Kitab Al Quran yang merupakan pusat ajaran Islam telah menjadi bahan pengkajian yang tidak pernah kering. Ia selalu digali agar ditemukan berbagai mutiara dari dalam kandungannya. Sepanjang perjalanan sejarah Al Quran, berbagai kalangan telah menumpahkan segenap waktu, tenaga dan fikirannya untuk selalu dapat berinteraksi dengan kalam yang mulia tersebut. Semakin intens perhatian yang diarahkan kepadanya, semakin besar daya tarik yang ia pancarkan dan daya tarik tersebut tidak pernah habis dan selalu tampak menarik bagaikan kilauan sudut permata yang begitu indah.
Salah satu jenis kajian yang terus berkembang seiring perjalanan waktu adalah kajian ilmu tafsir. Dalam setiap kurun waktu tertentu, cabang ini telah menghasilkan pemikir-pemikir yang brilian yang telah mampu menjelaskan berbagai macam makna yang dikandung oleh Al Quran dan menghasilkan karya-karya besar.
Tak pelak lagi, nama Husain Az-Zahabi menjadi salah satu nama yang paling popular dalam memperlajari ilmu-ilmu tafsir lewat bukunya Tafsir wal Mufasirun yang banyak menjadi rujukan mahasiswa Islam di seluruh dunia dalam bidang tafsir.
Profil Muhammad Husain Az-Zahabi
Muhammad Husain Az-Zahabi lahir di desa Matubis pada tahun 1915 M. Mendapat gelar doktoral dalam bidang Tafsir dan Hadits pada tahun 1944 M, lalu menjadi dosen bidang As-Syari’ah wal Qanun di Universitas Al-Azhar. Tahun 1968 ditunjuk Universitas Kuwait untuk mengampu dosen bidang Tafsir dan Hadits dan pada tahun 1971 kembali ke Mesir untuk mengajar kuliyah Ushuluddin.
Pada tanggal 15 April 1975 beliau terpilih menjadi Mentri Waqaf. Namun beliau hanya bertahan satu tahun saja sampai pada tahun 1976. Walau hanya sebentar menjabat sebagai mentri, tetapi beliau telah menunjukkan sikap-sikap terpuji yang layak ditiru pemimpin manapun. Seperti beliau menolak security khusus di depan rumahnya, dan untuk setiap malam rumahnya selalu ramai dengan kajian-kajian Islam yang terbuka bagi siapa saja yang hendak mengikuti.
Husain Az-Zahabi termasuk salah satu ulama tahun tujuh puluhan yang memberikan seluruh ilmunya untuk meninggikan bendera Islam dan melawan kedhaliman dalam berbagai bentuk. Menurutnya dakwah Islam harus dilakukan dengan cara yang baik, bukan dengan kekerasan atau terorisme dan menurutnya penegakan hukum Islam adalah jalan keluar untuk segala problematika umat baik dalam akhlaq, politik ekonomi. Beliau juga memandang bahwa pemikiran Islam harus dibersihkan dari segala macam bentuk khurafat dan kesesatan dan hari ini suara kesesatan lebih kuat daripada suara kebenaran.
Perjalanan dakwah tak pernah lekang dari aral rintangan yang bisa sampai pada pembunuhan, dan itu beliau alami. Di zaman beliau muncul sekelompok orang yang sangat mudah mengkafirkan manusia dikarenakan bukan termassuk dalam golongannya, seperti yang terjadi dalam ajaran Jama’ah Takfir wal Hijrah pimpinan Sukri Musthafa di Mesir.
WAMY dalam bukunya Al-Maushu’ah Al-Muyassarah fil Adyan wal Mazahib wal Ahzab Al-Mu’ashirah memasukkan kelompok ini dalam pembahasan kelompok-kelompok yang ekstrim. Di antara ideologinya; mengkafirkan orang yang tidak bergabung dengan kelompoknya, mengkafirkan penguasa tanpa ada perincian, dalil berupa ijma’, qiyas, mashalih mursalah, istihsan dianggap sebagai bentuk kemusyrikan, menolak penafsiran dan pendapat para ulama terdahulu, menyatakan tidak wajib shalat di masjid-masjid yang ada sekarang karena masjid-masjid tersebut dianggap masjid dhirar.
Dikarenakan sikap Husain Az-Zahabi yang kritis terhadap keyakinan kelompok tersebut, maka kelompok ini mengeluarkan fatwa bahwa darah Muhammad Husain Az-Zahabi halal dan mereka memutuskan untuk menculik dan membunuhnya. Akhirnya penulis buku monumental Tafsir wal Mufassirun tersebut wafat di tangan mereka pada tanggal 4 Juli 1977.
Jasad beliau dishalatkan di masjid jami’ Al-Azhar dan yang menjadi imamnya Syaikh Shalih Al-Ja’fari. Beribu-ribu orang ikut menshalatkannya dari teman, murid-murid dan orang-orang yang mengenalnya dan mengetahui budi pekertinya. Sebagai pernghormatan baginya, jasad beliau dimakamkan di komplek makam keluarga Imam Syafi’i.
Karya-karya Dr. Muhammad Husain Az-Zahabi
Di antara karangan-karangan beliau adalah: Tafsir wal Mufassirun, Al-Israiliyat Fit Tafsir wal Hadits, Al-Ittihajat Al-Munhafirah Fit Tafsir, Ibnu Arabi wa Tafsirul Quran, Al-Wahyu, Muqaddimah Fi Ulumil Quran, Muqaddimah Fi Ulumil Hadits, Atsaru Iqamatul Hudud Fi Istiqraril Mujtama’, Maliyah Ad-Daulah Al-Islamiyyah, Mauqiful Muslim Fid Diyanat As-Samawiyah, Ahwal As-Saykhshiyyah Baina Ahlus Sunnah wal Ja’fariyyah.
Sekilas Tentang Tafsir wal Mufassirun
Kitab ini memiliki beberapa kelebihan yang belum tentu ada pada kitab-kitab lainnya. Kitab ini keluar ketika masa-masa kitab-kitab induk masih dalam bentuk manuskrip-manuskrip, sehingga penulis harus mendatangi setiap perpustakaan Islam untuk mencari referensi. Hari ini, kitab sangat mudah kita dapat, perpustakaan dekat, teman punya bahkan di internet juga sudah ada. Kitab ini Membahas metode-metode mufasir yang ketika itu belum dicetak dan menjadi referensi utama peneliti bidang tafsir di zamannya, seperti Dr. Abdul Wahab Fayad yang menulis metode tafsir Ibnu Athiyyah. Dan kitab ini menjadi bukti nyata dari keseriusan Az-Zahabi dalam ilmu pengetahuan.
Kelebihan utama dari kitab ini adalah dalam pengumpulan dan kodifikasi, namun karena pembahasannya yang banyak, dan referensi yang minim, beliau tetap jatuh pada kesalahan terutama dalam pembahasan periodisasi tafsir dan pembukuannya.
Syaikh Musa’id Ath-Thayyar, dosen di Universitas Ummul Qura dan pendiri forum Multaqa Ahlul Quran telah membahasnya dalam sebuah artikel bahasa Arab yang berjudul At-Tankiit ala Marahilit Tafsir wa Tadwinuhu fi Kitabit Tafsir wal Mufassirun li Muhammad Husain Az-Zahabi. Seperti di juz 1 hal 98 menyebutkan bahwa riwayat tafsir bercampur dengan riwayat-riwayat hadits. Syaikh Musa’id Ath-Thayyar menyanggahnya dengan mengatakan realita sejarah menyatakan sebaliknya. Buktinya ada kalangan sahabat, tabi’in dan tabi’it tabi’in yang dikenal lewat tafsir mereka dan di Juz 1 hal 131 menyebutkan tentang kodifikasi tafsir pada masa tabi’in, padahal para peneliti masih berselisih pendapat tentang pembatasan masa tabi’in dan tabi’ut tabi’in, sehingga pembagian masanya belum tentu tepat.
Kisah Az-Zahabi dan Al-Bayumi
Di sebuah forum Islam berbahasa arab, Multaqa Ahlut Tafsir atau Forum Ahlut Tafsir, saya mendapatkan kisah antara Dr. Muhammad Husain Az-Zahabi dan Dr. Muhammad Rajab Al-Bayumi, mahasiswanya dulu.
Rajab Al-Bayumi baru bertemu dengan Husain Az-Zahabi sebanyak tiga kali, pada pertemuan mereka yang kedua. Mereka bertemu setelah Al-Bayumi selesai menulis buku berjudul Khuthuwath At-tafsir Al-Bayani. Di buku itu Al-Bayumi mengkritik Az-Zahabi yang memasukkan dua ulama Al-Azhar yaitu Syaikh Hamid Muhasin dan Syaikh Abdul Muta’al As-Sha’idi ke dalam tafsir ilhad.
Ketika mereka bertemu, Az-Zahabi menyambutnya dengan tangan terbuka sambil mengatakan Hai Rajab sungguh engkau telah memberiku ilmu..! Lalu dengan besar hati Az-Zahabi mengakui kesalahannya, ketika itu dia menganggap makna ilhad dengan mail atau kecondongan, sehingga yang beliau maksud bahwa dua syaikh tadi melenceng dan tidak lurus. Lalu dibantah oleh Al-Bayumi, memang makna Ilhad secara bahasa itu mail tetapi secara istilah berarti kufur. Dan beliau mengakui ia salah dan Al-Bayumi yang benar.
Demikianlah akhlaq mulia dari Husain Az-Zahabi, dan saya yakin sekiranya Syaikh Musa’id Ath-Thayyar memberi kritikannya ketika beliau masih hidup, pasti akan beliau terima dengan lapang dada seperti sikapnya di atas ketika mendapat kritikan dari murdinya, Dr. Muhammad Rajab Al-Bayumi.