Menyampaikan Tausiyah dengan Lemah Lembut

Ketika para sahabat bermajelis bersama Rasulullah mendengarkan wasiat-wasiat beliau, mereka merasakan seolah-olah bumi berhenti berputar. Seolah-olah hanya ada mereka bersama Rasulullah. Mereka melupakan harta dunia yang dimilikinya, melupakan anak dan istri di rumah. Hati mereka tertuju pada wasiat Rasulullah yang agung. Kata-kata dari lisan Rasulullah membasuh jiwa mereka sehingga jiwa mereka menjadi tenang.

Wasiat-wasiat Rasulullah tentang akhirat mampu mengucurkan air mata pada sahabat. Inilah kekuatan kalam Rasul. Seorang sahabat, Abu Najih Al ‘Irbad bin Sariyah berkata, “Rasulullah memberi kami wasiat yang membuat hati kami bergetar dan mata kami menangis.”

Begitulah Rasulullah dalam menyampaikan risalah kepada para sahabat. Rasulullah terkenal sebagai seorang yang fasih bahasanya dan santun tutur katanya sehingga banyak orang yang segera menyambut risalah beliau.

Dalam dunia dakwah kini, sebagian dai yang belum terbiasa berbicara di depan umum, banyak yang merasa kesulitan dalam menyampaikan sebuah risalah kepada para pendengarnya. Ia tidak bisa menguasai para pendengar sehingga risalah yangdisampaikan tidak berbekas pada para pendengarnya.

Setiap dai hendaknya mengetahui cara untuk dapat menarik perhatian para pendengarnya. Untuk menjadi terampil dalam menyampaikan ceramah diperlukan latihan. Karena ceramah adalah sebuah seni berbicara yang memerlukan latihan. Inilah beberapa tips dalam menyampaikan ceramah.

1. Singkat dan Jelas

Orang bijak mengatakan, “Orang yang banyak bicara banyak salahnya”.

Seorang dai dalam ceramahnya hendaknya tidak terlalu panjang pembicaraannya. Ceramah yang baik adalah yang berbobot isinya dan singkat penyampaianya. Nabi Muhammad adalah teladan yang paling baik dalam berkhutbah. Beliau berkhutbah menyampaikan yang seperlunya sehingga singkat waktunya. Singkat, padat, dan jelas.

Jadi, pembicaraan yang terbaik adalah yang singkat dan seperlunya saja. Pembicaraan yang banyak tidak membawa manfaat, malah bisa mendatangkan madharat. Apalagi bila pembicaraannya banyak mengandung canda.

2. Tatapan Mata

Ada sebagian dai ketika berceramah, ia menunduk memandangi lantai. Ia tidak melihat wajah-wajah pendengarnya. Ia tidak melihat apa yang dilakukan oleh pendengarnya. Jikalau semua yang hadir tertidur, ia pun tetap tidak sadar. Ada pembicara yang kepalanya mendongak melihat pada kejauhan. Ia seolah-olah berbicara kepada orang-orang yang berada di kejauhan sehingga pendengarnya merasa tidak diperhatikan.

Ada pembicara yang melihat kepada pendengarnya. Ia menunjukkan perhatian kepada peserta sehingga peserta memperhatikannya. Namun, ketika ada peserta yang tidak memperhatikan dan sibuk dengan aktivitas sendiri, ia diam tidak menyikapinya karena alasan sungkan atau tidak berani. Ada pembicara yang menyikapi pendengar yang sibuk sendiri dengan menegurnya secara langsung sehingga menyakiti perasaan orang yang ditegur.

Ketahuilah bahwa tidak selamanya pendengar bisa berkonsentrasi untuk mendengarkan. Ketika timbul kejenuhan dalam hati pendengar, maka ia akan mulai mengalihkan perhatiannya pada hal-hal selain dari mendengarkan apa yang disampaikan. Ada yang berbicara dengan teman di sampingnya. Yang lain menundukkan kepala, yang lain lagi melihat menerawang jauh. Ada yang merasa mengantuk dan kesadarannya pun timbul tenggelam. Ketika ada beberapa pendengar yang terjangkiti penyakit kebosanan, maka tugas seorang dai adalah membawa pehatian mereka kembali pada majelis.

Tatapan mata sangat efektif untuk mendapatkan perhatian dari pendengar. Ketika ada pendengar yang berbicara dengan kawan di sampingnya, maka tataplah matanya. Bukan dengan tatapan galak, tetapi dengan tatapan lembut yang disertai senyuman. Niscaya ia akan berhenti berbicara dan akan fokus pada apa yang disampaikan. Ketika pendengar dilihat oleh pembicara, mereka merasakan bahwa diri mereka diperhatikan. Bahwa mereka adalah orang penting sehingga mereka akan dengan sungguh-sungguh memperhatikan ceramah.

Lakukan tatapan mata yang disertai senyuman kepada masing-masing pendengar yang di-diagnosis terkena penyakit kebosanan sehingga mereka “terobati” dan dapat kembali memperhatikan isi ceramah. Lakukan tatapan mata secara menyeluruh kepada pendengar. Jangan hanya terfokus pada sebagian pendengar dan melupakan sebagian pendengar yang lain.

3. Bertanyalah

Salah satu cara untuk menarik perhatian pendengar adalah dengan melontarkan sebuah pertanyaan. Dengan melontarkan pertanyaan, berarti seorang dai sudah berusaha untuk berinteraksi dengan pendengar. Ada aksi berupa pertanyaan, dan ada reaksi berupa jawaban pendengar. Dengan adanya interaksi tanya jawab seperti ini, pendengar tidak akan merasa bosan. Mereka merasa terlibat dalam pembicaraan tersebut. Mereka aktif dalam berusaha menyerap apa yang disampaikan pembicara.

Pertanyaan dapat secara spontan menarik perhatian dan mengkonsentrasikan pikiran pembaca. Pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan dapat berupa pertanyaan basa-basi, seperti “Bagaimana kabar Anda hari ini?”, dan “Siapa yang merasa bahagia saat ini?”. Pertanyaan juga dapat menyangkut dengan materi yang akan Anda sampaikan. Misalnya, “Tahukah Anda apa yang dimaksud dengan ihsan itu?” atau pertanyaan, “Maukah Anda saya beritahu hadits Nabi yang luar biasa?” atau pertanyaan, “Kapankah waktu terjadinya hari kiamat?”

Dengan melontarkan pertanyaan, seorang dai telah berusaha merebut hati dan menarik pikiran pendengar. Dengan melontarkan pertanyaan, berarti seorang dai menghidupkan, menghangatkan, dan mencairkan suasana. Dialog akan memudahkan pendengar memahami apa yang akan disampaikan. Sebaliknya, monolog akan membuat pendengar jenuh dan lebih sulit untuk memahami apa yang disampaikan.

Cermatilah salah satu dialog Rasulullah bersama para sahabat ketika beliau menerangkan tentang ghibah yang diriwayatkan oleh Muslim berikut ini.

Nabi: “Tahukah kamu apakah ghibah itu?”
Sahabat menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.”
Beliau bersabda: “Kamu menyebut-nyebut saudaramu dengan sesuatu yang dia benci.”
Beliau ditanya: “Bagaimana kalau memang saudaraku melakukan apa yang kukatakan?”
Beliau menjawab: “Kalau memang dia melakukan seperti apa yang kamu katakan berarti kamu telah mengghibahinya. Sebaliknya jika dia tidak melakukan apa yang kamu katakan, maka kamu telah memfitnahnya.”

Lihatlah, Rasulullah menarik perhatian para sahabat dengan melontarkan pertanyaan, “Tahukah kamu apakah ghibah itu?”. Pertanyaan ini menggugah rasa penasaran para sahabat karena para sahabat tidak atau belum memahami apa arti ghibah sehingga para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Setelah itu baru Rasulullah menerangkan arti ghibah. Para sahabat pun aktif menanggapi keterangan dari Rasulullah.

Ada sabahat yang bertanya, “Bagaimana kalau memang saudaraku melakukan apa yang kukatakan?”. Dengan pertanyaan itu, para sahabat ingin lebih memahami maksud dari ghibah. Kemudian Rasulullah menerangkannya secara singkat dan jelas bahwa “Kalau memang dia melakukan seperti apa yang kamu katakan berarti kamu telah mengghibahinya. Sebaliknya jika dia tidak melakukan apa yang kamu katakan, maka kamu telah memfitnahnya”

Begitulah salah satu cara Rasulullah dalam menyampaikan risalah. Rasulullah sering melontarkan pertanyaan terlebih dahulu daripada langsung menerangkannya. Rasulullah pernah bertanya dahulu kepada Mu’adz bin Jabal, “Inginkah kuberi petunjuk kepadamu pintu-pintu kebaikan?”. Beliau juga bertanya,”Maukah bila aku beritahukan kepadamu pokok amal tiang-tiangnya dan puncak-puncaknya?”. Beliau juga bertanya, ”Maukah kuberitahukan kepadamu tentang kunci semua perkara itu?”

Penyampaian risalah melalui pertanyaan ini juga kita dapatkan dalam Hadits Jibril tentang Islam, iman, dan ihsan yang diriwayatkan oleh Muslim. Dikisahkan oleh Umar bin Khaththab bahwa ketika para sahabat duduk-duduk bersama Rasulullah, “datanglah seorang laki-laki yang mengenakan baju yang sangat putih dan berambut sangat hitam, tidak tampak padanya bekas-bekas perjalanan jauh dan tidak ada seorangpun diantara kami yang mengenalnya.”

Orang yang dimaksud tersebut adalah malaikat Jibril yang menjelma menjadi wujud manusia dan para sabahat tidak mengetahuinya. Kemudian orang tersebut (yaitu Malaikat Jibril) “duduk dihadapan Nabi lalu menempelkan kedua lututnya kepada kepada lutut Rasulullah” seraya berkata: “Ya Muhammad, beritahukan aku tentang Islam?”

Inilah kalimat pertanyaan yang diucapkan oleh Malaikat Jibril. Kemudian Rasulullah menjawabnya. Setelah itu Malaikat Jibril bertanya tentang iman, ihsan, dan hari Kiamat. Setelah Rasulullah menjawab setiap pertanyaan, Malaikat Jibril berkata, “Engkau benar.” Hal itu membuat para sahabat merasa heran karena orang tersebut yang bertanya dan orang tersebut yang membenarkannya juga. Setelah orang tersebut (Malaikat Jibril) pergi, Rasulullah bertanya: “Tahukah engkau siapa yang bertanya?”. Umar berkata: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Beliau bersabda, “Dia adalah Jibril yang datang kepada kalian (bermaksud) mengajarkan agama kalian”.

Begitulah Allah mengajarkan iman, Islam, dan ihsan kepada manusia melalui perantara Rasulullah dan Malaikat Jibril. Malaikat Jibril bertanya dan Rasulullah menjawab. Dialog antara Rasulullah dan Malaikat Jibril tersebut dapat menimbulkan rasa ketertarikan pada diri para sabahat untuk mengetahui dan memahami isi dialog tersebut. Hingga akhirnya para sahabat memahami tentang iman, Islam, dan ihsan melalui dialog dua hamba Allah yang mulia tersebut.

4. Katakan, “Saya Tidak Tahu”

Tidak semua pertanyaan ada jawabannya. Tidak semua pertanyaan harus dijawab. Tidak semua pertanyaan bisa dijawab.

Dalam penyampaikan sebuah materi terkadang ada pertanyaan yang terlontar dari peserta. Ada pertanyaan yang mudah dan ada pertanyaan yang sulit. Jika seorang dai menghadapi pertanyaan yang sulit maka hendaknya ia tidak memaksakan diri untuk menjawabnya. Jika ia tidak tahu jawaban atas pertanyaan tersebut, katakan saja, “Saya tidak tahu”.

Ketahuilah bahwa perkataan “Saya tidak tahu” tidak akan mengurangi ilmu. Bahkan perkataan “Saya tidak tahu” merupakan sebuah ilmu yang tidak semua orang bisa memahaminya. Orang yang pandai adalah orang yang mengetahui bahwa dirinya tidak tahu sehingga ia mengatakan bahwa ia tidak tahu. Sedangkan orang bodoh adalah orang yang tidak mengetahui bahwa sebenarnya ia tidak tahu. Sebagaimana perkataan Abud Darda’, “Perkataan orang yang tidak mengetahui suatu permasalahan (yang ditanyakan kepadanya) ‘Aku tidak tahu’ adalah setengah dari ilmu.”

Jika seorang dai memaksakan diri untuk menjawab pertanyaan yang ia tidak mengetahui jawabannya, maka jawabannya akan ngawur, tidak dilandasi dalil atau menggunakan dalil yang tidak semestinya. Keadaan ini akan lebih parah jika jawabannya benar-benar tidak sesuai dengan kebenaran. Maka, jika tidak tahu suatu permasalahan, katakan saja, “Saya tidak tahu”.

Oleh: Sukrisno Santoso, Surakarta
Facebook Blog