Menyikapi Pers yang Berpihak

Posisi media massa saat ini sangatlah esensial, hampir setiap waktu masyarakat dapat dengan mudah mengaksesnya baik melalui surat kabar, majalah, televisi hingga internet. Pemberitaan melalui media mampu meletakkan opini publik secara berkesinambungan, tidak sedikit pula ideologi masyarakat semakin terbentuk kokoh karena arus media massa yang gencar menyuarakan berbagai argumen. Beberapa kekuatan itu seharusnya digunakan untuk memudahkan masyarakat agar lebih bijaksana dalam menyikapi berbagai fenomena yang disajikan, sehingga media massa menjadi salah satu penyokong pencapaian kemaslahatan umat.

Namun sayang, pada kenyataannya media massa sekarang ini tidak semua independen, banyak pihak-pihak tertentu yang dikarenakan kepentingan golongan, keseragaman visi atau sebatas faktor perebutan kekuasaan menjadi penyebab hilangnya ruh media itu sendiri. Sebut saja beberapa kasus pemerintah seperti kriminalisasi KPK, mafia peradilan, penalangan Bank Century, hingga kasus politik yang saling menjatuhkan tanpa mau melihat kebenaran secara konkret. Dampak kesalahan pemberitaan ini tentulah sangat merugikan berbagai pihak, bahkan sampai menimbulkan fitnah dan menjebloskan korban ke dalam jeruji besi. Sebagai umat muslim tentu miris melihat fenomena ini, boleh jadi bila kita hanya diam tak bergerak, masyarakat akan semakin terserang oleh virus pembodohan yang kian berkembangbiak.

Ingat kembali beberapa kasus yang semoga membuat kita semakin tersadar tentang permasalahan ini. Sebuah stasiun telekomununikasi nasional sempat menerima kritik sosial dikarenakan terditeksi menerima dana dari APBN yang merupakan dana publik, bukan milik pemerintah. Pada September 2012 lalu, sebuah stasiun televisi swasta juga sempat menjadi sorotan dikarenakan menampilkan pemberitaan yang dianggap melecehkan sebuah organisasi Islam, khususnya bagi civitas pelajar dan mahasiswa. Organisasi yang biasa disebut ROHIS (Kerohanian Islam) saat itu dianggap menjadi kumpulan aktivis yang melahirkan kader-kader teroris, tentu saja hal ini sangat melecehkan umat Islam. Berita-berita semacam ini tentulah menghadirkan banyak prasangka dan kefobiaan tersendiri bagi masyarakat awam. Padahal Dalam Alquran telah disebutkan sebuah ayat yang artinya :

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik, membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah, kepada suatu kaum, tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” – (Q.S Al-Hujurat:6)

Di sinilah pentingnya refleksi bagi media massa. Pada dasarnya tidak semua media massa itu berpihak, karena agaknya terlalu naïf bila semua media massa dikatakan demikian. Beberapa media massa tentulah masih ada yang mencanangkan kemurnian pemberitaannya. Ya, bisa jadi masih sedikit berpihak, akan tetapi keberpihakan itu mengarahkan pada kebenaran. Media massa semacam ini lazimnya akan cenderung berhati-hati dalam mempublikasikan pewartaan.

Etika

Bila diperhatikan, satu tahun terakhir ini bersamaan dengan menyambut pemilu 2014, sangat banyak media yang bersikukuh menyajikan berita-berita yang diragukan kevalitannya. Bumi ini bagaikan buminya para manusia yang tak beretika, seakan nilai kebenaran tersamarkan dengan pembenaran pihak yang berkuasa. Ibarat melelang barang, siapa yang paling berani membeli dengan harga paling tinggi dialah yang bisa mendapatkan barang tersebut. Bijaknya media kita malu melakukan hal semacam analogi tersebut, karena bila begitu, apa bedanya media massa dengan boneka para penguasa otoriter yang mendewakan hedonisme untuk kepentingan sepihak? salah satu cara mengikis fenomena tersebut adalah dengan menghadirkan kembali etika nyata dalam menyampaikan berita di media massa.

W. Lilie dalam bukunya An Introduction to Ethics, mendifinisikan etika sebagai ilmu pengetahuan normatif mengenai kelakuan manusia dalam kehidupannya di masyarakat. Sepenggal kalimat tersebut menitikberatkan nilai norma yang jelas sudah mulai memudar di kalangan pers saat ini. Sebagai umat muslim yang fitrahnya bermoral, tentu akan lebih bijaksana bila kita memperjuangkan dakwah melalui dunia pers dengan menyajikan media massa yang lebih beretika, sehingga dapat mengimbangi media massa lain yang sudah kelewat berlebihan dalam menyampaikan berita. Tujuan utamanya bukan untuk saling menjatuhkan, melainkan untuk meluruskan berita sebelumnya yang telah tersaji tanpa kevalitan yang jelas.

Ilmu dan Nilai Moralitas

Etika erat kaitannya dengan filsafat moral. Bila membahas tentang filsafat, sudah pasti kedudukannya menjadi induk suatu ilmu pengetahuan. Akan tetapi karena etika bersifat relatif, para kaum positivis menyimpulkan bahwa etika tidak pernah menjadi suatu ilmu. Meski demikian, media massa yang baik tentulah mengutamakan penyampaian dengan paduan yang dinamis antara etika dan ilmu. Karena suatu ilmu yang tidak dilandasi etika sangat memungkinkan pemiliknya untuk mengabaikan nilai-nilai moral. Itulah sebabnya salah satu asas dalam Kode Etik Jurnalistik adalah nilai moralitas. Bila dikembalikan dengan AlQuran, pada prinsipnya Rasulullah pun telah mengajarkan kita untuk menjadi insan yang bermoral. Bukankah moral erat kaitannya dengan akhlaq dan adab? Selain moral, bukankah Islam juga mewajibkan kaumnya untuk menuntut ilmu? Tentu saja semua ini dapat dikaji secara ilmiah.

Seseorang yang memiliki akhlaq dan etika yang baik tidak akan menggunakan ilmunya secara sembarangan, sehingga apapun yang dimilikinya akan senantiasa mereka relakan untuk kemaslahatan umat. Bila orang tersebut seorang wartawan, tentulah ia akan merekam berita secara keseluruhan tidak dikurangi dan berlebih. Jikalau dia seorang reporter televisi atau karyawan yang bekerja di lingkup media massa, sama halnya ia akan senantiasa menjadikan perkerjaan itu sebagai bagian dari ibadahnya, sehingga etika yang ia gunakan pun akan senantiasa ia rasakan sebagai bentuk pengawasan dari Allah Ta’ala.  

Adanya kode etik sangatlah bermanfaat, bukan hanya menjadi rambu-rambu dan batasan kerja jurnalistik, tetapi lebih luas dari itu. Menurut Alwi Dahlan (2005, sebagaimana dikutip Sukardi, 2007: 25), keberadaan kode etik setidak-tidaknya memiliki lima manfaat: melindungi keberadaan seorang profesional dalam berkiprah di bidangnya, melindungi masyarakat dari malpraktik oleh praktisi yang kurang profesional, mendorong persaingan sehat antar praktisi, mencegah kecurangan antar rekan profesi, dan mencegah manipulasi informasi oleh narasumber. Selain itu menurut preambule kode etik jurnalistik (KEJ) tahun 2006, disampaikan bahwa kode etik dibuat sebagai pertimbangan bahwa dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, media massa harus menghormati hak asasi publik audiensnya, karena itu media dituntut profesional dan terbuka untuk dikontrol oleh masyarakat. Dengan adanya kode etik ini diharapkan setiap wartawan dapat meliput berita yang ada dengan valid dan tidak setengah-setengah, bagi media massa televisi khususnya, diharapkan setiap berita yang ditayangkan tidak ada satu pun yang ditutup-tutupi. Jangan sampai karena media massa tersebut milik kalangan tertentu, menjadi sebab perihal lunturnya kebijaksanaan kode etik tersebut.

Pada akhirnya, satu hal yang terpenting adalah diseminasi nilai kebijaksanaan dalam menyimak media massa bagi masyarakat awam itu sendiri, karena media massa seringkali menghadirkan berita-berita yang berbeda antara media satu dengan yang lain, tentulah hal ini dapat membingungkan masyarakat. Sebagai pemerhati pers yang dapat kita lakukan salah satunya dengan mengarahkan masyarakat agar tidak hanya menyimak berita pada satu media massa saja, tetapi membandingkan dengan pemberitaan dari media massa yang lainnya, akan lebih baik lagi ketika kita dapat mengklarifikasikan warta yang tersaji kepada orang yang lebih paham terhadap pemberitaan tersebut.