“Demi Allah, salah seorang dari kalian tidak akan dianggap beriman hingga diriku lebih dia cintai dari pada orang tua, anaknya dan seluruh manusia.” (HR. Al Bukhari)
Keriut perut perempuan itu kian menjadi. Rasa raga yang tersiksa nampak dari pucat wajahnya dan tubuhnya yang lemah. Ia tampakkan wajah pasinya kepada putera Umair, hingga memancing tanya untuk perempuan itu, apakah yang menyebabkan wajahnya terlihat lesu tak bertenaga. Rupanya, sang perempuan telah berjanji kepada berhala, tuhannya, untuk tak menjamah makanan hingga lelaki muda di hadapannya meninggalkan agama barunya, Islam.
Maka dengan ketegasan karakter yang terwariskan dari sang perempuan tua, si pemuda, Mush’ab berkata, “Andaikata Ibunda memiliki seratus nyawa, dan nyawa itu lolos satu-persatu dari raga Ibunda, niscaya aku tidak akan meninggalkan Islam.” Lepas sudah harapan akan rasa iba yang dari puteranya tercinta saat melihat keadaannya, harapannya sirna seketika. Maka sadarlah sang perempuan tua, putera yang dimanjakannya sejak kecil dengan kasih sayang berlimpah dan harta yang tak dimiliki oleh pemuda pemuda lain, akan meninggalkannya demi agama barunya, bersama Muhammad.
Tak ada yang menyangkal cinta seorang Mush’ab kepada ibunya. Perempuan itu telah melimpahkan kasih sayang dan memanjakannya. Perempuan itu juga yang memakaikannya pakaian-pakaian terindah dan menyuburkan ketampanannya, hingga ia menjadi lelaki idola di antero Makkah. Masa-masa kejayaan yang membuatnya dipuji dan dipuja adalah buah kasih ibunya, pemuda itu tak menyangkalnya. Namun kini, kecintaannya terhadap sang bunda, ternyata mensyaratkan hal yang tak mungkin dilakukannya. Berpisah dari Muhammad dan agama barunya, dua hal yang begitu ia cintai.
Setiap cinta pasti ada maharnya. Bahkan cinta yang tulus sekalipun, yang diakui tanpa mengharap imbalan apapun ternyata masih menyiratkan mahar. Kasih sayang tulus orang tua terhadap anaknya, pun masih mengharap kebanggan yang diukir oleh sang buah hati. Apalagi cinta bagi sepasang kekasih, ada berbagai harap yang harus terlunasi satu sama lain, agar cinta semakin terlekat di hati. Bahkan cinta tak berbalas milik orang-orang yang ditinggalkan, masih berharap kebahagiaan bagi orang yang meninggalkannya, duka orang yang dicintai pun mampu menyakiti raganya.
Manusia diberi fithrah untuk mencintai, tak hanya satu, namun banyak hal. Cinta kepada Allah dan Rasulnya tentu yang utama, seharusnya. Lalu isteri dan anak-anak, orang tua, kerabat, sahabat, perniagaan. Bahkan juga cinta kepada diri sendiri, seperti yang sempat dikatakan Umar bin Khatthab RA, kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau lebih aku cintai dari segala sesuatu kecuali dari diriku sendiri.”
Namun apa yang terjadi, ketika cinta yang utama, cinta kepada Allah dan Rasulnya lantas terusik oleh cinta- cinta yang lain? Bayangkan jika cinta kepada seorang ibu ternyata mensyaratkan lepasnya cinta kepada Alah dan RasulNya seperti yng pernah dialami Mush’ab bin Umair. Atau bayangkan jika kekasih anda, suami atau isteri ternyata membenci Allah dan Rasulnya, layaknya isteri Nabi Luth dan Nuh.
Maka cinta mana yang harus anda pilih?
Jika jadwal pengajian pekanan, harus mengalah dengan rajukan isteri tercinta . Atau jika kewajiban berhijab, bukti penjagaan Illahi kepada kaum hawa, justru dimentahkan suami tersayang yang memandangnya tak seksi. Atau jika sholat menjadi bahan olok-olok di kalangan sebaya yang dibanggakan?
Adakah akan terpilih cinta dunia, yang menyenangkan, yang mengabulkan hajat cinta terhadap belahan jiwa, namun menanggalkan cinta kepada Pencipta dan pemberi syafaat bagi manusia? Atau akan terpilih cinta Allah dan RasulNya.
Syahadat, persaksian cinta kita kepada agama ini adalah ikrar untuk mencintai Allah dan Rasulnya di atas segalanya. Maka harusnya lebur, cinta yang mensyaratkan untuk meninggalkan cinta utama.
Mencintalah karena Allah, mencintalah kepada orang-orang yang mencintaiNya, cintalah kepada orang-orang yang cinta kepada Rasulullah. Agar tak ada mahar cinta yang bertentangan dengan aqidah.
Semakin besar cinta manusia kepada Allah dan RasulNya, maka semakin layak manusia itu dicintai. Sebab membersamainya mampu meningkatkan keimanan. Sebab bersamanya menambah kebeerkahan. Sebab membersamainya senantiasa mengajak kepada ridho Illahi.
Beberapa manusia yang mencinta dalam dimensi ini, harusnya saling meneguhkan dalam kebaikan, saling menguatkan dalam perjuangan. Dua manusia yang saling mencinta dalam dimensi ini, harsunya tak saling meruntuhkan semangat berjihad di jalanNya, harusnya tak saling bermanja untuk kepentingan dunia semata.
Wajiblah, jika demikian bagi seorang mukmin, mencintai kepada pecinta Allah dan RasulNya. Agar cinta berjalan menuju muara yang sama. Atau, jika mampu, mengajak orang yang kita cintai melabuhkan cintanya kepada Allah dan Rasulnya.Agar tak ada lagi mahar cinta yang menggugurkan persaksian kita.
Maka aneh jika ada ajaran yang mengajarkan untuk mencintai Allah, Rasulullah dan keluarga Rasulullah. Namun di sisi lain melaknati orang-orang yang begitu tulus mencintai dan dicintai Rasulullah. Tentu ada yang salah dengan ajaran itu.
Dan Umar pun meralat deklarasi cintanya kepada dirinya sendiri, saat Rasulullah menjawab, tidak! Demi Allah, hingga aku lebih engkau cintai daripada dirimu sendiri.”Maka Umar pun berkata, “demi Allah, sekarang engkau lebih aku cintai daripada diriku sendiri!” (HR Bukhari)