Pesan ini aku sampaikan dari kedalaman hati, dari bilik-bilik kontemplasi. Cobalah tengok ke dalam hati, adakah tersimpan perasaan kebanggaan? Adakah terselip kebesaran perasaan karena mencapai keberhasilan? Bangga itu wajar, manusiawi. Tapi, hati-hati dengan perasaan yang satu ini.
Dalam kehidupan dakwah, sisi-sisi perasaan kemanusiaan selalu hadir membersamai para aktivis. Di antaranya adalah perasaan bangga yang menyelinap muncul tatkala menghadapai suatu situasi positif yang sesuai harapan atau bahkan sangat diharapkan. Misalnya seorang aktivis mampu menyelesaikan tugas-tugas dakwah dengan sukses, atau telah melaksanakan program kerja kelembagaan dengan tingkat keberhasilan di atas sembilan puluh persen, atau mendapatkan apresiasi lebih dari para pemimpin lembaga dakwah. Banyak hal yang bisa memunculkan perasaan bangga di hati para aktivis.
Perasaan bangga ini tentu saja sangat manusiawi, mengingat karakter kemanusiaan yang menghajatkan pengakuan akan keberhasilan yang telah diraih, atau prestasi yang telah dicapai, atau target yang telah terlampaui, atau kenyamanan kondisi yang dinikmati. Akan tetapi yang harus diperhatikan adalah, jangan sampai perasaan bangga yang dirasakan menyebabkan memandang remeh orang lain, atau menganggap tidak ada bandingannya dengan pihak lain. Apalagi apabila sampai menyebabkan perasaan angkuh, karena menganggap bahwa semua kebrhasilan itu adalah karena kehebatan dirinya.
“Saya memang luar biasa. Kalau tidak ada saya, tentulah kondisinya tidak bisa sebaik ini”, ungkapan ini sangat mungkin benar sesuai kenyataan. Akan tetapi bisa menjadi negatif apabila berkembang menjadi perasaan takjub dan membesar-besarkan peran dirinya dengan mengabaikan peran atau keterlibatan pihak-pihak lain. Kondisi ini bisa disebut angkuh atau sombong, padahal bangga tidak sama dengan sombong dan angkuh.
Untuk itulah Nabi saw sangat memperhatikan, agar kebanggaan tidak berkembang menjadi kesombongan atau keangkuhan. Perhatikan pengakuan Amr bin Ash ra ini :
“Rasulullah menghadapkan wajah dan pembicaraan kepadaku, sehingga aku menduga bahwa aku adalah sebaik-baik kaum (manusia). Lalu aku bertanya, “Ya Rasulullah, apakah aku atau Abu Bakar yang lebih baik ?” Jawab Rasul, “Abu Bakar !” Aku bertanya lagi, “Ya Rasulullah, apakah aku atau Umar yang lebih baik ?’ Jawab Rasul, “’Umar !” Lalu aku bertanya, “Ya Rasulullah, apakah aku atau ‘Utsman yang lebih baik ?” Beliau menjawab, “’Utsman !” Mungkin bila aku tak bertanya kepada Rasulullah beliau akan membenarkan aku. Maka timbullah (penyesalan dalam hatiku), seharusnya aku tak bertanya lagi kepadanya” (Riwayat Tirmidzi).
Semua sahabat tahu, bahkan Rasulullah juga tahu bahwa Amr bin Ash adalah seorang prajurit Islam yang tangguh. Kesetiaan dan loyalitasnya telah teruji di berbagai medan penugasan. Namun Rasulullah tak ingin ada kesombongan yang dapat muncul di dalam hati Amr bin Ash, sehingga pertanyaan yang ditujukan kepada beliau telah dijawab secara tegas, dan menutup peluang ke arah ”penyimpangan perasaan”.
Bukankah Rasulullah sebenarnya bisa menjawab, bahwa beliau mencintainya lebih dari yang lain ? Seandainya Rasul saw mengatakan Amr bin Ash lebih baik dari Abu Bakar, hal itu tak akan mengurangi kemuliaan dan kewibawaan Abu Bakar di hadapan para sahabat yang lain. Demikian pula jika Nabi saw mengatakan Amr bin Ash lebih baik dari Umar, sekali-kali keutamaan Umar tak akan pudar di hadapan sahabat lainnya. Namun perasaan apakah yang sekiranya muncul pada diri Amr bin Ash, jika jawaban beliau seperti itu?
Jika Anda mengalami peristiwa getir dalam organisasi dakwah, bagaimanakah kiranya perasaan Anda? Qiyadah yang diharapkan memberikan apresiasi atas keberhasilan anda dalam menunaikan amanah dakwah, ternyata tidak seperti yang Anda harapkan. Bagaimana pula seandainya kondisinya lebih buruk dari itu? Anda telah bekerja keras tanpa kenal lelah di medan dakwah, alih-alih mendapat pujian, ternyata yang anda jumpai justru kritikan dan cemoohan. Atau, bahkan anda divonis sebagai bersalah…..
Anda merasa bangga telah menyelesaikan aktivitas sesuai program, target terpenuhi seratus persen. Berharap pimpinan Anda memberikan tahniah, menjabat erat tangan anda bahkan memeluk, sambil menepuk-nepuk bahu dan mengatakan, ”Luar biasa prestasi kerjamu. Kamu layak menjadi juara!” Lalu sang pemimpin menyampaikan di forum, menyebut nama dan keberhasilan Anda, dan tepuk tanganpun bergemuruh di seluruh ruangan memberikan aplaus kepada Anda……
Ternyata tidak seperti itu kejadiannya. Pemimpin Anda tidak menjabat tangan Anda, bahkan tidak membaca laporan dan progress yang telahAnda susun berpayah-payah. Pemimpin Anda bahkan tidak tahu kalau pencapaian target bidang Anda seratus persen. Di forum, pemimpin Anda bahkan menyebut nama orang lain yang Anda tahu dia tidak berhasil mencapai target. Di depan forum, pemimpin Anda justru melontarkan kritik kepada bidang Anda yang dianggap kurang mampu bersinergi dengan bidang lain. Sisi kekurangan Anda diungkap, tanpa menyebut sedikitpun keberhasilan Anda. Padahal Anda merasa sangat berhasil.
Bagaimana perasaan Anda saat mengalami peristiwa itu ? Tidak, Anda tidak harus mengalaminya…….
Dalam hal jenjang pengkaderan, dijumpai adanya kenaikan level kader seiring lamanya interaksi, prestasi dan kontribusi yang dimiliki setiap kader dalam dakwah. Ada kalanya kita merasa lebih baik –astaghfirullahal ’azhim—dari orang lain yang ternyata jenjang kekaderannya lebih tinggi. Kita merasa tertinggal dari segi jenjang atau level, padahal jika dibandingkan, rasanya kita tidak kalah dibanding orang lain yang level kekaderannya lebih tinggi daripada kita.
Lebih-lebih lagi jika kita menyaksikan ada kader yang baru saja bergabung, namun posisi kekaderan dan amanahnya demikian melejit meninggalkan kita. Terkadang muncul kecemburuan dan sejumlah pertanyaan. Mengapa dia demikian cepat meningkat jenjang kekaderannya ? Mengapa ia sedemikian cepat mendapatkan amanah dakwah yang berada dalam posisi hebat? Kadang kita merasa tersisihkan, atau bahkan disisihkan.
”Masak kader kayak begitu sudah naik jenjang? Saya yang sudah lama terlibat tidak naik-naik jenjang….”
”Aneh banget ada kader seperti itu di jenjang yang tinggi… Siapa sih yang menilai dan menaikkan jenjangnya ?”
”Lucu rasanya organisasi ini. Orang kayak begitu dapat posisi strategis. Apa kelebihannya? Kinerjanya sangat payah, jauh di bawah saya…..”
Bolak-balik kita bertanya: Siapa sebenarnya yang lebih baik?
Benar-benar ini ujian dalam perjalanan jenjang pengkaderan. Apakah perasaan ini juga yang dialami oleh masyarakat Bani Israil, saat harus menerima realitas Thalut menjadi pemimpin mereka? Coba perhatikan kisahnya.
“Apakah kamu tidak memperhatikan pemuka-pemuka Bani Israil sesudah Nabi Musa, yaitu ketika mereka berkata kepada seorang Nabi mereka: “Angkatlah untuk kami seorang raja supaya kami berperang (di bawah pimpinannya) di jalan Allah.” Nabi mereka menjawab: “Mungkin sekali jika kamu nanti diwajibkan berperang, kamu tidak akan berperang.” Mereka menjawab: “Mengapa kami tidak mau berperang di jalan Allah, padahal sesungguhnya kami telah diusir dari anak-anak kami?” Maka tatkala perang itu diwajibkan atas mereka, merekapun berpaling, kecuali beberapa saja di antara mereka. Dan Allah Maha Mengetahui siapa orang-orang yang zalim” (Al Baqarah: 246).
“Nabi mereka mengatakan kepada mereka: “Sesungguhnya Allah telah mengangkat Thalut menjadi rajamu.” Mereka menjawab: “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?” Nabi (mereka) berkata: “Sesungguhnya Allah telah memilih rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Luas pemberian-Nya lagi Maha Mengetahui” (Al Baqarah: 247).
Bukankah pemuka Bani Israil sendiri yang meminta agar diutus seseorang untuk menjadi pemimpin mereka ? Setelah yang ditunjuk menjadi pemimpin adalah Thalut, ternyata mereka tidak bisa menerima. “Bagaimana Thalut memerintah kami, padahal kami lebih berhak mengendalikan pemerintahan daripadanya, sedang diapun tidak diberi kekayaan yang cukup banyak?”
Jika organisasi dakwah dipimpin oleh seseorang yang –menurut ukuran kita—tidak memiliki kelebihan apapun dibanding kita, apakah cukup tersedia ruangan dalam diri kita untuk mendengar dan taat kepadanya? “Bagaimana ia memerintah kami, padahal kami lebih berhak memimpin daripadanya, sedang diapun tidak memiliki kelebihan yang berarti ?”
Saya doktor, alumnus luar negeri, bagaimana bisa dipimpin seorang anak lulusan SMA dalam negeri? Saya ustadz, memiliki kafa’ah syar’i, berpendidikan tinggi, mengapa harus dipimpin oleh seorang awam yang kemarin sore baru belajar mengaji? Saya keturunan bangsawan, ningrat, berdarah biru, bagaimana akan dipimpin oleh kader yang orang biasa saja ?
Maka, kitapun mempertanyakan keputusan syura… “Masak, musyawarah menghasilkan keputusan yang sangat naif seperti ini ? Bagaimana kita bisa taat ?”
Bolak-balik kita bertanya, “Siapa sebenarnya yang lebih baik?”
Nastaghfirullahal ‘azhim, wa natubu ilaih.