Mental Loyo

Bangun subuh kesiangan, berangkat kerja terlambat, sampai dikantor tidak segera memulai pekejaan, bahkan sempat buka internet. Istirahat siang langsung makan, karena kekenyangan setelah makan kemudian tidur di masjid, atau ketika kelaparan puasa ramadhan pun tidur setelah zhuhur, di masjid kantor. Jadi, kekenyangan ngantuk, kelaparan juga ngantuk.

Pulang kerja kecapean tidak bisa berbasa basi dengan anak dan istri. Tidak sanggup lagi mengeluarkan kalimat romantis dan mesra terhadap anggota keluarga. Tidak mampu lagi bercanda dan bercengkrama dengan seisi rumah. Rumah terasa hampa seperti losmen atau hotel. Semua sudah kecapean dengan urusannya masing-masing.

Ketika adzan tiba, badan terasa letih, tidak mampu berjalan pergi menuju masjid, walau hanya beberapa meter saja dari jarak rumahnya. Shalat di rumahpun sudah di akhir waktu, tanpa kekhusyu’an lagi. Setelah itu tidur tanpa persiapan, tanpa doa langsung terkapar di tempat tidur.

Ada undangan arisan RT enggan datang, undangan kerja bakti pun tidak nongol. Ada jadwal ronda bergiliran tidak ingat, undangan pengajian di masjid apa lagi, merasa tidak butuh. Ada kematian tetangga dengan sangat terpaksa datang juga sekedar setor muka, enggan melihat jenazah.

Hampir seluruh pekerjaan di rumah dikerjakan oleh pembantu, sampai menyiapkan makan dan minumpun dikerjakan pembantu. Meletakan baju bekas dipakai, memasukan baju yang baru distrika, melayani kebutuhan anak, sampai membuang sampah di tempat sampah depan rumah juga dilakukan oleh pembantu.

Sementara anak-anak sibuk dengan handphone, playstation, internet, serta sibuk dengan hobinya. Jarang sekali orang tua menyuruh anak-anaknya dalam menyelesaikan perkejaan rumah tangga, karena sudah dilakukan oleh pembantu. Akibatnya anak tidak banyak memiliki keterampilan hidup, tidak mandiri, tidak banyak bergerak, badan jadi rapuh, kemanjaan yang luar biasa, tidak tahan dengan berbagai benturan, cepat putus asa, banyak tuntutan, kurang sensitifitas, hari-hari yang dipikirkan hanya kesenangannya sendiri, jadi egois. Tidak terlalu care (peduli) terhadap apa yang terjadi disekelilingnya.

Telpon berdering tidak cepat diangkat karena saling mengandalkan, kakak menyuruh adik, adik menyuruh adiknya lagi. Tamu memberi salam tidak segera dijawab, karena semua mengandalkan pembantu atau orang lain. Bahkan mengambil baju yang cuma jarak 2 meter saja menyuruh pembantu yang posisinya sangat jauh.

Dengan semakin majunya teknologi yang banyak membantu pekerjaan manusia, maka semakin lagi menambah kemalasan dan kemanjaan. Hampir semua orang ingin mendapatkan sesuatu dengan cepat dan mudah, sehingga suka mengambil jalan pintas. Rumah makan siap saji menjadi laris, karena pelayanan yang cepat. Dukun-dukun makin laris karena menjanjikan dapat uang banyak dengan cepat, mudah dan tanpa kerja keras. Perjudian juga semakin marak karena punya khayalan yang tinggi ingin cepat kaya. Silaturahim semakin berkurang karena sudah tergantikan dengan telpon, SMS, serata Internet. Temasuk akhirnya pergaulan bebas, tidak sabar menunggu masa pernikahan serta kemapanan, sementara tuntutan biologis sudah semakin menggebu-gebu, tidak kuat, dan akhirnya cari jalan pintas.

Bagi orang yang jeli dalam berbisnis, budaya malas dan manja menjadi peluang emas untuk bisa berjualan barang atau jasa yang sifatnya cepat, mudah, dan membantu konsumen tanpa kerja keras. Berarti kemalasan itu juga akhirnya harus dibayar mahal. Sama dengan kebodohan juga mahal, karena kita tidak mampu membuat atau mengerjakan sendiri, maka semakin banyak kita membutuhkan jasa orang lain untuk membayar kemalasan dan ketidakmampuan kita.

Kamalasan berupaya bagaimana menggali kekayaan alam kita sendiri, seperti emas, perak, minyak, gas, batu bara dan lain-lain akhirnya kita serahkan pengolahannya pada orang asing. Kemalasan kita juga dalam hitung-menghitung produksi, penjualan dan cara bagi hasil yang adil, menyebabkan kita juga banyak mengalami kerugian dalam memperoleh bagi hasil kekayaan alam kita sendiri. Kemalasan kita untuk serius mengurus pertanian, perkebunan, perdagangan serta industri kebutuhan masyarakat, menyebabkan membanjirnya barang-barang impor. Karena produksi dalam negeri tidak mencukupi atau kalah persaingan dalam hal kualitas. Sampai sampai kedelai pun impor, padahal tempenya makanan rakyat. Lebih sadis lagi garam saja impor, padahal negeri ini dua pertiganya lautan.

Kemalasan para pejabat untuk mencari sumber devisa yang lebih produktif dan lebih terhormat, menyebabkan menjamurnya manajemen ala Pak Ogah dan Pak Ableh si tukang palak, yang pandainya hanya memungut pajak saja. Sampai warteg akan dikenakan pajak. Mungkin sebentar lagi mereka akan berfikir bagaimana agar BAB, pipis, dan kentut juga bisa kena pajak.

Kita melihat orang-orang yang loyo, malas dan manja hampir merata di semua lapisan masyarakat, mulai dari siswa sampai para pejabat negaranya. Sehingga budaya instan menjadi pilihan dalam mengurus diri sendiri, keluarga, masyarakat sampai kepada mengurus negara, jadi serba instan.