Islam, apabila kebutuhan memang mendesak, maka poligami diperbolehkan dengan ketentuan-ketentuan di atas. Akan tetapi, Islam amat menyadari bahwa tidak setiap laki-laki siap dan butuh istri lebih dari satu. Oleh sebab itu, dalam kasus ini, tidak ada celaan bagi mereka untuk hanya mengambil satu istri saja. Di sinilah letak keadilan dan wasathiyyah-nya ajaran Islam dibandingkan dengan ajaran lain. (Al-Wasathiyyah fî Al-Qur’ân, hal. 512-525).
Berdasarkan penjelasan dan contoh singkat di atas, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa bertindak moderat (wasathiyah) sesuai dengan petunjuk Al-Quran adalah dengan cara secara konsisten mengikuti hidayah (petunjuk) yang diajarkan oleh Allah Swt. melalui Nabi-Nya dan ditransmisikan melalui para ulama yang saleh. Semakin kita taat dan tunduk pada ajaran Allah Swt., maka kita sebetulnya semakin moderat. Sebab, ajaran Islam itu sendiri telah membawa karakternya yang moderat sejak diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Siapa yang mengikuti ajaran-ajaran yang moderat ini secara konsisten, maka dialah yang layak disebut sebagai ummatan washathan (umat moderat). Wallâhu A’lam.
Oleh: Tiar Anwar Bachtiar
Kandidat Doktor Ilmu Sejarah Universitas Indonesia