Mereka, Al Quran, dan Kita

Di sini, kita akan mendiskusikan tentang pendahulu umat ini yang berhasil mengakrabkan diri dengan Al Quran. Mereka adalah pribadi-pribadi yang sibuk dengan Al Quran melebihi kesibukan dengan selainnya. Kesibukan itulah yang menjadikan keberkahan pada kehidupan yang mereka jalani. Dan, karena hal itu pula mereka mendapat tempat terbaik di sisi Allah.

Salaf, maknanya terdahulu. Jadi, secara bahasa kita bisa mengatakan bahwa Ibu kita adalah generasi salaf karena beliau lebih dulu lahir dari diri kita. Namun, salaf yang dimaklumi sebagai sebuah generasi terbaik, adalah mereka yang telah berhasil mendahului kita dalam keimanan dan ketaqwaan kepada Allah. Sehingga Abu Jahal, Abu Lahab, dan kroni-kroninya tidaklah layak disebut sebagai generasi salaf. Pemakaian makna salaf di sini, tidak hanya terbatas pada orang sholih di bawah angkatan para sahabat. Melainkan digunakan secara umum untuk generasi-genarsi muttaqin baik dari kalangan sahabat nabi, ataupun setelahnya.

Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau adalah orang pertama yang menggantikan Nabi. Fisiknya kurus, agak tinggi. Tubuhnya gagah. Imannya kokoh. Beliau merupakan pribadi yang paling depan dalam garda dakwah. Beliau adalah orang yang membenarkan nabi ketika orang lain mendustakannya. Beliau merupakan orang yang menyedekahkan seluruh hartanya untuk Allah dan RasulNya. Ketika ditanya, “Apa yang kau sisakan untuk keluargamu?” Dengan enteng beliau menjawab, “Allah dan rasulNya.”

Abu Bakar merupakan potret mutiara di tengah lumpur. Dimana beliau mampu menumbuhkan ketajaman nuraninya sehinggga mengikuti dakwah nabi sejak awal. Abu Bakar, merupakan sahabat nabi satu-satunya yang menyertai beliau dalam hijrah. Dimana kala itu beliau berani mempertaruhkan satu-satunya nyawa yang ia miliki untuk Muhammad, kekasih yang sangat dicintainya.

Dalam berinteraksi dengan Al Quran, beliau adalah pakarnya. Lihat saja riwayat dari ‘Aisyah, “Rasulullah bersabda (di akhir hayat beliau, ketika tengah sakit), “Pergilah Abu Bakar! Dan sholatlah bersama orang-orang.” ‘Aisyah, istri nabi sekaligus anak Abu Bakar menjawab, “Wahai Rasul, sesungguhnya beliau (Abu Bakar) adalah orang yang hatinya lembut. Apabila dia membaca Al Quran, dia menangis sehingga orang–orang tidak dapat mendengar bacaannya. Perintahkan saja kepada Umar!”. Dalam riwayat lain, disebutkan bahwa beliau selalu menangis tersedu-sedu setiap kali membaca atau mendengar surah al- Zalzalah, surah ke 99.

Menangis ketika membaca atau mendengar Al Quran bukanlah hal yang mudah. Hal itu tidak bisa dilakukan oleh sembarangan orang. Ia hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memang dekat hatinya dengan Al Quran. Bagi mereka yang sangat jarang interaksinya, jangankan menangis! Membacanya saja malas-malasan.

Kita juga mendapati sebuah sekuel singkat tentang sahabat nabi yang bernama Tamim bin Aus ad-Dahri. Beliau senantiasa melakukan Qiyamullail dan membaca Al Quran. Beliau pernah mengkhatamkan Al Quran dalam satu rokaat. Terkadang, beliau mengulang–ulang satu ayat dalam tahajjudnya hingga subuh menjelang. Subhanallah.

Selain kedua nama tersebut, kita juga mengenal sosok Utsman bin Affan. Beliau merupakan sahabat yang sangat intens interaksinya dengan Al Quran. Ketika Ramadhan, beliau mengkhatamkan Al Quran setiap malam, bahkan pernah diriwayatkan beliau khatam Al Quran dalam sekali duduk. Ketika beliau sudah bersama Al Quran, maka tidak ada yang bisa mengganggunya lagi. Kita pun mendapati akhir hayat beliau terjadi ketika sahabat nabi yang paling pemalu ini sedang bertilawah sembari menanti waktu berbuka puasa. Allahu Akbar!

Sahabat Abdullah bin Amru bin ‘Ash juga tercatat sebagai pribadi yang senantiasa mengkhatamkan Al Quran di bulan Ramadhan. Sedangkan Imam Syafi’i, khatam Al Quran dalam sehari ketika bulan suci sebanyak dua kali. Kita juga mempunyai Imam Ibnu Jarir ath-Thabari. Mastenya tafsir ini dilahirkan di kota Amul –Tabarstan pada akhir tahun 224 H dan wafat di akhir bulan syawal 310 H. Beliau merupakan pribadi yang sangat luar biasa. Zuhud, ‘alim, wara’, ‘abid dan tidak gila jabatan maupun harta. Selain mumpuni di bidang tafsir, beliau juga mahir dalam ilmu sejarah, fiqih dan khazanah keilmuan lain. Beliau termasuk ulama’ yang memiliki multi intelegensi. Beliau menulis dari pagi sampai ashar. Hanya berhenti untuk makan sebentar dan sholat. Selepas Ashar beliau mengajar sampai isya’. Selepas isya’, beliau kembali menulis. Hingga larut. Yang menakjubkan, meski beliau sibuk dengan mengajar dan menulis, disebutkan bahwa beliau dalam sehari semalam bisa membaca Al Quran sebanyak seperempatnya atau lebih banyak lagi. Dimana seperempat Al Quran sama dengan 7.5 Juz. Subhanallahi Wal-hamdulillah!

Ternyata, kesibukan beliau tidak menghalanginya dalam berakrab ria bersama al- Qur’an. Bagaimana dengan kita?

Dalam konteks kekinian, kita masih teringat dengan sosok Almarhumah Ustadzah Yoyoh Yusroh. Ibu dari 13 anak ini tercatat sebagai pribadi yang gemar berlama-lama bersama Al Quran. Dalam sebuah kesaksian oleh Ustadz Salim A. Fillah, beliau pernah menuturkan bahwa di tengah kesibukan yang sangat melelahkan, Ustadzah masih sempat bertilawah sebanyak 3 juz dalam sehari. Padahal, selain mengurus ke-13 anaknya, beliau juga sibuk mengurus rakyat sebagai anggota DPR RI dan juga mengurus umat bersama dakwah yang beliau geluti.

Saat diminta memberi nasehat terkait tilawah, ustadzah yang terkenal dengan perjuangannya membantu saudara muslim di Palestina ini berkata lembut, “Jika sedang membaca Al Quran, bayangkanlah bahwa kita sedang naik ke atas langit. Ayat yang kita baca itulah tangganya. Semakin banyak dan berkualitas ayat yang kita baca, maka akan semakin cepat pula kita sampai di langit. Jika tilawahnya sedikit, kapan sampainya di langit?”

Akhirnya, mari berkaca, bagaimanakah sikap kita terhadap kitab suci di bulan yang suci ini? Apakah kita termasuk yang tilawah lima menit dan tertidur lima jam? Atau yang banyak beralasan sehingga jumlah hari puasa tak lebih banyak dari jumlah juz tilawah kita? Semoga Allah menolong kita untuk bangkit dan berbenah. Segera!