Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Katakanlah, bahwa sesungguhnya shalatku, penyembelihanku, hidupku dan matiku hanya semata-mata untuk Allah, Rabb semesta alam, tiada sekutu bagiNya, demikian itulah yang diperintahkan kepadaku dan aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah).” (QS. Al An’am, 162-163).
“Maka dirikanlah shalat untuk Rabbmu, dan sembelihlah korban(untukNya).” (QS. Al Kautsar, 2)
Ali bin Abi Thalib Radhiallahu ’Anhu berkata, “Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam bersabda kepadaku tentang empat perkara, “Allah melaknat orang-orang yang menyembelih binatang bukan karena Allah, Allah melaknat orang-orang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat orang-orang yang melindungi orang yang berbuat kejahatan, dan Allah melaknat orang-orang yang merubah tanda batas tanah.” (HR. Muslim)
Orang yang pertama kali dilaknat oleh Allah berdasarkan hadits diatas adalah orang yang menyembelih karena selain Allah. Selain itu, dilaknat juga orang yang melaknat kedua orang tuanya, hal itu bisa terjadi bila ia melaknat kedua orang tua seseorang, lalu orang tersebut melaknat kedua orang tuanya.
Dilaknat juga orang yang melindungi pelaku kajahatan, yaitu orang yang memberikan perlindungan kepada seseorang yang melakukan kejahatan yang wajib diterapkan kepadanya hukum Allah. Dilaknat pula orang yang merubah tanda-batas tanah, yaitu merubah tanda yang membedakan antara hak milik seseorang dengan hak milik tetangganya, dengan digeser maju atau mundur.
Dari sini kita lihat ada perbedaan antara melaknat seseorang tertentu dengan melaknat orang-orang ahli maksiat secara umum. Maksudnya, membedakan antara melaknat si Fulan dan melaknat seseorang yang melakukan perbuatan maksiat tertentu adalah dua hal yang berbeda.
Thariq bin Syihab Radhiallahu ’Anhu menuturkan bahwa Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam bersabda: “Ada seseorang yang masuk surga karena seekor lalat, dan ada lagi yang masuk neraka karena seekor lalat pula, para sahabat bertanya: bagaimana itu bisa terjadi ya Rasulullah, Rasul menjawab: “Ada dua orang berjalan melewati sekelompok orang yang memiliki berhala, yang mana tidak boleh seorangpun melewatinya kecuali dengan mempersembahkan sembelihan binatang untuknya lebih dahulu, maka mereka berkata kepada salah satu diantara kedua orang tadi: persembahkanlah sesuatu untuknya, ia menjawab: saya tidak mempunyai apapun yang akan saya persembahkan untuknya, mereka berkata lagi: persembahkan untuknya walaupun dengan seekor lalat, maka iapun persembahkan untuknya seekor lalat, maka mereka lepaskan ia untuk meneruskan perjalanannya, dan iapun masuk kedalam neraka karenanya, kemudian mereka berkata lagi pada seseorang yang lain: persembahkalah untuknya sesuatu, ia menjawab: aku tidak akan mempersembahkan sesuatu apapun untuk selain Allah, maka merekapun memenggal lehernya, dan iapun masuk kedalam surga.” (HR. Ahmad).
Adanya kisah besar dalam hadits ini, yaitu kisah seekor lalat. Yakni, masuknya orang tersebut kedalam neraka disebabkan karena mempersembahkan seekor lalat yang ia sendiri tidak sengaja berbuat demikian, tapi ia melakukan hal tersebut untuk melepaskan diri dari perlakuan buruk para pemuja berhala itu.
Di sini kita bisa mengetahui kadar kemusyrikan yang ada dalam hati orang-orang mukmin, bagaimana ketabahan hatinya dalam menghadapi eksekusi hukuman mati dan penolakannya untuk memenuhi permintaan mereka, padahal mereka tidak meminta kecuali amalan lahiriyah saja.
Orang yang masuk neraka dalam hadits ini adalah orang Islam, karena jika ia orang kafir, maka Rasulullah Shallallahu ’Alaihi wa Sallam tidak akan bersabda: “ … masuk neraka karena sebab lalat …”
Hadits ini merupakan suatu bukti bagi hadits shahih yang mengatakan, “Surga itu lebih dekat kepada seseorang dari pada tali sandalnya sendiri, dan neraka juga demikian.”
Mengetahui bahwa amalan hati adalah tolok ukur yang sangat penting, walaupun bagi para pemuja berhala.
Menyembelih Binatang Karena Allah Dilarang Dilakukan Di Tempat Penyembelihan Yang Bukan Karena Allah
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman, “Dan (di antara orang-orang munafik itu) ada orang-orang yang mendirikan masjid untuk menimbulkan kemudharatan (pada orang-orang mu’min), untuk kekafiran dan untuk memecah belah antara orang-orang mu’min serta menunggu kedatangan orang-orang yang telah memerangi Allah dan RasulNya sejak dahulu). Mereka sesungguhnya bersumpah, “Kami tidak menghendaki selain kebaikan.” Dan Allah menjadikan saksi bahwa sesungguhnya mereka itu adalah pendusta (dalam sumpahnya). Janganlah kamu dirikan shalat di masjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya masjid yang didirikan atas dasar takwa (masjid quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu lakukan shalat di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang mensucikan diri. ” (QS. At Taubah, 107 –108)
Dari ayat ini kita pahami bahwa kemaksiatan itu bisa berdampak negatif, sebagaimana ketaatan berdampak positif bagi seseorang. Ayat ini menunjukkan pula bahwa menyembelih binatang dengan niat karena Allah dilarang dilakukan di tempat yang dipergunakan oleh orang-orang musyrik untuk menyembelih binatang, sebagaimana shalat dengan niat karena Allah dilarang dilakukan di masjid yang didirikan atas dasar maksiat kepada Allah.
Tsabit bin Dhahhak Radhiallahu ’Anhu berkata, “Ada seseorang yang bernadzar akan menyembelih unta di Buwanah. Lalu ia bertanya kepada Rasulullah, maka Nabi bertanya, “Apakah di tempat itu ada berhala-berhala yang pernah disembah oleh orang-orang jahiliyah? Para sahabat menjawab, “Tidak.” Dan Nabipun bertanya lagi, “Apakah di tempat itu pernah dirayakan hari raya mereka?” Para sahabatpun menjawab, “Tidak.” Maka Nabipun menjawab, “Laksanakan nadzarmu itu, karena nadzar itu tidak boleh dilaksanakan dalam bermaksiat kepada Allah, dan dalam hal yang tidak dimiliki oleh seseorang” (HR. Abu Daud, dan isnadnya menurut persyaratan Imam Bukhori dan Muslim).
Perlu diketahui bahwa Buwanah adalah nama suatu tempat di sebelah selatan kota Makkah, sebelum Yalamlam; atau anak bukit sebelah Yanbu’.
Hadits ini mengajarkan kita mengenai masalah yang masih meragukan hendaknya dikembalikan kepada masalah yang sudah jelas, agar keraguan itu menjadi hilang. Selain itu, diperbolehkan bagi seorang mufti untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan sebelum berfatwa untuk mendapatkan keterangan yang jelas.
Inti dari hadits di atas adalah bahwa mengkhususkan tempat untuk bernadzar tidak dilarang selama tempat itu bebas dari hal-hal yang terlarang. Tidak diperbolehkan mengkhususkan tempat, jika di tempat itu ada berhala-berhala yang pernah disembah pada masa jahiliyah, walaupun semuanya sudah dihilangkan. Tidak diperbolehkan mengkhususkan tempat untuk bernadzar, jika tempat itu pernah digunakan untuk melakukan perayaan orang-orang jahiliyah, walaupun hal itu sudah tidak dilakukan lagi. Tidak diperbolehkannya melakukan nadzar di tempat-tempat tersebut, karena nadzar tersebut termasuk kategori nadzar maksiat.
Dengan demikian, harus dihindari perbuatan yang menyerupai orang-orang musyrik dalam acara-acara keagamaan dan perayaan-perayaan mereka, walaupun tidak bermaksud demikian.
Juga tidak boleh seorang Muslim bernadzar untuk melaksanakan kemaksiatan dan tidak boleh seseorang bernadzar dalam hal yang tidak menjadi hak miliknya.