Kita merindukan pemimpin seperti Rasulullah.Seorang pemimpin yang jauh pemikirannya dari memikirkan defisit anggaran negara karena bagi beliau hebat atau tidaknya suatu negara tidak dilihat dari menumpukkan sejumlah harta di sudut bangunan untuk membuat infrastruktur megah selayak istana sultan maupun fasilitas lainnya kepada pemimpinnya. Sebaliknya, hebatnya sebuah masyarakat ataupun peradaban dilihat dari kemudahan para sipil dalam memenuhi kebutuhan pokok sehari-harinya. Maka tidaklah heran bila Rasulullah bahkan menganjurkan para shahabatnya, khususnya para pedagang untuk membantu yang lemah dan kurang mampu.
Terkisah, di Madinah, suatu ketika harga air lebih mahal dari harga BBM hari ini. Di sana, penduduk Madinah setiap hari harus memberi air bersih kepada pemilik sumur milik Yahudi yang mungkin sudah menganut ajaran liberal sejak jaman nenek moyangnya di lahirkan. Sang yahudi itu menjual air bersih tersebut dengan harga mahal hingga membuat banyak kaum Muslimin merasa berat dan susah kehidupannya.
Maka Rasulullah mengumpulkan shahabatnya secara khusus hanya untuk menyampaikan haditsnya:
“Wahai Sahabatku, siapa saja diantara kalian yang menyumbangkan hartanya untuk dapat membebaskan sumur itu, lalu menyumbangkannya untuk umat, maka akan mendapat surgaNya Allah Ta’ala.” (HR. Muslim).
Mendengar perkataan Rasulullah, Ustman bin Affan tidak menunggu lama. dia bergegas menuju kearah kediaman sang Yahudi dan berkata:
“Jual-lah sumurmu untukku, berapapun harga yang engkau inginkan.”
Sang Yahudi, dengan pemikiran liberal nenek moyangnya tahu bila sumurnya dijual, maka dia akan kehilangan penghasilan hariannya. Maka ia pun berkata:
“Tidak bisa! Sumur ini tidak akan kujual sampai kapanpun!”
Utsman bin Affan tidak hilang akal. Ia pun memberi alternatif lainnya.
“Jual-lah kepadaku setengah saja.”
“Bagaimana caranya aku menjual kepadamu setengah saja?”
“Aku membelinya dengan harga yang engkau sepakati. Namun aku memakai pada hari ini dan engkau memakai di hari setelahnya dan kemudian hak aku memakainya dan setelah itu hak engkau menggunakannya begitulah terus menerus hingga akhir masa.”
Sang Yahudi tersebut setuju dengan penawaran Ustman ibn Affan karena merasa masih mendapatkan keuntungan yang cukup besar setiap berselang satu hari.
Oleh Utsman, sumur yang bernama Raumah itu dibeli dengan harga 20.000 dirham (sekitar Rp1 Milyar untuk saat ini) dan dikemudian airnya di wakafkan kepada kaum Muslimin secara cuma-cuma di hari gilirannya.
Maka berbondong-bondong kaum Muslimin datang ke sumur Raumah di hari miliknya Ustman dan tidak lagi mendatangi sumur tersebut di hari miliknya Yahudi. Merasa konsep liberalnya telah patah dihadapan konsep hibah dan wakaf, maka sang Yahudi pun berkata kepada Ustman bin Affan.
“Wahai Ustman, engkau telah berhasil membuatku tidak berdaya dengan kemurahanmu. Maka ambillah bagianku yang setengah dengan harga yang sama dengan setengahnya.”
Utsmanpun menerima penawaran sang yahudi dan kemudian membayarkan 20.000 dirham tambahan hingga kaum Muslimin dapat mendatangi sumur tersebut sesuka hatinya.
Buah dari kebaikan khalifah Ustman ini terus saja terasa hingga saat ini. Hingga di saat ini, 1400 tahun setelah kematian beliau, masih ada rekening bank di Kerajaan Saudi dengan nama beliau yang uangnya masuk dari pendirian bangunan hotel di atas tanah hibah milik beliau. Hasil bagi hasil dari pembangunan hotel tersebut disumbangkan kepada fakir miskin dan anak yatim hingga kini.
Pertanyaan besarnya yang kini harus ditujukan kepada kita adalah, apakah kita ingin memiliki pemimpin seperti ini? atau memilih menerima pemimpin yang selalu saja berkata kepada kita, “Kita kembalikan ke mekanisme pasar hingga air dan minyak pun dijual mahal selayak Yahudi menjual air di kota Madinah?”
Setidaknya bila kita belum memiliki pemimpin selayak Ustman, marilah kita berusaha menjadi seorang muslimin yang tetap bersedekah dan membantu kaum muslimin lain yang semakin sengsara sejak kenaikan bahan pokok menyusul di umumkannya kenaikan harga BBM.