Di mata dunia, nilai-nilai Islam dianggap bertentangan dengan gaya hidup modern. Ketika para muda-mudi penganut ‘madzhab’ kehidupan modern bergaul tanpa batas, bebas tak berhijab (ikhtilat), Islam mengajarkan agar muda-mudinya saling menjaga diri.
Ketika semua orang berlomba-lomba berburu harta kekayaan dan kekuasaan sebagai simbolisasi atas kedigdayaan diri, Islam mengajarkan bahwa itu semua hanyalah tipu daya dunia.
Ketika paham sekularisme berhembus dan berhasil meyakinkan masyarakat bahwa antara perilaku beragama dan urusan dunia itu terpisah, Islam tetap kukuh dengan pandangan bahwa urusan dunia sangat erat kaitannya dengan perilaku beragama dan kehidupan akhirat.
Berawal dari anggapan semacam itu dunia memandang sinis muslim yang masih memegang teguh nilai-nilai Islam. Muslim yang hanif (lurus) ini dianggap kurang pergaulan (kuper), ketinggalan zaman, bakal teroris, dan berbagai anggapan miring lainnya.
Di sisi lain, muslim yang dituduh semacam itu tetap cuek, dan tak terpengaruh dengan apa kata dunia. Mereka tetap nyaman dengan identitas keislaman mereka. Bagi mereka, asalkan agama dan jiwa mereka terselamatkan dari fitnah dunia itu sudah cukup. Sehingga kebanyakan dari mereka memilih untuk ber-‘uzlah.
Secara bahasa, ‘uzlah berarti menghindar. Dalam praktiknya, ‘uzlah adalah seperti yang dilakukan oleh para Pemuda Kahfi untuk menghindari kezhaliman penguasa.
Orang yang melakukan ‘uzlah cenderung jarang bergaul dengan orang lain. Mereka lebih banyak menghabiskan waktu sendiri, merenungi kehidupan, dan enggan berlama-lama bertemu manusia. Ketika bertemu manusia, mereka takut tidak bisa mengendalikan hawa nafsu dan pada akhirnya berbuat dosa. Jika dianalogikan dengan dunia kesehatan, ‘uzlah merupakan usaha preventif untuk menjaga diri agar tetap steril.
Sikap ini dilakukan ketika lingkungan sudah tidak kondusif dan banyak kemungkaran terjadi. Salah satu cara untuk menghindarinya adalah dengan ber-‘uzlah. Tujuannya agar selamat dari kefasikan yang mulai merajalela.
Nabi Ibrahim as. pernah berkata kepada kaumnya dalam rangka ‘uzlah;
“Dan aku akan menjauhkan diri darimu dan dari apa yang kamu seru selain Allah, dan aku akan berdoa kepada Tuhanku, Mudah-mudahan aku tidak akan kecewa dengan berdoa kepada Tuhanku”. (QS Maryam[19]:48)
Namun, ada konsekuensi yang harus diambil ketika seorang muslim –yang hidup di zaman- modern seperti saya dan Anda harus ber-‘uzlah. Kita pun dihadapkan pada dilema dua pilihan; ber-‘uzlah atau bergaul.
Kalau memilih ber-‘uzlah, kita akan dianggap kuper, atau dituduh eksklusif. Kemungkinan yang lebih buruk akan dianggap aneh, ekstrimis, teroris, dan fundamentalis.
Ketika memilih bergaul dengan dunia dan modernitasnya, ada konsekuensi lain yang harus kita ambil. Salah satunya adalah harus berhadapan langsung dengan hal-hal yang dilarang oleh syariat. Di kantor, di sekolah, di kampus, di pasar, di jalan, di dunia maya, akan kita temui kemaksiatan yang sudah dianggap sebagai hal yang wajar oleh masyarakat kita.
Antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram berbonceng mesra di atas motor, para pejabat dengan seenak udelnya mengambil uang rakyat, tayangan yang tidak mendidik disiarkan di televisi hampir 24 jam non-stop, dan godaan jejaring sosial bernama facebook dan twitter yang bisa menyita waktu kita hingga lupa berdzikir dan beribadah.
Telah banyak terjadi perdebatan antar ulama tentang kedua pilihan tersebut. Ada yang menyebutkan bahwa ber-‘uzlah lebih baik, ada juga yang menegaskan bahwa bergaul lebih baik. Manakah yang benar?
Ternyata pendapat yang lebih mendekati sunnah adalah memilih keduanya. Kita tidak mungkin mengambil salah satunya saja tanpa mengindahkan yang lain. Keduanya sama-sama penting sebagai bekal untuk menjalani hidup. Generasi awal Islam yang notabene di-tarbiyah langsung oleh Rasulullah saw. sampai dijuluki sebagai ‘rahib di malam hari dan penunggang kuda di siang hari’.
Malam harinya mereka ber-‘uzlah dari kehidupan dunia dan mendekatkan diri kepada Allah Rabbul ‘alamin. Sedangkan siang harinya mereka melepaskan tali-tali kuda yang ditambat untuk menyebarkan ajaran Islam kepada masyarakat.
Sesuai dengan ajaran Islam, dalam diri seorang muslim ada kewajiban individu (shalat, zakat, puasa, dll), serta kewajiban sosial (bermuamalah). Sehingga tidak ada alasan karena sibuk dengan kewajiban pertama, sehingga kewajiban kedua terlupakan. Pun sebaliknya.
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS Al-Qashash[28]:77)
‘Uzlah merupakan sarana bagi kita untuk tetap menjaga hubungan dengan Allah swt. Dengan mendatangi majelis ta’lim kita telah ber-‘uzlah, dengan membaca Al-Qur’an kita telah ber-‘uzlah, dengan merenungi kehidupan kita juga telah ber-‘uzlah. Namun tidak boleh berhenti sampai ‘uzlah saja, seorang muslim juga dituntut untuk gaul.
Rasulullah saw. bersabda:
“Seorang mukmin yang bergaul dengan manusia dan bersabar menghadapi gangguan mereka itu lebih baik daripada seorang mukmin yang tidak bergaul dengan manusia dan tidak bersabar menghadapi gangguan mereka.” (HR Ibnu Majah dishahihkan oleh Al-Albani)
Gaul di sini tidak hanya bermakna berhubungan dengan orang lain saja. Lebih luas lagi, ia menuntut seorang muslim mengetahui realitas yang terjadi di lingkungan, keluarga, negeri, bahkan dunia ini.
Kini, kita tidak mungkin bisa terlepas berbagai peristiwa yang terjadi di dunia. Jika kita tidak segera sadar dengan kondisi yang ada, bisa saja kita terperangkap jerat-jerat setan manusia dan para musuh Islam. Dari sana bisa ditarik kesimpulan awal, bahwa muslim pun juga harus gaul.