Ada orang-orang bukan murobbi yang sebenarnya turut membina kita, menghantarkan kita hingga sampai pada pemahaman da’wah yang sekarang. Mereka bisa jadi partner da’wah kita. Mas’ul syuro kita, kakak tingkat kita, atau senior kita dalam suatu organisasi da’wah, tanpa kita sadari, mereka membina kita melalui syuro, penugasan, aktivitas bersama, atau bincang-bincang sederhana.
Orang-orang bukan murobbi di sekitar kita -mereka tidak mengajarkan teori, namun lebih kepada nilai-nilai apa yang semestinya kita miliki, penyikapan terhadap sesuatu permasalahan da’wah, juga bagaimana idealisme da’wah mereka. Hal-hal yang mungkin sulit untuk disampaikan oleh murobbi kepada kita karena keterbatasan waktu bertemu atau karena banyak hal lain yang diprioritaskan untuk disampaikan. Melalui mereka -yang mungkin tidak tahu sudah sejauh apa materi pekanan yang kita dapatkan, kita justru belajar untuk melintasi tembok-tembok limit pemahaman. Kita belajar lewat sarana-sarana penyikapan yang mereka contohkan meskipun terkadang secara teori kita belum mendapatkannya. Hingga kemudian, limit-limit pemahaman tersebut berganti menjadi corong yang siap diisikan ilmu.
Orang-orang bukan murobbi di sekitar kita, peran mereka mungkin hanya satu sisi dari sekian sisi yang harus dimiliki murobbi. Bisa jadi, mereka hanya seorang kakak, mas’ul, orang yang berilmu, atau teman satu amanah. Mereka merupakan gambaran kongkrit atas teori da’wah yang kita ketahui. Contohnya sederhananya saja, kita baru memahami tentang teori ukhuwah saat mereka dengan relanya berbagi makanan, mengunjungi kita saat sakit, atau bahkan mereka adalah orang yang pertama kali tau dan menawarkan bantuannya saat kita berada dalam kondisi yang sulit. Juga kita belajar memahami tentang tujuan da’wah melalui mimpi-mimpi yang mereka ceritakan. Atau bahkan kita belajar memahami tentang as-saja’ah (keberanian dalam da’wah) saat melihat mereka mempertahankan kebenaran yang mereka yakini. Tentu, melalui itu semua mereka menghantarkan kita hingga sampai pada pemahaman da’wah kita yang sekarang.
Sengaja ataupun tidak sengaja, orang-orang itu sangat berperan melakukan ekskalasi pemahaman kita. Melalui duduk-duduk sederhana bersama, gerutuan-gerutuan kecil, candaan, berkunjung ke tempat kos, atau sekedar traktiran milad—cara-cara sederhana itu yang menjadi sarananya. Setidaknya kita bertemu mereka lebih sering daripada murobbi kita. Itulah mengapa, apa yang sering kita bicarakan dengan mereka akan membentuk setidaknya sedikit pola pikir kita yang dengan hal tersebut sama dengan membina kita pula. Pertanyaan adalah, sadarkah atas keberadaan mereka di sekitar kita? Kemudian pertanyaan selanjutnya adalah, sadarkah kita bahwa kita pun perlu melakukan gerakan kultural ini kepada orang lain, apakah kita memiliki motivasi untuk itu? Namun, sebelumnya kita yang harus mengetahui motivasi mereka membina kita. Inilah hal-hal yang seringkali menjadi motivasi mereka,
1. Dengan maksud sebagai sarana regenerasi
Mereka membina kita dengan satu alasan yang pasti, yaitu menginginkan kita sebagai generasi penerus bisa melanjutkan tongkat estafet da’wah. Sesuai dengan surat An-Nisaa:9,
“Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.”.
Kekhawatiran mereka meninggalkan generasi yang lemah membuat mereka sadar betul untuk membina kita.
2. Dengan maksud untuk berda’wah
Sesuai dengan surat Ali Imran : 104, “Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.”.
Motivasi mereka adalah berda’wah dan siapapun orangnya, akan menjadi objek da’wah dan syi’ar kepahaman mereka. Termasuk juga kita salah satunya. Apapun motivasinya, orang-orang tersebut tentu menginginkan kebaikan ada pada diri kita.
* * *
Hanya saja kesadaran untuk melakukan gerakan kultural seperti itu kini telah sedikit meluntur. Berapa banyak dari kita yang telah melakukannya dengan sadar? Bagaimana para murobbi tidak kelimpungan dalam mengupgrade pemahaman da’wah dari binaannya, jika tidak ada orang-orang bukan murobbi yang berperan sebagai pembina pula? Sesungguhnya lingkungan dimana kita berlama-lama akan mempengaruhi bagaimana kita berkembang.
Oleh karena itu di saat para aktivis da’wah tidak menyadari pentingnya membina orang lain, yang bahkan bukan dalam rangka dirinya sebagai murobbi, tentunya di antara mereka akan kering dari nasyrul fikroh sehingga tidak terdapat sikap saling menasihati dan mengingatkan tentang kesabaran dan ketakwaan. Padahal di manapun kita berada, ketika kita membagikan mimpi, fikroh, dan arahan, di sanalah kita sedang membina. Namun membina tidak dapat dilakukan dalam durasi 1-3 hari saja melalui dauroh atau acara tertentu, namun harus terinvestasi dalam pertemuan demi pertemuan yang berfrekuensi.
Terkadang hal-hal sederhana lah yang menghantarkan kita sampai di sini. Ketulusan, ukhuwah, atau beraktivitas bersama, merupakan investasi yang sangat berharga bagi sebuah kepahaman. Dan orang-orang di sekitar kita, adik tingkat, teman, atau keluarga, juga berhak mendapatkannya dari kita. Transfer pandangan, infiltrasi mimpi, dan rekonstruksi pemahaman dilakukan sedikit demi sedikit hingga akhirnya mereka paham. Jika dulu kita lah yang mendapatkan hal tersebut, sadarkah bahwa kita pun harus melakukannya pula kepada yang lain?
Jadi, coba ingat-ingat lagi, siapa saja orang-orang bukan murobbi yang menghantarkan kita sampai di sini? Lalu, adakah orang yang sudah kita hantarkan?
Allahua’lam bisshowab.