“Katanya kakak seorang ‘mujahid’…, kok nonton TV melulu…?” celoteh seorang bocah TK pada kakak lelakinya yang sudah setengah hari itu hanya menghabiskan waktu duduk di depan televisi. Saya tersenyum dan cengar-cengir sendiri menyaksikan tingkah polah anak-anak itu. Anak-anak memang ajaib. Kepolosannya kadang memang ‘nonjok’ di hati. Padahal, buntut-buntutnya maksud si bocah tadi ingin agar channel televisinya diganti, dengan meminta sang kakak berhenti nonton TV dan berakivitas yang lain. Tapi, ditelinga saya, kata-kata ‘mujahid’ dan ‘nonton TV melulu’ cukup menggelitik
Ahh, ini bukan soal mujahid yang tak boleh nonton televisi. Juga bukan karena saya tersindir, karena memang saya sangat jarang nonton TV dan saya ingin anak saya pun tidak menjadi ‘pecandu’ televisi. Yang menggelitik saya, sederhana saja, hanya tentang ‘mental sang mujahid’ yang tak sesuai dengan apa yang seharusnya. Saya yakin benar, sebutan ‘mujahid’ yang biasa digunakan sang kakak untuk menyebut dirinya didepan kami memang hanya sebatas ‘nama keren’ dan julukan penyemangat a la anak-anak. Maksudnya jelas, agar ia menjadi sosok yang ber-mujahadah, yang mau berusaha keras dalam setiap ia menyelesaikan tugas-tugasnya.
Disini, saya tidak membatasi penggunaan kata ‘mujahid’ hanya sebatas pada mereka yang secara langsung turun berlaga di medan perang, tapi kita kembali pada maknanya yang demikian luas, meliputi seluruh yang berupaya dan berusaha keras dalam usahanya. Termasuk pula, mereka yang sedang berupaya keras membangun peradaban, baik kiprahnya dalam skala kecil dalam lingkup rumah tangganya, atau dalam percaturan yang lebih luas lagi.
Saya teringat buku yang terbit sekitar tahun 2007, karya Dr. Madjid Irsan Al Kilani, yang diterjemahkan oleh Ustadz Aseb Shobari, Lc. dan Ustadz Amaluddin Lc, MA. berjudul ‘Misteri Masa Kelam Islam dan Kemenangan Perang Salib: Refleksi 50 Tahun Gerakan Da’wah Para Ulama untuk Membangkitkan Umat dan Merebut Palestina’.
Islam yang syamil dan mutakamil, tak menjadikan paham sekuler berlaku dalam sepak terjangnya. Dimana tarbiyah yang membangkitkan umat, sekaligus merupakan upaya merebut kembali tanah Palestina sebagai tanah warisan dari Al Faruq Umar bin Khathab. Dimana pendidikan terhadap kokohnya aqidah dan akhlaq umatnya, sekaligus merupakan pengukuhan kedudukan dan kedaulatan shiyasi di muka bumi. Urusan agama dan negara, dalam islam bukanlah hal terpisah, melainkan seiring dan sejalan.
Dalam upaya membangkitan umat, Dr. Majdid menuliskan peran seorang ‘ulama besar yang kiprahnya dalam masalah keilmuan tak lagi diragukan, beliau adalah Imam Al Ghazali. Menurutnya, dalam melakukan perubahan yang mendasar pada umat, demi terciptanya satu bangunan peradaban yang mulia dan dimuliakan, Al Ghazali memfokuskan pada upaya mengatasi masalah kondisi umat yang layak menerima kakalahan. Jika ada penggunaan kata ‘layak’, maka biasanya akan menggiring pada seabrek faktor dan kriteria, yang menjadikan sesuatu itu layak dan tidak layak.
Imam Al Ghazali mencoba mencari faktor dasar kelemahan umat dan berusaha memcari penyelesaian untuk mengatasinya, ketimbang sibuk menuding-nuding musuh sebagai biang keladi atas ketidaklayakan ‘umatnya’ untuk menang alias ‘umat yang layak menerima kekalahan’. Mungkin senada dengan celotehan bocah tadi ketika ‘menyindir’ sang kakak yang mengaku mujahid tapi melalaikan apa yang seharusnya dilakukan sang mujahid sejati. Memang kadang, banyak dari kita yang sibuk menyalahkan musuh dari luar yang dengan tipu dayanya memang merugikan kita, sementara melupakan ‘ulah kita’ di dalam tubuh kita sendiri yang memang juga mampu merugikan kita.
Dr. Majdid menuliskan, ‘Al Ghazali lebih memfokuskan usahanya untuk membersihkan masyarakat muslim dari berbagai penyakit yang menggerogotinya dari dalam dan pentingnya mempersiapkan kaum muslim agar mampu mengemban risala Islam kembali sehingga da’wah Islam merambah seluruh pelosok bumi dan pilar-pilar iman dan kedamaian dapat tegak dengan kokoh.’
Dan simpulan dari strategi yang dilancarkan Imam Al Ghazali dalam membenahi masalah umat dalam rangka membangkitkannya, adalah bermula dari masalah keilmuan dan keulamaan. Bagaimanapun, ilmu adalah pondasi, dasar, dan asas dari keimanan, yang nantinya akan melahirkan berbagai amalan berupa gerak yang menggerakkan. Ini sejalan dengan Fiqh Aulawiyat, yang mendudukkan keutamaan ilmu atas ‘amal. Karya-karya besar yang ada pun dialami dengan mengupas pentingnya kedudukan ilmu, dan diletakkanlah Kitabul Ilmi sebagai bab pembuka dalam banyak buku-buku kajian.
Masalah keilmuan, sperti yang difokuskan oleh Imam Al Ghazali, yang ada di dalam tubuh umat kebanyakan jelas hanya satu dari sekian banyak maslah internal yang berpotensi menghancurkan umat itu sendiri, atau setidaknya menjadi penghambat tumbuh kembangnya bangunan peradaban yang kita retas. Masih banyak masalah-masalah internal yang melemahkan, yang menuntut untuk segera disentuh, yang kadang terabaikan karena sibuknya kita menuding-nuding musuh dari luar sebagai sumber utama yang menghancurkan peradaban kita. Kadang kita melupakan bahwa musuh terbesar kita adalah kelemahan kita sendiri, yang mungkin ‘terlalu santai banyak nonton televisi’, seperti si mujahid tadi.
Dari Imam Al Ghazali, muncullah ‘produk berkualitas’ yang menjadi cermin kebangkitan umat di masanya, Shalahuddin Al Ayubi. Cermin kejayaan umat Islam kala itu, dimana generasi-generasi ‘Shalahuddin’ yang tangguh secara aqidah, kokoh keilmuannya, murni ibadahnya, dan unggul dalam akhlaqnya mampu menghadirkan bukti nyata kemenangan gemilang merebut bumi para nabi itu. Generasi yang mampu menorehkan ulang tinta emas dalam tarikh Islam, menyusul kejayaan kejayaan yang diretas pendahulunya yang sempat meredup karena kelalaian generasi sesaat sebelumnya. Generasi Shalahuddin yang mampu meninggikan bangunan peradaban baru, dari generasi yang lemah dan ‘layak kalah’, menjadi generasi yang kuat dan disegani.
Kegemilangan generasi Shalahuddin adalah masa kejayaan yang diperoleh oleh mereka yang berkualitas sama atau setidaknya mampu mendekati kualitas generasi terbaik, generasi semasa rasulullah shalallahu’alayhi wassalam. Kita tentu masih ingat salah satu bab dalam buku ‘Jalan Cinta Para Pejuang’, karya Ustadz Salim A. Fillah, dimana Shalahuddin Al Ayubi demikian detail memilih dan memilah, menyeleksi, orang-orang yang layak diajak ‘berjuang’. Karena kemenangan haqiqi tak akan diberikan pada mereka yang tak layak mendapatkannya. Maka, dengan tentara berkualitas super dalam shoum-nya, qiyamul lail-nya, dalam shalat berjama’ah-nya, dan konsistensi tilaatil qur’annya, mereka berangkat dan pulang dengan bukti nyata yang dihadirkannya, kemenangan atas izin Allah subhanahu wata’ala.
Jika dikata roda zaman terus berputar, hingga satu kaum dimenangkan lalu dikalahkan dan dimenangkan lagi, maka memang tak ada yang tahu seberapa lama rentang kekalahan yang menyayat akan dialami, atau lamanya nikmat kemenangan akan dirasa, kecuali Allah yang memang berkuasa atas segalanya. Dan kita sebagai umat Islam dituntut untuk bermujahadah dalam membangun satu peradabannya yang melahirkan generasi sekualitas ‘generasi Shalahuddin’. Mengapa tak sekalian sekualitas ‘Khalid ibn Walid’, ‘Umar Ibn Khaththab, atau shahabat yang lain? Karena memang mereka besutan Rasulullah yang jelas tak tertandingi oleh manusia manapun. Tapi, tak ada salahnya mencoba setidaknya menyerupakan kualitas umat ini seperti mereka, agar kegemilangan mereka tak hanya kita rasakan dari pancaran semangat penulisan kisah di buku-buku tarikh dan shirah saja, tapi juga kita lakoni di alam nyata, dalam peradaban Islam yang kembali kita retas.
Jika dikaitkan dengan peradaban di negeri ini, tentu kita masih ingat, dalam pelajaran sejarah nasional, ketika kita membahas bagian kerajaan-kerajaan Hindu di tanah Jawa, kita pernah diperkenalkan dengan istilah ‘Jangka Jayabaya’, yang merupakan ramalan dari Prabu Jayabaya seorang raja di Kerajaan Kediri. Pak Izhak Rafick dalam buku hasil ‘investigasi’nya selama sepuluh tahun bejudul ‘Catatan Hitam Lima Presiden Indonesia’ juga pernah mengulas singkat tentang ramalan ini. Kurang lebihnya adalah yang berkaitan dengan ramalan bahwa Nusantara (Indonesia, pen) akan sejahtera dibawah pimpinan Ratu Adil yang ke-tujuh, dan memang ada sekelompok orang yang mempercayai ramalan ini.
Silahkan menghitung sudah berapa ratu yang memimpin, serta siapa dan kapan ratu ke-tujuh itu akan muncul membawa kedamaian di negeri Ini. Jelas saya, dan saya yakin, Anda para pembaca, pun insyaallah bukan termasuk orang yang mempercayai ramalan. Yang disayangkan adalah sebagian orang yang mempercayai ramalan ini, dan menanti-nanti hadirnya Ratu Adil ke-tujuh itu. Padahal, sebagai sekelompok Mujahidin, tak semestinya hari-hari diisi dengan menunggu munculnya ‘Sang ratu Adil’ sebagai pemimpin yang agung itu, karena harus kitalah yang berusaha mencetaknya. Kitalah, yang harus berusaha mencetak genarasi sekualitas Shalahuddin yang akan melahirkan pemimpin berkualitas.
Pasang surutnya suatu peradaban memang sunatullah, dimana di antara perguliran zaman adakalanya satu kaum berikut peradabannya akan dimenangkan dan dikalahkan, lalu dimenangkan lagi dan dikalahkan lagi. Yang menjadi tugas kita kini adalah serangkaian mujahadah untuk mewujudkan kemenangan dan kejayaan itu. Arnold Toynbee, seorang pakar sejarah, menyebutkan bahwa antara kematian dan kebangkitan suatu peradaban, terdapat kelompok yang disebut sebagai creative minorities yang dengan kemampuan spiritualnya yang mendalam atau motivasi agama (religious motivation) bekerja keras untuk melahirkan satu peradaban baru dari reruntuhan peradaban lama.
Maka jika dikaitkan dengan masa kita dan peradaban Islam saat ini, menurut Dr. Ardian Husaini, creative minorities itu adalah kader-kader umat yang tangguh yang memiliki keilmuwan yang benar, mencintai mujahadah, ikhlas dan zuhud terhadap dunia. Inilah satu strategi peradaban yang perlu disiapkan untuk membangun masa depan Islam yang gemilang. Jika umat Muslim mampu mewujudkan creative minorities, maka ada harapan besar untuk membawa Islam kembali dalam kejayaannya di masa depan.
Wallahu a’lam.