Mentari Ikhlas di Hatimu

Sahabat, pernahkah kau merasa begitu bahagia di kala orang-orang di sekitarmu tersenyum karenamu? Atau mungkin berterima kasih atas pertolonganmu padanya? Aku yakin di antara kalian semua pasti pernah merasakannya. Ya, sungguh kebahagiaan yang luar biasa bagi kita apabila keberadaan kita begitu berarti untuk orang-orang di sekeliling kita. Namun, ada satu pertanyaan yang seringkali ku tanyakan pada diriku sendiri. Apakah sampai detik ini kita benar-benar tulus melakukan semua itu? Atau mungkin itu semua hanya selubung dari niat kita untuk mencapai sesuatu?

Sahabat, mungkin pertanyaan ini memang tak perlu kau jawab, karena hal ini memang bukan untuk dijawab. Akan tetapi, tidak ada salahnya jika hal ini menjadi awalan dari perjalanan kita jauh ke tempat di mana kau bisa menemukan kejujuran yang hanya kau ketahui sendiri saja. Tempat itu tak lain adalah hati nuranimu, Sobat!

Ikhlas, satu kata sederhana yang pastinya sudah tidak asing lagi bagi telinga kita. Kata yang cukup ideal untuk disandingkan dengan hal-hal yang baik dan cukup indah didengar walau hanya berupa bisikan. Namun, menurutku ia tak sesederhana itu. Kalaupun memang ia sesederhana itu, lalu apakah selama ini kita cukup sering melakukannya? Menjadikan ia sebagai tombak dalam perjalanan hidup kita? Kalau jawabannya belum bahkan tidak sama sekali, lalu mengapa hal ini bisa terjadi? Sulitkah? Padahal, bukankah tak ada yang sulit dalam hal-hal yang sederhana?

Semua pertanyaan-pertanyaan itu seringkali ku tanyakan pada diriku. Terkadang ia menjadi pengingat yang membimbingku menemukan ketulusan dalam memberi. Menjeput kelapangan saat musibah menyapa. Namun, seringkali ia membuatku begitu khawatir. Khawatir jika kelak aku tergelincir ketika niatku kian membelok dari visi yang menjadi awal destinasi. Ya, sungguh begitu sulit mencari ikhlas di liang-liang kehidupan.

Terkadang pikiranku berselancar ke arena yang aku sendiri tak tahu di mana adanya, sembari bertanya akankah dunia ini dapat seindah surga apabila seluruh manusia senantiasa melapangkan ikhlas di dalam dirinya? Rasa yang dapat menepis segala kedengkian, kekecewaan, dan perasaan lain yang seringkali menjadi penyebab setiap masalah antara sesama.

Entah, apakah selama ini kita telah memancangkan ikhlas di dasar hati kita atau belum? Semoga hal ini dapat menjadi arus yang terus mengingatkan ketika pikir kian pongah, lagu kian angkuh, dan ego menguasai kendali atas diri. Cobalah sesekali kau tengok, apakah matahari yang perkasa itu pernah menuntut seluruh semesta untuk mengganti rugi seluruh jerih payahnya menyinari dunia? Jadilah seperti jantung yang tersembunyi jauh di dalam ragamu. Ia teramat penting, walau ia benar-benar jauh tersembunyi. Jantung yang begitu ikhlas menjalani tugasnya berdegup dan menjadi salah satu sumber kehidupanmu dan akan terus begitu hingga tugasnya usai yang berarti kau pun akan tutup usia.

Ikhlas tak hanya sekedar kata, Sobat! Ia hidup di dalam hati manusia, ia tak pernah pergi kemanapun. Akan tetapi, justru seringkali kita tak menghiraukan keberadaannya, hingga seolah ia pergi dan sulit kau temui kembali.

Lupakan ucapan terima kasih, pujian, maupun penghargaan dari sekelilingmu atas usaha yang kau lakukan. Mari kita lupakan itu. Karena sesungguhnya semua itu hanyalah semu. Apabila memang ia datang di hadapanmu, syukuri saja nikmat itu. Namun, sesuatu yang hakiki untukmu masih jauh di depan sana dan kelak akan menjadi bingkisan terindah yang akan menantimu di tempat itu. Inilah janji Sang Pencipta pada kita, usah kau ragu atas hal itu. Dan lagi-lagi aku ingin mengajakmu, mari temui ikhlas di dasar hati kita hingga ia membentuk diri kita layaknya gula yang membuat manis apapun yang ditaburinya, walaupun keberadaannya tak pernah disebut-sebut. Tentu tak pernah ada orang menyebutkan teh gula atau kue coklat gula, bukan? Pasti kita lebih sering mendengar orang berkata, “Ini teh manis dan yang itu kue coklat (tanpa kata gula)”. Namun, semua orang tetap tahu bahwa gula yang telah mengubah semuanya menjadi terasa lebih manis.

* * *

Jangan lagi kau dendangkan langkahmu
Saat ego merajai singgasana pikirmu
Saat hatimu tak lagi mampu sujud tersungkur
Dan semburat ikhlas belum terlukis dalam nuranimu

Sebab, Rabbmu tak mau lihat itu
Tak mau terima itu
Dan tak mau biarkan itu bersemayam dalam haribaan makhlukNya yang rindu naungan firdaus

Lihat dia…
Dia yang dititah menyinari dunia hingga Sang Yaumul Ahir tiba
Surya yang tak bervisi ‘tuk dikenal dunia, dihargai dengan tahta, dan perhelatan akbar

Namun, serentak dunia menyambutnya
Dengan asa dan senyum yang sumringah
Mencoba melangkah dan mengurai kisah bersamanya

Pernahkah kau lakukan itu kawan?
Pernahkah kau seperti itu?
Layaknya bintang yang fenomenal itu?

Jangan kawan…
Jangan lagi kau langkahkan kakimu
Ketika kerikil kesombongan masih menyelinap dalam kalbumu
Sebab, hal itu tak membedakanmu layaknya buih di lautan itu…

 

Oleh: Mega Trishuta Pathiassana
FacebookTwitterBlog