Mungkinkah Imam Asy Syafi’i Tidak Mengetahui Suatu Hadits Shahih?

Muncul pertanyaan, mungkinkah Imam Syafi’i belum tahu akan sebuah hadits atau keshahihannya?

Jawabnya ya mungkin saja dan faktanya juga bicara seperti itu.

Berikut pengakuan pribadi Imam Asy-Syafi’i:

[arabtext] كُلُّ مَا قُلْتُ، وَكَانَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِلافُ قَوْلِي، مِمَّا يَصِحُّ، فَحَدِيثُ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْلَى، وَلا تُقَلِّدُونِي[/arabtext]

“Setiap yang aku katakan tapi dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sendiri menyelisihi perkataanku dan itu shahih dari beliau maka hadits Nabi shallallahu alaihi wa sallam lebih utama dan jangan bertaklid kepadaku.”

Beliau juga berkata kepada Ahmad bin Hanbal dan kawan-kawannya:

[arabtext]أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِالْحَدِيثِ وَالرِّجَالِ مِنِّي، فَإِذَا كَانَ الْحَدِيثُ صَحِيحًا فَأَعْلِمُونِي، كُوُفِيًّا كَانَ، أَوْ بَصْرِيًّا، أَوْ شَامِيًّا، حَتَّى أَذْهَبَ إِلَيْهِ، إِذَا كَانَ صَحِيحًا[/arabtext]

“Kalian lebih mengerti tentang hadits dan perawi  dibandingkan aku, maka bila ada hadits yang shahih tolong beritahu aku, baik itu riwayat orang Kufah, Bashrah, atau Syam agar aku bisa berpendapat dengannya kalau hadits itu shahih.” (Adab Asy-Syafi’i wa Manaqibuhu oleh Ibnu Abi Hatim hal. 70).

Dia juga berkata,

[arabtext]إِذَا صَحَّ الْحَدِيثُ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقُلْتُ قَوْلًا، فَأَنَا رَاجِعٌ عَنْ قَوْلِي، وَقَائِلٌ بِذَلِكَ[/arabtext]

“Jika telah shahih suatu hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sedangkan aku telah mengemukakan satu pendapat (yg menyelisihinya) maka aku akan rujuk meninggalkan pendapatku itu serta berali ke hadits tersebut.” (Hilyatul Awliya oleh Abu Nua’im jilid 9 hal. 107).

Dalam banyak kasus, Imam Asy-Syafi’i sendiri ragu akan keshahihan sebuah hadits sehingga lebih mendahulukan qiyas, tapi kemudian para ahli hadits di kalangan madzhabnya menemukan bahwa hadits itu shahih dan mentarjihnya dibanding pendapat sang imam.

Contoh kasus 1:

Imam Syafi’i tidak tahu apakah hadits berwudhu lantaran makan daging onta itu shahih makanya beliau menyelisihinya dalam qaul jadid. Meski begitu dia mengatakan kalau haditsnya shahih saya akan ikut, berikut pernyataannya:

[arabtext]إنْ صَحَّ الْحَدِيثُ فِي لُحُومِ الْإِبِلِ قُلْت بِهِ[/arabtext]

“Kalau shahih hadits tentang wudhu lantaran makan daging onta maka aku akan berpendapat dengannya.”

Lalu kemudian Al-BAihaqi menyatakan hadits itu shahih salah satunya riwayat Muslim. Itu pula yang menyebabkan An-Nawawi menguatkan pendapat wudhu lantaran makan daging onta.

Contoh kasus 2:

Asy-Syafi’i belum jelas tentang keshahihan hadits Ibnu Mas’ud tentang kasus Barwa` binti Wasyiq yang ditinggal mati suaminya sebelum disetubuhi dan belum pula disebutkan mahar. Maka menurutnya dia tidak berhak mendapatkan mahar.

Lalu Al-Hakim menyatakan hadits itu shahih, maka hendaknya Asy-Syafi’i mengikutinya. Sampai-sampai dalam kitab Al Mustadrak Al Hakim saking bangganya berkata,

[arabtext]و لو حضرت الشافعي رضي الله عنه لقمت على رؤوس أصحابه و قلت فقد صح الحديث فقل به[/arabtext]
“Kalau aku hadir di masjlisnya Asy-Syafi’i radhiyallahu anhu, niscaya aku berdiri di tengah kerumunan murid-muridnya dan berkata, “Haditsnya shahih, maka ikutilah dia!” (Al-Mustadrak 2/196).

Masih banyak contoh lain dimana Imam Asy-Syafi’i sendiri berpesan agar tetap meneliti hadits dan kalau shahih maka beliau akan ikut dan melarang orang hanya bertaklid kepada beliau dengan meninggalkan hadits yang shahih.

16 April 2015.