‘Menjinakkan’ Muslim Jawa

Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830) telah menyisakan kegetiran mendalam bagi penjajah Belanda. VOC mengalami kerugian sangat besar (sekitar 20 juta gulden). Tahun 1830 bukan saja menandai era baru di tanah jajahan, namun merupakan tahun diperkenalkannya Sistem Tanam Paksa (Cultuur Stelsel) untuk pemulihan ekonomi VOC. Sistem Tanam Paksa mulai diperkenalkan pada era Gubernur Jendral van den Bosch, seorang ketua di Nederland Bijbelgenootschap. Pemberlakuan kebijakan ini menuntut pemerintah Belanda untuk berhubungan lebih intensif dengan kaum bumiputera. Oleh karena itu penguasaan pakar Jawa berkebangsaan Belanda terhadap bahasa dan kebudayaan Jawa mutlak diperlukan.

Untuk itu didirikanlah Instituut voor het Javaansche Taal (Lembaga Bahasa Jawa) pada 27 Februari 1832. Lembaga ini berfungsi mencangkokkan cara pandang baru ke dalam pemikiran orang Jawa. Pembentukan identitas baru masyarakat Jawa dimulai dengan langkah mengikis “spirit Islam”. (Lihat, Takashi Shiraishi,  Zaman Bergerak: Radikalisme Rakyat di Jawa 1912-1926, Cetakan II, diterjemah dari An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926 oleh Hilmar Farid (Pustaka Grafiti, Jakarta, 2005) hlm.7). Selain untuk mempelajari bahasa dan seluk beluk Jawa, lembaga ini diharapkan berfungsi sebagai institusi pendamping penerjemahan Bible ke dalam Bahasa Jawa. (Lihat: Parakitri T. Simbolon, Menjadi Indonesia, Cetakan III (Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007), hlm. 127).

Pemerintah kolonial berpikir realistis. Mereka bukan bertujuan menghabisi Islam, tetapi hanya menjinakkan Islam. Juga, bagaimana bisa mengadudomba antar sesame Muslim, sehingga tidak terjadi persatuan hebat antara golongan santri dan priyayi seperti di masa Perang Diponegoro. Guna menjinakkan Islam, Belanda berinisiatif menciptakan terwujudnya segregasi antara Islam dan budaya Jawa. Islam diposisikan sebagai bahaya potensial dan laten bagi stabilitas pemerintahan kolonial.

Upaya penjajah itu mendapatkan dukungan penuh dari kalangan misionaris Protestan maupun Katolik. Karel Steenbrink, seorang akademisi, menggambarkan bahwa pada masa itu Islam dianggap sebagai kekuatan yang harus direduksi. Langkah yang diambil selalu menunjukkan ciri serupa yaitu pencitraan Islam sebagai musuh menakutkan yang tidak harus diserang secara langsung, tetapi dihadapi dengan mempromosikan kebiasaan rakyat kuno, adat, dan agama rakyat. Juga melalui perawatan kesehatan dan pendidikan Barat. Van Randwijk, mantan konsul zending, mencirikan strategi ini dengan kalimat: “Strategi memangkas Islam”. (Karel Steenbrink, Kawan dalam Pertikaian: Kaum Kolonial Belanda dan Islam di Indonesia (1596-1942) (Penerbit Mizan, Jakarta, 1995) hlm. 144)

Pendiri Instituut voor het Javaansche Taal adalah Johann Friedrich Carl Gericke, utusan zending dari Netherlands Zending Genootschap (NZG). Gericke bisa dianggap sebagai peletak utama kesarjanaan Belanda dalam studi literatur Jawa. Awalnya ia tiba di Surakarta pada 1827 untuk menterjemahkan Bible ke dalam Bahasa Jawa. Dalam tahun 1829 ia menyertai seorang putra Istana yang menempuh pendidikan agama ke Pesantren Tegal Sari, Ponorogo. Di pesantren itu Gericke memanfaatkan waktunya untuk belajar tentang literatur Jawa selama 9 bulan. Gericke melaporkan perjalanan ini kepada induk semangnya di Nederlands Bijbelgenootschap di Amsterdam bahwa terdapat hampir 3000 santri yang masih mempertahankan ajaran rahasia tentang konsepsi ketuhanan Budha dan Jawa pada masa peralihan menuju Islam. (Lihat: A. Day, Islam and Literature in South – East Asia: Some Pre-modern, Mainly Javanesse Perspectives, dalam M.B. Hooker (ed.), Islam in South – East Asia (E.J. Brill, Leiden, 1988), hlm. 134).

 

Strategi misi

Pendirian lembaga Bahasa Jawa, sebagai contoh, awalnya dimaksudkan untuk menjembatani penerjemahan Bible ke dalam Bahasa Jawa. Lembaga ini merupakan institusi resmi milik pemerintah Belanda. Meski demikian nuansa misi cukup terlihat dari lembaga ini. Perlu dipahami bahwa inisiator awal dari pendirian lembaga ini berasal dari kalangan misionaris. Tulisan Baud kepada Gubernur Jendral mengungkapkan sebagai berikut : “Jika pemerintah setuju maka akan didirikan institut di Jawa untuk studi bahasa-bahasa Timur, dengan maksud memajukan usaha penerjemahan Alkitab.” (J.L. Swellengrebel, Mengikuti Jejak Leijdecker: Satu Setengah Abad Penerjemahan Alkitab dan Penelitian Bahasa dalam Bahasa-bahasa Nusantara, Jilid 1 (1820-1900) (Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2006)  hlm. 35).

Gericke pada saat di Jawa tahun 1826 telah diberi instruksi untuk berhati-hati dalam menjalankan tugas di Jawa dan “menyembunyikan” tujuan utamanya terkait peginjilan di Jawa. Isi intruksi itu dalam poin ke-9 adalah sebagai berikut: “Kepada Tuan Gericke dianjurkan dengan sangat agar dalam … percakapan-percakapannya, khususnya dengan orang Jawa, ia menyatakan bahwa ia diutus untuk belajar dan mengajar bahasa Jawa, dan menghindari diskusi-diskusi agama yang tidak bermanfaat dan ucapan-ucapan menghebohkan yang akan menyingkapkan tujuan lebih lanjut kegiatannya di sana. Kendati demikian, tujuan tersebut jangan pernah hilang dari benaknya.” (J.L. Swellengrebel, Mengikuti Jejak Leijdecker …  hlm. 36).

Kerja Gericke membuahkan hasil dengan diterbitkannya terjemahan Perjanjian Lama pada Oktober 1852 dan diterbitkan ulang dalam 3 jilid tebal berbentuk oktaf pada 1854. Ketika buku itu diterbitkan ulang, NBG menyatakan bahwa Bible berbahasa Jawa merupakan “een waardig tegengeschenk is voor al de schatten die jaar in jaar uit van dit door de natuur zo rijk gezegende eiland ons toestromen” (hadiah yang layak untuk mengimbangi harta kekayaan yang setiap tahun mengalir kepada kita dari pulau yang diberkati dengan kekayaan alam yang begitu banyak). (J.L. Swellengrebel, Mengikuti Jejak Leijdecker … hlm. 70. Laurens de Vries, Ikhtisar Sejarah Penerjemahan Alkitab di Indonesia, dalam Henry Chambert-Loir (ed.), Sadur: Sejarah Terjemahan di Indonesia dan Malaysia (PT Gramedia, Jakarta, 2009) hlm. 472 .)

Dalam satu surat untuk NBG pada Oktober 1852, Gericke bahkan menegaskan bahwa penterjemahan Bible ke dalam Bahasa Jawa itu memiliki tujuan politis yang akan menguntungkan bagi Pemerintah Kolonial. Alasannya, pemerintah telah mulai menawarkan pendidikan bagi orang Jawa dan karenanya langkah itu harus diimbangi dengan penyebaran Injil. Sebab, jika rakyat menjadi pandai sementara mereka belum menerima Kekristenan, dikhawatirkan akan menyulitkan pemerintah pada masa selanjutnya. Gericke menyatakan bahwa jika mereka diberi pendidikan “tanpa serentak mengajar mereka mengenal Tuhan dan takut akan Dia maka dimasa depan mereka tidak akan dapat lagi diatur dengan mudah dan mungkin akan terdorong untuk melemparkan beban yang selama ini mereka pikul dengan sukarela dan taat …”. (J.L. Swellengrebel, Mengikuti Jejak Leijdecker … hlm. 70).

Melalui pendirian Instituut voor het Javaansche Taal inilah para Javanolog Belanda, yang terdiri dari kalangan misionaris dan orientalis, mengembalikan tradisi Jawa kuno (Jawa pra Islam) dan menghubungkannya dengan Surakarta.  Javanolog Belanda-lah yang “menemukan”, “mengembalikan” dan “memberikan makna” terhadap Jawa masa lalu. Jika orang Jawa ingin kembali ke masa lalunya, mereka harus melalui screening pemikiran Javanolog Belanda. (Takashi Shiraisi,  Zaman Bergerak  , hlm. 7).

Produk-produk berupa karya sastra dan lainnya yang lahir dari lembaga ini tidak urung cukup berpengaruh dalam mengarahkan “dunia batin” orang Jawa. Penginjilan melalui lembaga bahasa Jawa ini memang ditujukan untuk “deradikalisasi” terhadap gerakan perlawanan Islam yang ada di Jawa. Berdasar pengakuan Gericke di atas, bisa dipahami bahwa upaya Kristenisasi pada masa itu juga merupakan alat politis guna mengekalkan hegemoni penjajahan Belanda di Tanah Air. Langkah ini terutama diterapkan untuk mengimbangi kekuatan Islam yang berpotensi melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial.

Kini, di era modern, bukan mustahil cara-cara serupa masih digunakan kaum imperialis modern untuk “menjinakkan” Islam. Berbagai studi tentang Islam dan masyarakat Muslim dilakukan – bahkan tak jarang diberi biaya yang sangat besar – untuk menjadikan kaum Muslim merasa nyaman dalam pemikiran dan pola kehidupan Barat dan sekaligus bersikap fobia terhadap ajaran Islam. Wallahu a’lam bish-shawab.

Oleh: Susiyanto, Solo
Peneliti Pusat Studi Peradaban Islam