Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah (Aswaja) adalah aqidah pertengahan, moderat. Tidak terlalu ke kanan dan tidak terlalu ke kiri. Tidak berlebihan dan juga tidak menggampangkan. Demikian sesuai karakter umat ini sebagai umat yang adil dan pertengahan. Allah Swt berfirman, “Dan demikian Kami jadikan kamu umat yang pertengahan agar kamu menjadi saksi atas manusia (umat sebelummu) dan Rasulullah menjadi saksi atas kamu.” (QS. Al-Baqarah: 143)
Kaum Muslimin tidak seperti kaum Nasrani yang menuhankan Isa, dan tidak seperti Yahudi yang menganggap Uzair sebagai anak Allah. Kaum Muslimin pun tidak mengajarkan kerahiban yang anti-dunia seperti Nasrani, dan pula tak seperti Yahudi yang mengaku sebagai anak dan kekasih Allah. Rasulullah Saw bersabda, “Peganglah petunjuk yang moderat (qaashidan), karena sesungguhnya orang yang memberat-beratkan agama, dia akan kalah.” (HR. Ahmad dari Buraidah). Seorang ulama tabi’in, Mutharrif bin Abdillah Asy-Syikhkhir berkata, “Sebaik-baik perkara adalah yang tengah-tengahnya.” (HR. Al-Baihaqi)
Aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah sulit dilepaskan dari dua kelompok besar, yakni Asya’irah (termasuk Maturidiyah) dan Salafiyah. Keduanya mempunyai perbedaan dalam menyikapi nama-nama dan sifat-sifat Allah. Namun, banyak kesamaan dalam beberapa masalah. Ketika menafsirkan ayat, “Pada hari wajah-wajah menjadi putih dan wajah-wajah menjadi hitam.” (QS. Ali ‘Imran: 106), Ibnu Katsir berkata, “Maksudnya yaitu pada hari kiamat, di mana wajah-wajah Ahlus Sunnah wal Jama’ah menjadi putih, dan wajah-wajah ahlul bid’ah dan kelompok-kelompok sesat menjadi hitam.” (Tafsir Al-Qur`an Al-‘Azhim)
Namun demikian, sikap moderat bukan berarti harus lunak dalam segala hal dan di setiap waktu. Sebab, Islam mempunyai sikap yang jelas dan tegas dalam hal-hal tertentu, terutama ketika kehormatannya dilecehkan. Demikian beberapa poin kemoderatan Islam dalam masalah aqidah:
Kasus Sahabat Nabi
Di antara konsep ‘jalan tengah’ dalam aqidah Aswaja adalah bersikap moderat kepada para sahabat Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam, yakni tidak mengkultuskan mereka, tidak mencela, dan tidak merendahkan. Aswaja menempatkan para sahabat dalam posisi yang mulia, mencintai mereka, meyakini keadilannya, dan tidak turut campur dalam perselisihan yang pernah terjadi di antara mereka.
Allah Ta’ala berfirman, “Orang-orang yang lebih dulu lagi pertama-tama (masuk Islam) dari kaum Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik; Allah meridhai mereka dan mereka pun ridha kepada Allah.” (QS. At-Taubah: 100)
Saat ditanya tentang pertikaian yang terjadi antara Ali dan Muawiyah, Umar bin Abdil Aziz berkata, “Itu adalah darah di mana Allah membersihkan tanganku dari turut campur di dalamnya. Karenanya, aku tidak ingin mengotori lisanku dengan membicarakannya.” (Al-Inshaf, Al-Baqillani)
Menjawab pertanyaan senada, Imam Ahmad membaca ayat 134 surat Al-Baqarah, “Itu adalah umat yang telah lalu. Mereka mendapatkan balasan apa yang mereka lakukan, dan kamu pun mendapatkan balasan apa yang kamu lakukan. Dan, kamu tidak akan ditanya tentang apa yang telah mereka lakukan.” (Al-Bidayah wan Nihayah, Ibnu Katsir)
Ibnu Hajar berkata, “Ahlus Sunnah sepakat atas wajibnya menahan diri dengan tidak mencela seorang pun dari sahabat dikarenakan peperangan yang terjadi di antara mereka, sekalipun diketahui siapa yang benar di antara mereka. Sebab, mereka tidak berperang melainkan dengan ijtihad, di mana Allah Ta’ala memaafkan orang yang salah dalam berijtihad. Bahkan hadits shahih mengatakan bahwa orang yang salah dalam ijtihadnya mendapatkan satu pahala, sementara yang benar mendapatkan dua pahala.” (Fathul Bari)
Sementara Ibnu Taimiyah mengatakan, “Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jama’ah adalah bersihnya hati dan lisan mereka terhadap para sahabat Rasulullah Saw.” (Al-‘Aqidah Al-Wasithiyah). Ibnu Katsir berkata, “Dan sahabat semuanya adalah adil menurut Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Karena Allah telah memuji mereka dalam Kitab-Nya yang mulia. Dan juga karena Sunnah Nabawiyah menyatakan demikian ketika memuji mereka dalam seluruh akhlak dan perbuatan mereka.” (Al-Ba’its Al-Hatsits)
Lalu, bagaimana hukum orang yang mencela sahabat? Para ulama berbeda pendapat; ada yang mengatakan zindiq, kafir, ahlul bid’ah, dan ada juga yang mengatakan dibunuh. Imam Malik berkata, “Barangsiapa yang mencela salah seorang sahabat Nabi Muhammad Saw… , jika dia mengatakan bahwa mereka berada dalam kesesatan atau kekufuran; dia boleh dibunuh.” (Hukmu Sabbillah Ta’ala wa Ar-Rasul wa Ash-Shahabah/Syaikh Abdul Malik Al-Qasim)
Ibnu Hazm berkata, “Para sahabat semuanya adalah ahlul jannah. Artinya, siapa yang mencela sahabat dan memusuhi mereka, tak lain adalah musuh yang jauh dari rahmat Allah, busuk akhlaqnya, dan zindiq.” (Al-Lawami’, As-Safarini). Abu Zur’ah berkata, “Apabila engkau melihat seseorang menjelek-jelekkan salah seorang sahabat Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam, maka ketahuilah bahwa dia adalah zindiq.” (Tarikh Dimasyq). Al-Qadhi Abu Ya’la (w. 458 H) berkata, “Para fuqaha sepakat tentang hukum orang yang mencela sahabat, sekiranya dia menganggap sahabat tersebut halal darahnya, maka dia adalah kafir. Tetapi, jika dia tidak menganggap demikian, maka dia adalah fasiq.” (Hiwar Hadi` Ma’a Du’at At-Taqrib Ma’a Asy-Syi’ah, Abu Mush’ab)
Sebagian ulama mendasarkan pendapat mereka pada sabda Rasulullah Saw berikut, “Barangsiapa menyakiti sahabatku, maka dia juga menyakitiku. Dan siapa yang menyakitiku, sungguh dia telah menyakiti Allah.” HR. Ahmad (16201) dan At-Tirmidzi (3797) dari Abdullah bin Mughaffal.
Tindakan mencela apalagi sampai mengkafirkan sahabat Nabi adalah sikap melampaui batas. Dalam kitab Al-Iqtishad fil I’tiqad, Imam Al-Ghazali mengatakan: “Hendaknya kita hati-hati dalam mengafirkan orang lain selama masih ada jalan. Sebab, menghalalkan darah dan harta orang yang shalat ke arah kiblat, yang jelas-jelas mengatakan La ilaha illallah Muhammad Rasullullah; adalah salah!”
Oleh: Abduh Zulfidar Akaha
Alumnus Universitas al-Azhar, Kairo